Saturday, February 23, 2008

Doktrin Militerisme dan Jihadisme di Pakistan



Oleh :Muladi Mughni

(Mahasiswa Pascasarjana IIU Islamabad)

Pesta demokrasi untuk pemilihan perdana menteri (PM) dan anggota Parlemen Pakistan baru saja berlangsung, tepatnya pada 18 Februari lalu. Perhelatan akbar ini sempat tertunda dari jadwal semula, yaitu pada 8 Januari 2008 karena kebijakan pemerintah menyusul terbunuhnya mendiang mantan PM Benazir Bhutto di Liaquat Bagh-Rawalpindi pada 27 Desember 2007 dalam sebuah aksi terorisme.

Benazir adalah salah satu kandidat terkuat dari Partai Rakyat Pakistan (PPP) yang akan bertanding memperebutkan kursi PM, di samping calon-calon dari partai lainnya, seperti Nawaz Sharif dari Partai Liga Muslim Pakistan-Nawaz (PML-N) atau Ch Shujaat Hussain dari Partai Liga Muslim Pakistan-Quaid (PML-Q). Setidaknya 35 orang tewas dan 157 orang luka-luka dalam pemilu hari Senin tersebut.

Semenjak dideklarasikan Negara Pakistan pada 1947 sampai saat ini, gejolak konflik sosial dan politik di negara Muslim ini sudah tidak dapat terbilang dengan hitungan jari. Espektasi membentuk satu negara yang terpisah dari India oleh para founding fathers yang di dalamnya para Muslim eks-India ini nantinya dapat mengaplikasikan nilai-nilai Islam yang seutuhnya, baik dalam ranah sosial, politik, ekonomi, budaya, dan pendidikan tampaknya tengah dihadapkan pada batu ujian yang sangat berat, khususnya akhir-akhir dekade ini.

Problem implementasi Islam yang seutuhnya dalam rangka menginterpretasi pakem konstitusi yang telah baku semakin menemukan momentumnya. Terlebih lagi saat kebijakan negara-negara Barat (Amerika dan Eropa) mengampanyekan perang terhadap terorisme. Ironisnya, semakin keras genderang perang ini ditabuh, ibarat gayung bersambut ia memperoleh legalitasnya dari para pemegang otoritas (pemerintahan militer) di negara ini. Justru aksi-aksi terorisme semakin populer dan para aktor di baliknya menganggap aksi ini sebagai misi heroik nan suci.

Militerisme lahirkan jihadisme
Kudeta militer di negeri ini merupakan fenomena yang biasa terjadi. Sebut saja pada 1974 Jend Zulfikar Ali Bhuto mengudeta Jend Yahya Khan. Lalu, pada 1977 Jend Ziaul Haque mengambil alih kekuasaan Ali Bhuto dan mengeksekusinya dengan hukuman gantung.

Terakhir pada 1999 Jend Pervez Musharraf berhasil dalam aksi kudeta tak berdarah atas Pemerintahan Nawaz Sharif. Di bawah Musharraf ini Pakistan kembali berada pada satu sistem pemerintahan yang militeristik. Terbukti dengan keengganannya menanggalkan baju militer atau memilih rangkap jabatan sebagai presiden dan kepala staf AD sampai dengan 8 Oktober 2007.

Namun, baru sebulan ia tanggalkan, Undang-Undang Darurat (Emergency Law) diberlakukannya. Ini tidak lebih agar ia dapat leluasa membungkam lawan-lawan politiknya.

Dalam banyak analisis disampaikan bahwa dengan model pemerintahan yang militeristik ini, selalu mendulang arus kritik atau resisten kalangan penggiat HAM atau civil society di negara itu. Asumsi ini dapat dibenarkan, tetapi tidak selalu tepat.

Media massa memang selalu mengangkat aksi-aksi protes yang dilancarkan oleh kalangan civil society atas kebijakan pemerintah yang menurut mereka bukan hanya strukturnya di bawah kendali militer, tetapi juga sikapnya yang militeristik dan antikebebasan. Tindakan kontroversial seperti pencopotan Ketua Mahkamah Agung Iftikhar M Choudry, penangkapan tokoh-tokoh politik, hukum, dan HAM sebagai konsekuensi pemberlakuan Undang-Undang Darurat atau sebelumnya, memang semakin memperkuat sintesis ketidakcocokan sistem yang berlaku dengan munculnya gerakan-gerakan pembebasan di negara itu.

Namun yang mungkin luput dari analisis tersebut adalah kenyataan di lapangan bahwa doktrin militerisme ini juga menyuburkan doktrin jihadisme kalangan-kalangan Islam ekstremis. Kelompok ini tidak suka berbasa-basi menyatakan ketidaksukaannya atas treatment pemerintahan militer atau siapa pun yang terkait dengan lingkaran kekuasaan.

Media wacana bukanlah lahan yang empuk sebagai saluran sikap protes mereka, selain dari aksi anarkis, seperti teror, bom bunuh diri, atau tembak di tempat. Sementara itu, partai-partai Islam seperti yang tergabung dalam Majelis Ma'mal Al-Muttahida (MMA) pun terkadang tidak mampu membendung arus doktrin jihadisme ini, telanjur dianggap terkooptasi oleh lingkaran kekuasaan. Serbasulit memang posisi partai milik kaum ulama ini, pernyataan politiknya pun kerap blunder khususnya terkait relasi pemerintahan militer dengan kelompok-kelompok militan ini.

Yang paling dapat dilakukan biasanya adalah bersikap netral atau memboikot apa-apa yang murni menjadi produk politik pemerintah. Contohnya dalam kasus pemilihan PM ini, hanya partai milik kaum ulama inilah yang konsisten memboikot pemilu, sementara partai yang lainnya lebih mengikuti langkah irama 'poco-poco'.

Terapkan demokrasi pribumi Bagi Pakistan, untuk mendepak militer secara penuh dari panggung politik masih sebuah mimpi yang entah kapan terwujud, di samping menyingkirkan Islam politik yang mengklaim sebagai penjaga gawang simbol negara Islam juga sama sulitnya. Yang membedakan antara keduanya, bahwa kekhawatiran pemerintah militer adalah pada arus prodemokrasi dan ancaman jihadis.

Sebaliknya Islam politik lebih menghawatirkan tetap bercokolnya militerisme yang pro-Barat sekaligus anti-Islam yang ujungnya akan melahirkan jihadisme. Dalam kondisi seperti ini, demokrasi pribumi dalam artian demokrasi yang tidak harus meniru 100 persen Barat yang anti-Islam politik atau pemerintahan militer dapat menjadi jalan tengah.

Konsolidasi kekuatan politik seperti yang terjadi di Turki sudah harus dilirik oleh Pakistan. Di Turki hegemoni politik militer sangat kuat, kudeta militer juga sempat terjadi di negara tersebut. Namun, yang membedakan antara kedua negara berpenduduk Muslim ini adalah ketangguhan hegemonik militer Turki masih tunduk pada pakem demokrasi yang mengantarkannya mampu berkonsolidasi dengan kekuatan Islam politik.

Hal ini terbukti dengan mulus dan direstuinya Abdullah Gul terpilih sebagai presiden dari partai Islam. Perbedaan yang lainnya adalah di Turki ketika kudeta militer terjadi, segera prosesi demokrasi berupa pemilu digelar untuk menentukan kepemimpinan yang legitimated, lalu militer kembali ke barak sehingga militer betul-betul berfungsi sebagai pengaman konstitusi dan keutuhan negara.

Dengan pakem demokrasi seperti ini, sekalipun mayoritas penduduk Turki adalah Muslim, sementara militer tampak sangat kuat, tetapi tren jihadisme tidak sepopuler di Pakistan. Memang untuk sampai ke arah itu sebelumnya harus telah terbangun pandangan umum tentang tidak adanya pertentangan antara Islam dan demokrasi.

Kenyataannya, hal yang terakhir ini masih menyisakan masalah di Pakistan. Konstitusi Negara Islam Pakistan sebagai sebuah sistem yang final sekaligus yang dapat menerima konsep demokrasi modern masih belum seutuhnya diterima.

Kondisi seperti inilah yang sesungguhnya melahirkan doktrin militerisme, sekaligus menemukan momentumnya untuk selalu eksis sehingga reaksi yang muncul adalah doktrin jihadisme yang sama-sama tidak menguntungkan masa depan Pakistan. Clash antarkedua doktrin ini ibarat lingkaran setan yang tidak akan selesai, kecuali Pakistan mau menerapkan demokrasi pribumi ala Turki.

No comments: