Dialog antara warga Tibet dan China harus dilakukan. Demikianlah pesan utama komunitas internasional kepada China, yang di mata warga Tibet adalah ”penjajah”.
Pesan itu juga disampaikan Direktur The Wahid Institute Yenny Zannuba Wahid di Banjarmasin, Minggu (16/3). ”Pemerintah China seharusnya mengedepankan jalur diplomasi dalam menyikapi aspirasi masyarakat Tibet,” kata Yenny.
Mantan Presiden Abdurrahman Wahid juga menilai tindakan keras Pemerintah China terhadap demonstran di Tibet, yang menuntut pemisahan diri, bukan hal baru. Para pemimpin China sejak dulu selalu takut jika Tibet atau bagian wilayah China lain akan memisahkan diri.
Bisakah dialog dilakukan? Beijing menyatakan bahwa secara historis Tibet adalah bagian dari China. Sebaliknya, kebanyakan warga berdarah Tibet yakin bahwa Tibet tak pernah menjadi bagian China selama berabad-abad. Bahkan di dalam benak warga Tibet, mereka selalu merdeka dari China walau secara de facto kini berada di bawah China. Tibet, bisa disetarakan dengan Timor Leste, sejak diduduki Indonesia pada tahun 1975 hingga merdeka, di mana sebagian rakyat Rimor Leste tak merasa menyatu dengan RI.
Hal terbaru, penambah kebencian pada China di Tibet, sebagaimana dinyatakan Dalai Lama, adalah genosida budaya. Ini merujuk pada aksi Pemerintah China yang mendorong masukkan etnis Han, dari China bagian lain, ke Tibet. Pemusnahan budaya Tibet sedang berlangsung. Menurut juru bicara International Campaign for Tibet, Kate Saunders, hal ini turut memicu protes di Lhasa, ibu kota Tibet.
Etnis Tibet juga makin terpinggirkan dari deru pembangunan ekonomi di Tibet. Dengan sikap keras China dan sikap warga Tibet yang selalu merasa bukan bagian dari China, permasalahan Tibet kini berkembang makin kompleks. Mungkin hanya waktu yang akan bisa menyelesaikan kompleksitas itu. (REUTERS/AP/AFP/MZW/MON)
No comments:
Post a Comment