Mohammad Khatami, sang reformis, kelahiran 29 September 1943 di Ardakan, Provinsi Yazd, jauh sebelum terpilih jadi presiden Iran untuk dua periode (1997-2001/2001-2995) dikenal sebagai seorang pemikir kontemplatif. Namanya telah melambung tinggi di dunia akademik global, sekalipun sebagai presiden dianggap kurang berhasil. Bagaimana mau berhasil, jika kekuasaannya dibatasi oleh sistem demokrasi peralihan, jika bukan demokrasi semu.
Seorang presiden Iran tak punya otoritas legal atas berbagai lembaga negara dan aparat keamanan: polisi, tentara, pengawal revolusioner, dan lain-lain; juga tidak atas radio negara, peradilan, penjara, dan sebagainya. Dalam sistem yang semacam ini, akan sangat sulit bagi seorang presiden untuk menjalankan mesin kekuasaannya secara efektif dan berdaya jangkau jauh. Di atas presiden masih bersemayam supreme leader (pemimpin tertinggi): Ali Khamenei yang punya hak kata putus. Itulah sebabnya Khatami tidak bisa memenuhi janjinya saat kampanye untuk memberi izin pendirian sebuah masjid untuk non-Syiah di Tehran, karena pemimpin tertinggi tidak memberi lampu hijau.
Terlepas dari itu, Khatami adalah seorang pembicara yang memukau melalui lensa filosofis yang artikulat. Jika Samuel P Huntington sejak 1993 melontarkan gagasan "benturan peradaban" yang menghebohkan dunia itu, Khatami membantahnya dengan menawarkan solusi "dialog peradaban" di forum PBB dan di fora bergengsi lainnya. Gagasannya mendapat sambutan luas dari berbagai kalangan, karena disampaikan secara santun, mendalam, dan ditinjau dari banyak dimensi. Salah satu kumpulan pemikirannya diterbitkan Universitas Jawaharlal Nehru, New Delhi, 2003, dua tahun sebelum ia melepaskan jabatan kepresidenannya untuk digantikan oleh Mahmoud Ahmadinejad, figur yang lebih dekat dengan kelompok garis keras, mantan wali kota Tehran.
Bagi Khatami, jika dunia mau dijadikan kawasan yang adil, dialog peradaban harus dilakukan dalam posisi setara antara Barat dan Timur. Pendekatan kaum orientalis terhadap Timur, khususnya Islam, bukan dalam bingkai dialog, tetapi Timur telah dijadikan sasaran kajian Barat yang merasa dirinya superior. Ujungnya adalah penaklukan Timur oleh Barat dalam bentuk kolonialisme dan imperialisme yang sangat menyengsarakan rakyat jajahan dalam tempo yang lama. Khatami berdalil: "Dialog antara peradaban memerlukan kesediaan mendengarkan kepada dan mau mendengar peradaban dan kultur lain, dan pentingnya mendengarkan pihak lain sama sekali tidak kurang nilainya dari berbicara terhadap pihak lain."
Khatami juga mengkritik perkembangan Renaisans yang dinilainya sudah salah arah. Semula, katanya, Renaisans bukan untuk membangkitkan kembali kultur Yunani klasik, tetapi untuk merevitalisasi agama dengan menyuntikkan kepadanya sebuah bahasa baru dan gagasan segar. Dengan bahasa yang baru, penganut agama tidak boleh membelakangi dunia, tetapi harus menghadapinya.
Tetapi karena sudah salah arah, Renaisans telah menyimpang dari tujuan semula. Pembukaan dunia malah berubah menjadi penaklukan dan penundukan yang kejam. Bukan saja alam yang ditaklukkan, apinya kemudian juga menyebar untuk membakar masyarakat manusia. Akibatnya kemudian, berlakulah dominasi manusia terhadap alam dan ilmu-ilmu kealaman, terhadap manusia dan kemanusiaan. Eropa sendiri telah menjadi mangsa karena terlalu bertumpu pada rasionalitas, melalui buah pemikiran para pemikir dan filosuf mereka.
Di sinilah perlunya dialog dengan Timur yang dapat menyediakan prinsip keseimbangan dan saling pengertian. Timur memanggil Eropa dan Amerika untuk memberi tekanan lebih atas keseimbangan, ketenangan, dan kontemplasi dalam perbuatan mereka. Dengan demikian, memberikan sumbangan kepada tegaknya perdamaian, keamanan, dan keadilan di muka bumi. Pertanyaan kita adalah: apakah Barat dalam suasana mental yang masih congkak seperti sekarang ini punya telinga kearifan untuk mendengar Timur yang pernah dijajahnya?
Jika Barat belum juga punya telinga untuk mendengar tuturan orang lain, di mata Khatami, yang berlaku bukan dialog, tetapi monolog. Dalam pada itu, Khatami juga mengimbau pihak Timur, khususnya umat Islam, agar mau membuka mata dan hati untuk mengapresiasi capaian-capaian Barat yang positif untuk membangun jembatan dialogis, demi tegaknya sebuah keseimbangan antara peradaban. Kesimpulan kita adalah; Barat dan Timur harus saling menghargai, dan watak Barat yang mau menang sendiri dan angkuh harus dibenamkan ke bawah debu sejarah; dunia sudah berubah!
No comments:
Post a Comment