Trias Kuncahyono
’’Ketika saya menulis ini, Pakistan tengah kacau-balau. Dalam usianya yang keenam puluh tahun, 3 November 2007, situasi saat ini akan dikenal sebagai salah satu hari tergelap Pakistan di bawah diktator militer.”
Itu antara lain yang ditulis Benazir Bhutto dalam buku terbarunya Benazir Bhutto, Reconciliation Islam, Democracy, and the West (2008), yang diterbitkan setelah ia dibunuh di Rawalpindi, 27 Desember 2007.
Kutipan lain dari buku itu, ”... Pada saat itu, Jenderal Pervez Musharraf menyingkirkan semua transisi demokrasi bohong-bohongan dengan kudeta ekstrakonstitusional yang lain....”
”Ia membekukan konstitusi dan menahan ratusan pejabat partai politik, aktivis HAM, pengacara, hakim, dan wartawan. Ia membekukan siaran televisi independen, melarang media cetak yang kritis terhadap pemerintahan militer. …Inilah hari tergelap bagi Pakistan, hari terkelam bagi demokrasi….’’
Apa yang dikemukakan Benazir dijawab rakyat pada hari Senin (18/2), dengan memberi suara oposisi, terutama Partai Rakyat Pakistan (PPP), partainya Benazir Bhutto, dan Liga Muslim Pakistan-Kelompok Nawaz Sharif (PML-N).
Shafqat Mahmood dalam tulisannya di The News (19/2) bahkan menyebut pemilu benar-benar merupakan referendum rakyat terhadap pemerintahan Musharraf. Sementara Ansar Abbasi di koran yang sama menulis, revolusi diam dari mayoritas yang selama ini tak bersuara telah menggebrak Pakistan. Dan, rakyat pun dengan suara lantang telah mengatakan, ”Tidak ada tempat bagi partai-partai pendukung pemerintah, yang loyal kepada Jenderal Musharraf. Musharraf telah kalah.’’
’’Pakistan memang tengah memasuki periode transisi. Transisi dari pemusatan kekuasaan pada satu orang, yakni presiden, ke parlemen. Ini periode transisi yang amat penting,” komentar Brigjen (Purn) Bashir Ahmad dari Institute of Regional Studies, hari Selasa (19/2).
Pendapat Bashir Ahmad itu didukung oleh Menteri Dalam Negeri Letjen (Purn) Hamid Nawaz Khan. ’’Ini pemilu istimewa. Yang penting bukan soal siapa yang menang dan siapa yang kalah, tetapi pemilu sudah dilaksanakan secara bebas, adil, jujur, dan transparan,’’ kata Nawaz Khan.
Apa pun hasilnya, kata Bashir Ahmad, semua pihak harus menghormatinya. ’’Rakyat sudah bersuara dan kami harus menghormati suara rakyat,” katanya.
Rakyat kecil pun mengakui bahwa pemilu berlangsung secara transparan, adil, bebas, dan jujur.
”Saya senang PPP dan PML-N meraih suara banyak dan berhasil menyingkirkan PML-Q (partai pendukung Presiden Pervez Musharraf). Demokrasi telah kembali,” komentar Amir, pedagang kerajinan yang diamini oleh para pedagang lainnya seperti pemilik toko sepatu Amir Rahim Qureshi dan Raja, seorang pedang karpet.
Hasil pemilu adalah zaban-e-khalq, suara rakyat! Karena itu, bahkan Presiden Musharraf pun mendesak para kandidat untuk menerima hasil pemilu. ”Daripada meneriakkan (adanya) kecurangan, kita semua lebih baik menunjukkan keluhuran budi,” katanya.
Setelah pesta usai
Pesta sudah usai. Islamabad kembali ke kehidupan normal. Kantor-kantor sudah buka kembali. Toko-toko sudah pula buka kembali. Tidak hanya Islamabad yang sudah kembali normal, seluruh negeri kembali seperti sedia kala. Persoalan lama sudah mulai muncul lagi menunggu untuk diselesaikan.
Kini rakyat setelah memberikan suara menunggu realisasi janji-janji kampanye partai-partai politik. Apakah janji mereka untuk memulihkan kehidupan demokrasi yang sempat mati suri akankah diwujudkan. Mayoritas rakyat Pakistan menginginkan restorasi status para hakim yang beberapa waktu lalu dipecat Musharraf, termasuk Ketua Mahkamah Agung Iftikhar Muhammad Chaudhry. Itu berarti para hakim yang ditunjuk Musharraf pada tanggal 3 November 2007 harus diberhentikan.
Selain itu, media juga menginginkan kehidupan pers yang lebih bebas. Jika PPP dan PML-N sebagai partai pemenang pemilu bersedia memberikan toleransi pada lembaga peradilan yang independen dan media bebas serta independen, maka parlemen pun akan menjadi lebih kuat. Sebab, hanya dengan parlemen yang kuat dan independen, tidak seperti sebelumnya, akan tercipta stabilitas negara.
No comments:
Post a Comment