Wednesday, March 19, 2008

Tragedi Irak

Bayang-bayang Akhir Sebuah Negara
Trias Kuncahyono

Bahkan, seorang Niccolo Machiavelli pun konon pernah berujar, memulai perang adalah soal yang gampang. Persoalannya adalah bagaimana mengakhirinya.

Bagaimana mengakhiri perang? Pertanyaan itulah yang kini menjadi persoalan utama yang harus dipecahkan AS. Lima tahun silam, 20 Maret 2003, AS dengan dukungan sekutu-sekutunya dan di tengah kecaman dunia secara membabi buta menggempur Irak. Dan, hanya dalam tempo 20 hari Baghdad, ibu kota Irak, jatuh, Kamis, 9 April 2003. Rezim Saddam Hussein pun tumbang.

Akan tetapi, perang Irak, yang menurut istilah George Soros dalam The Bubble of American Supremacy, ”membajak tragedi 11 September”, tidak berhenti begitu saja saat Presiden George W Bush pada 1 Mei menyatakan perang usai. Hingga saat ini, AS masih tetap belum bisa keluar dari Irak. Bahkan, keluarnya tentara AS pun menjadi pertanyaan: Kapan mereka keluar atau bahkan apakah mereka bisa keluar dan akan keluar dari Irak?

Dari sudut pandang AS, mungkin, perang sudah selesai ketika presiden menyatakan perang berakhir. Akan tetapi, bagi rakyat Irak lain lagi ceritanya. Saat ini mereka masih terus bergulat atau bahkan baru memulai pergulatan untuk lahir kembali sebagai sebuah negara baru. Invasi AS tidak hanya meruntuhkan rezim Saddam Hussein, tetapi juga meruntuhkan sendi-sendi negara. Irak tercerai-berai!

Bangunan Irak sebagai sebuah negara ambruk. Dan, kemudian terjadilah pertarungan sesama anak bangsa untuk menjadi penguasa baru. Visi pemerintah Bush—setelah Irak dibebaskan dari rezim Saddam Hussein akan segera menjadi negara demokrasi yang aman dan damai, ibarat Jermannya Timur Tengah, dan menjadi sumber kekuatan strategik AS—tidak terbukti! Yang terjadi justru sebaliknya. Irak menjadi negara yang lemah, sumber kelemahan strategik, terancam perpecahan.

Persaingan sektarian

Pemerintahan baru, memang, sudah berdiri. Tetapi, begitu rentan. Tidak bisa dimungkiri bahwa di antara kelompok Syiah, Sunni, dan Kurdi tidak mudah berbagi kekuasaan dan kekayaan negeri itu dalam pemerintahan baru. Berbagai kalangan selalu khawatir bahwa nasib Irak di masa depan akan semakin buruk. Apalagi, kondisi di lapangan yang mencerminkan adanya perseteruan di antara kelompok demikian nyata.

Serangan bom bunuh diri yang dilakukan seorang perempuan di Karbala, Selasa lalu, menjadi salah satu contoh. Sejak 2004, paling kurang terjadi lima kali serangan bom berkekuatan besar dengan korban besar pula di Karbala. Tiga di antaranya adalah serangan bom bunuh diri. Tanggal 2 Maret 2004 terjadi ledakan bom, menewaskan 85 orang dan melukai 230 orang. Tanggal 5 Januari 2006 terjadi serangan bom bunuh diri yang menewaskan 60 orang dan melukai 100 orang.

Karbala, sebuah kota yang terletak sekitar 100 km barat daya Baghdad, adalah kota suci bagi kelompok Syiah. Bom bunuh diri meledak di dekat Masjid Imam Hussein. Ledakan bom di Karbala itu mengingatkan orang akan ledakan bom di Samarra, 22 Februari 2006, sebelah utara Baghdad. Yang menjadi sasaran di Samarra adalah Masjid Al-Askariya milik kaum Syiah. Sejak saat itu, gelombang pengeboman terjadi; saling silih yang menjadi sasaran, yakni Syiah dan Sunni.

Akan tetapi, berbagai pihak menyatakan bahwa persaingan dan konflik sektarian cenderung turun. Pertanyaannya adalah, apakah itu merupakan kecenderungan yang senyatanya atau mereka sedang menunggu waktu? Sulit dimungkiri bahwa di antara Syiah, Sunni, dan Kurdi terjadi persaingan untuk memperebutkan pengaruh, baik di bidang politik maupun ekonomi.

Pemerintahan nasional

Bagaimana mengakhiri perang Irak? Pertanyaan itu yang bisa jadi membebani para ahli strategi militer AS. Peter W Galbraith dalam The End of Iraq menulis, Pemerintah AS tidak pernah memiliki rencana untuk membangun keamanan pasca-Saddam Hussein. Karena itu, mereka pun kini tak berdaya melihat dan menghadapi kenyataan di lapangan.

Apakah itu berarti bahwa tentara AS akan tetap terus berada di Irak? Untuk waktu berapa lama? Apakah akan sama dengan, misalnya, tentara Suriah yang tetap berada di Lebanon selama 15 tahun setelah perang saudara berakhir? Apakah akan mengikuti jejak NATO dan tentara Eropa di Bosnia? Mereka tetap di Bosnia selama 11 tahun setelah perang usai.

AS sendiri menghadapi dilema. Mereka berkeyakinan bahwa jika mereka segera keluar, Irak akan jatuh ke tangan ”para teroris”, itulah mereka. Tetapi, jika mereka tetap berada di Irak juga menimbulkan persoalan, yakni terus berlanjutnya aksi pengeboman. Bahkan, ada yang mengistilahkan telah melahirkan Afganistan baru.

Pada akhirnya, rakyat Irak sendiri yang harus menjatuhkan pilihan. Apakah mereka akan memberi tempat pada AS atau mau berdiri sendiri membangun negara baru? Akan tetapi, negara baru yang aman hanya akan terwujud bila tercipta persatuan antara seluruh komponen anak bangsa negeri itu: Syiah, Sunni, Kurdi, dan kelompok sekuler. Tanpa itu, Irak akan tetap tidak aman, bahkan tercerai-berai.

Tentu, tidak ada yang menginginkan hal itu terjadi setelah begitu banyak jiwa melayang secara sia-sia.

No comments: