Tuesday, March 25, 2008

T I B E T

Jeritan Pilu Warga yang Dihina dan Dipinggirkan


AP Photo/Saurabh Das / Kompas Images
Para biksu Tibet dipukuli saat melakukan aksi protes di depan Kantor PBB, Kathmandu.
Selasa, 25 Maret 2008 | 01:22 WIB

Rekor demi rekor telah dicapai China dari segi perekonomian sejak dekade 1980-an. Namun, bentuk kesenjangan domestik juga mengkristal. Bukan hanya itu, rasa tersingkir, diabaikan, dan ”dihina” juga dirasakan, setidaknya oleh warga Tibet.

Zhang Qingli, Ketua Partai Komunis Tibet, ditunjuk Beijing sembilan tahun lalu untuk memimpin Tibet. Sikap Zhang yang keras dengan ucapan sarkastis turut memicu kebencian kelompok etnis Tibet kepada China, yang didominasi kelompok etnis Han.

”Dalai Lama adalah serigala yang berpakaian biksu, setan dengan wajah manusia,” itulah salah satu kalimat Zhang, yang dikumpulkan kantor berita Reuters. Ucapan ini dia sampaikan di hadapan para pejabat China di Beijing bulan ini.

Zhang yang ateis abai. Kalimat tersebut adalah tusukan yang lebih tajam dari tusukan pisau. Dalai Lama adalah wujud reinkarnasi ”Tuhan” bagi Buddha Tibet. Dalai Lama (yang artinya Samudra Guru) juga kesucian. Tenzin Gyatso, nama asli Dalai Lama ke-14, yang kini mengungsi di Dharamsala, India, telah dinistakan. Ini tidak bisa berterima.

Sherab Radel (28), seorang biksu, baru melarikan diri ke Dharamsala. Ia capek karena harus selalu menyembunyikan gambar Dalai Lama. Jika ketahuan karena aparat leluasa menyerbu biara, hukumannya adalah wajib menghujat Dalai Lama atau dipenjarakan jika menolak.

Dari identitas ke roti

Akumulasi dari tindakan otoritas China, secara kultur maupun ekonomi, makin menambah nestapa. Ketika tentara Tibet, termasuk Hu Jintao (kini Presiden China) menyerbu Tibet, 14 Maret 1950, persoalan utama adalah identitas. China menganggap Tibet bagian dari wilayahnya. Tibet tak merasa demikian hingga sekarang.

Andrew Fischer, pakar Tibet dari London School of Economics, mengatakan, pembangunan ekonomi Tibet tumbuh 12 persen per tahun. Namun, warga yang menikmatinya adalah etnis Han. ”Tibet adalah potret kemiskinan negara,” kata Simon Littlewood, Presiden Asia Now.

Hanya 15 persen warga Tibet yang berpendidikan, dibandingkan 60 persen untuk rata-rata di seantero China. Sekitar 40 persen warga Tibet buta huruf, tertinggi di China. ”Adalah etnis Han yang merasakan manfaat pembangunan di Tibet,” kata Glenn Maguire dan Patrick Bennett dari Societe Generale, demikian pesan mereka dari hasil sebuah riset.

Tak heran jika sekitar 2.500 warga Tibet melarikan diri setiap tahun ke Dharamsala. Sonam (16), putri seorang petani di Dotoe, Tibet, bertutur, ia terpaksa mengungsi ke India. ”Saya hanya ingin sebuah pendidikan yang bagus,” katanya. ”China telah membuatkan jalan dan industri berkembang. Namun, warga Tibet menjadi pekerja bagi orang-orang China,” katanya.

Tabir tersingkap

Kerusuhan di Lhasa pertengahan Maret makin menyingkap tabir tragedi di Tibet. ”Jika Anda berbicara soal kehidupan di Tibet, di satu sisi memang terjadi kemajuan. Anda bisa hidup mewah,” kata Tenzin Norbu, yang bulan lalu menyeberang ke Nepal dengan menyamar sebagai pekerja Nepal di Tibet. ”Namun, jika Anda menyimak lebih dalam, setiap warga Tibet menghadapi masalah serius yang tidak kunjung diatasi. Secara umum warga Tibet tak punya hak, termasuk hak berbicara, entah soal apa pun,” kata Tenzin.

Zhang menuduh Dalai Lama menghasut protes di Lhasa, yang merembes di Yunnan, Sichuan, tempat kelompok etnis Tibet berada. Dalai Lama membantahnya dan meminta China memberi bukti atas tuduhan itu.

Norbu Dorje (73), mantan gerilyawan Tibet yang dilatih CIA, mengatakan, Dalai Lama tak mengajarkan demikian, hanya meminta otonomi lebih besar, bukan kemerdekaan. Namun, ada sekelompok warga muda yang sudah nekat karena keadaan yang mengimpit kehidupan.

Solusi Tibet, kata Norbu, adalah agar China memberikan otonomi. Norbu juga berharap dunia makin kuat memberikan dukungan agar keluhan mereka didengar. Menurut Norbu, sejak Rixhard Nixon, mantan Presiden AS, merangkul China, semua perjuangan Tibet sia-sia dan melemah. (REUTERS/AP/AFP/MON)

No comments: