Kurdi: Bangsa Besar yang Termarginalkan | |||
Sabtu, 01/03/2008 | |||
Serangan besar-besaran militer Turki sejak Sabtu (23/02) ke basis milisi Kurdi di Pegunungan Qandil hingga saat ini telah menewaskan ratusan jiwa dari kelompok Kurdi. Tentu jumlah ini terlihat kecil bila dibandingkan dengan akumulasi korban tewas pada konflik-konflik sebelumnya yang mendekati angka 20.000 jiwa. Pemerintah pusat Turki agaknya belum mau menghentikan operasinya sampaimerekabenar-benar dapat menghancurkan kekuatan milisi. Walaupun banyak mendapatkan sorotan dunia internasional,sayangnya tidak ada satu pun negara saat ini yang secara tegas mengecam serangan ini. Dibandingkan dengan penduduk negara-negara Arab lainnya, suku Kurdi adalah suku bangsa terbesar karena jumlahnya yang mencapai 30 juta jiwa. Mirip seperti nasib bangsa Palestina, akibat kolonialisme Barat di Timur Tengah,rumpun bangsa Persia yang mendiami daerah Kurdistan ini terancam hilang dalam sejarah dunia. Karena Palestina berada di bawah pendudukan Israel, perhatian dunia Islam relatif sangat besar dibandingkan dengan terhadap suku Kurdi yang hampir sama sekali tidak ada. Usaha bangsa Kurdi untuk menjadi bangsa yang independen semakin sulit terealisasi karena lokasinya yang strategis secara geopolitis dan tersedianya minyak dalam jumlah besar lengkap dengan jalur-jalur pipanya menuju Eropa dan Israel. Setiap aktivitas untuk memerdekakan diri selalu berakhir dengan penumpasan dan penindasan.Jalan menuju kemerdekaan bagi Kurdistan seakan menunggu kehancuran tiga negara yang menguasainya. Dilihat sejarahnya, kemerdekaan Kurdi sebenarnya pernah dijanjikan oleh Presiden AS Woodrow Wilson (1856–1924) melalui Perjanjian Sevres (The Treaty of Sevres)tahun 1920 antara Kekhalifahan Turki Usmani dan sekutu AS untuk membagi-bagi wilayah bekas kekuasaan Turki Usmani. Hanya saja,terbentuknya negara baru Turki di bawah pimpinan Kemal Attaturk yang meliputi sebagian besar wilayah Kurdistan telah memupus harapan itu. Sejak itu,konflik antara suku Kurdi dan Turki terus berkembang. Pascakemerdekaan Irak tahun 1932, bangsa Kurdi semakin terisolasi dan terpecah-pecah. Mereka yang mendiami daerah-daerah perbatasan ini selalu menjadi korban pertikaian antara Irak, Iran, dan Turki. Karena frustrasi atas semakin tertutupnya peluang menuju kemerdekaan, muncullah kelompok-kelompok militan Kurdi yang kerap melancarkan aksiaksi terorisme. Friksi dan Penindasan Jalan paling mudah untuk memecah kekuatan suku Kurdi dalam menghimpun diri menuju kemerdekaan adalah dengan menciptakan faksi-faksi di antara mereka yang satu sama lain saling bermusuhan. Ini karena tidak ada figur pemersatu di kalangan mereka. Terpecahnya mereka dalam tiga wilayah negara yang berbeda juga telah membuat suku ini semakin tersegmentasi. Bahkan, negara-negara tempat suku Kurdi berada sering mencoba melakukan program asimilasi secara paksa hingga pemusnahan bangsa terbesar di dunia Arab ini. Di Iran, suku Kurdi walaupun berasal dari rumpun bangsa Persia tetap saja hidup terpinggirkan. Ini karena mereka adalah para penganut Sunni yang berbeda dengan agama mayoritas negara Iran. Setelah bertahun- tahun lamanya melakukan penindasan kepada kelompok Kurdi, Iran akhirnya dapat melemahkan kekuatan Kurdi.Pada akhir 1920-an, misalnya, Iran berhasil membunuh pemimpin Republik Mahabad Kurdistan, Qazi Muhammad dan Ismail Agha Simko. Di bawah pemerintahan Ayatullah Khomeini, militer Iran juga berhasil melakukan asasinasi terhadap dua pimpinan karismatik Kurdistan,Abdul Rahman Gasemblou (1989) dan Sadeq Sharafandi (1992). Nasib bangsa Kurdi di Turki juga tidak lebih baik.Mayoritas suku Kurdi memang tinggal di Turki bagian tenggara dan lebih setengahnya hidup berbaur di Ibu Kota Ankara. Sebagai keturunan bangsa Persia, suku Kurdi menjadi salah satu hambatan gerakan nasionalisme dan sekularisme Turki. Meskipun mereka berhasil mendirikan Negara Darurat Kurdistan di wilayah Turki pada 1922–1924 dan Republik Mahabad Kurdistan tahun 1946, keduanya dapat dihancurkan oleh militer Turki. Dampaknya sejak 1924 Turki melarang penggunaan bahasa Kurdi di tempat umum. Operasi militer besar-besaran terus dilakukan untuk menumpas gerakan prokemerdekaan yang mengakibatkan ribuan jiwa kehilangan nyawa. Kekuatan terbesar Kurdi di Turki diwakili oleh Partai Pekerja Kurdistan (PKK). Pada 1991, ketua PKK Abdullah Ocalan, ditangkap oleh pemerintah Turki dan dijatuhi hukuman mati.Tekanan Turki ternyata mampu melemahkan tuntutan kemerdekaan yang memaksa PKK mengubah orientasinya pada perjuangan otonomi daerah khusus Kurdistan. Pada sisi lain, keinginan Turki untuk bergabung dengan Uni Eropa berdampak pada lahirnya kebijakan-kebijakan yang berpihak pada minoritas. Hanya saja, kebijakan semacam ini sering mendapatkan tantangan besar dari kelompok ultranasionalis (sekuler) Turki. Operasioperasi militer pun kemudian kerap dilakukan guna memberangus kekuatan PKK. Apalagi wilayah perbatasan Turki-Irak memiliki potensi sumber alam yang melimpah (minyak, gas, air bersih, dan sumber mineral) dan menjadi salah satu pusat investasi asing.Maka,membiarkan rakyat Kurdi memerdekakan diri tentu sesuatu yang mustahil (Middle East Policy,2004). Perhatikan Kurdistan! Apabila penindasan yang dilakukan terhadap minoritas Kurdi di perbatasan-perbatasan Irak, Iran, Turki, dan Suriah terus berlanjut, aktivitas-aktivitas yang mengarah pada tindakan terorisme akan sulit dihentikan. Banyaknya kepentingan ekonomi asing terhadap wilayah Kurdistan dan potensi AS untuk menggunakan kekuatan minoritas Kurdi sebagai usaha untuk melakukan destabilisasi, terutama di tiga negara yang menjadi musuh AS, akan memperburuk kondisi perdamaian di Timur Tengah. Seperti halnya kasus Palestina, kasus Kurdi akan menjadi ganjalan utama menuju Timur Tengah yang damai selama belum ada keseriusan dari negara-negara perbatasan untuk mengakomodasi kepentingan bangsa Kurdi. Dunia internasional harus lebih serius dalam menyoroti nasib minoritas Kurdi ini dan memastikan mereka merasa aman terintegrasi dengan negara-negara yang ada sekarang.(*) Yon Machmudi, PhD |
No comments:
Post a Comment