Monday, March 10, 2008

Pemilu Malaysia



Pemilihan raya atau pemilihan umum di Malaysia Sabtu lalu tidak berlangsung adem ayem sebagaimana biasa. Di wilayah Trengganu dan Penang misalnya, sempat terjadi bentrok antara rakyat dan polisi. Batu-batu yang beterbangan dibalas dengan gas air mata dari aparat.

Pemilu yang pelaksanaannya dipercepat itu akan memilih 222 kursi parlemen dan 505 kursi dewan undangan negeri (semacam DPD). Menurut beberapa analis politik, percepatan pemilu itu dilakukan untuk membendung geliat partai oposisi dengan memberikan waktu yang terbatas kepada oposisi dalam melakukan konsolidasi.

Perolehan angka sementara, koalisi Barisan Nasional tetap memimpin perolehan suara. Tapi, yang cukup mengejutkan adalah partai oposisi, yaitu Partai Keadilan Rakyat dan Partai Islam se-Malaysia, yang mulai unjuk gigi dengan menunjukkan beberapa kemenangan yang signifikan.

Di wilayah pemilihan Lembah Pantai Kuala Lumpur misalnya, putri tokoh oposisi Anwar Ibrahim, Nurul Izzah dari Partai Keadilan, mampu mengalahkan calon dari Barisan Nasional. Kemenangan ini juga terjadi di beberapa daerah lainnya di kawasan Kuala Lumpur.

Memang sudah diperkirakan sejak awal bahwa dalam pemilu ini akan menghadirkan kejutan-kejutan. Situasi tersebut menunjukkan mulai bangkitnya kekuatan rakyat yang menginginkan perubahan setelah dipimpin secara otoriter selama lebih dari empat dekade.

Selama ini, pemilu di negeri jiran itu hanya sebagai alat legitimasi keperkasaan pemerintah yang didukung Barisan Nasional. Pemilu sebagai alat demokrasi tidak bisa berjalan sebagaimana mestinya karena dijalankan oleh pemerintahan yang otoriter.

Kebebasan berpendapat sangat nihil di negeri itu. Pers tidak berkutik. Mereka hanya mengikuti keinginan pemerintah, tunduk pada penguasa. Energi pers untuk menulis kritis sebagaimana diceritakan seorang diplomat senior disalurkan dengan menulis berita buruk tentang orang Indonesia di Malaysia.

Mereka begitu leluasa menulis hal-hal negatif masyarakat Indonesia, seolah-olah tidak ada yang positif sedikit pun tentang kehadiran warga Indonesia di sana. Tulisan itu tidak proporsional dan cenderung terus memojokkan. Pemerintah Malaysia pun seia sekata, membiarkan tulisan seperti itu tanpa menyensor sedikit pun.

Angin reformasi yang bertiup dari Indonesia tampaknya mulai tiba di Malaysia. Keberanian rakyat untuk bersikap kritis mulai muncul, meski tidak didukung pers. Terakhir, demo besar-besaran adalah yang dilakukan ribuan etnis India yang memprotes ketidakadilan ekonomi.

Ada optimisme bahwa Malaysia akan segera berubah ke arah yang lebih baik dalam demokrasi dan kebebasan berpendapat. Setidaknya, optimisme itu muncul dari Anwar Ibrahim yang berguru dari beberapa tokoh Indonesia tentang bagaimana melahirkan reformasi. Anwar ini sekaligus juga martir demokrasi di Malaysia.

Selain soal demokratisasi dan kebebasan berpendapat, saat ini pemerintah Malaysia sedang diuji dengan berbagai persoalan berat; seperti melemahnya hubungan antarras, yakni kelompok etnis Melayu, Cina, dan India. Belum lagi kenaikan harga barang yang banyak dikeluhkan masyarakat.

Semoga pemilu kali ini bisa memberikan kebaikan kepada seluruh rakyat Malaysia yang merindukan kebebasan berpendapat, keadilan ras, dan kesejahteraan yang lebih baik bagi masyarakat bawah.
( )

No comments: