Jose de Araujo (20), sopir taksi di Kota Dili, takut mengantar Kompas ke rumah almarhum Mayor Alfredo Reinado di Kampung Alor, Dili Barat, Rabu (13/2). Ia berhenti sekitar 300 meter dari rumah duka karena takut pada pengikut Alfredo.
OLEH: KORNELIS KEWA AMA
Maaf, saya harus turunkan Pak di sini karena kami di Timor Leste ini punya sifat pendendam sangat kuat. Saya antisipasi lebih awal daripada taksi saya dilempar atau dibakar. Di sini orang sering bertindak brutal,” kata lulusan SMA itu.
Araujo menilai, perebutan kekuasaan oleh elite politik mengorbankan rakyat kecil yang menginginkan kedamaian di Timor Leste.
Araujo adalah salah satu dari ribuan warga Timor Leste yang hidup dalam suasana tidak aman. Meski sudah merdeka sejak tahun 1999, perasaan takut selalu mengganjal walau secara selintas hal itu tidak tampak dalam kehidupan sehari-hari. Selain pemberlakuan jam malam, rakyat masih bisa melakukan kegiatan sehari-hari secara normal.
Tokoh masyarakat Timor Leste, Salvador Ximenes, menilai, para elite politik merasa diri sebagai pejuang, kemudian saling berebut kekuasaan dengan mengorbankan rakyat kecil. Rakyat terkotak-kotak dalam isu Loro Monu (Timor Leste bagian barat) dan Loro Sae (Timor Leste bagian timur).
Isu ini diperkuat dengan pengelompokan partai-partai politik yang saling berebut kekuasaan. Partai besar seperti Fretilin kalah dalam pemilihan presiden, perdana menteri, dan parlemen 2007. Partai ini merasa semakin ditinggalkan rakyat.
Partai CNRT (Conselho Nacional Reconstruction de Timor) merupakan partai terbesar lain yang lahir pascakemerdekaan Timor Leste. Partai itu makin mendapat dukungan rakyat. Namun, partai yang dibentuk Xanana Gusmao dan didukung Ramos Horta ini belum mampu merangkul seluruh kelompok masyarakat di Timor Leste.
Pemberontakan era kemerdekaan (April-Mei 2006) yang dipimpin Alfredo Reinado terus berlanjut. Pemberontakan itu lahir di era mantan Perdana Menteri Mari Alkatiri. Belakangan rekan seperjuangan Alfredo, Salsincha de Sousa, mantan tentara Timor Leste yang dipecat, juga membentuk kelompok pemberontak dengan anggota lebih dari 400 orang.
Rojerio da Costa (31), tokoh pemuda dari Baucau, menyatakan, tidak jelas arah perjuangan dari para pemberontak ini meski dalam berbagai pernyataan mereka selalu menyebutkan memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan.
”Upaya pembunuhan terhadap Presiden merupakan tindakan yang tidak bertanggung jawab. Bisa saja kebijakan Presiden Ramos Horta tidak disetujui sebagian kalangan, tetapi tidak harus diselesaikan dengan upaya pembunuhan,” kata Da Costa.
Kekerasan tidak akan menyelesaikan masalah. Jika Presiden terbunuh, tidak hanya pemberontak berhadapan dengan konstitusi Timor Leste, tetapi juga anggota keluarga, simpatisan, dan partai-partai pendukung pemerintah. Kekerasan akan melahirkan kekerasan baru.
Panglima FDTL (Falintil de Feica Timor Leste) Brigjen Taur Matan Ruak sangat menyesalkan kejadian itu. Ia menilai, polisi internasional lebih dari 1.000 orang yang bertugas di Dili tidak mampu menjalankan tugas dengan baik. Kasus demi kasus dibiarkan begitu saja.
Taur mendesak PBB membentuk sebuah tim kecil untuk melakukan investigasi. Mengapa kejadian itu bisa lolos, padahal banyak pasukan PBB, termasuk intelijen profesional dari luar negeri, berada di Dili.
Dili merupakan pusat pemerintahan, perdagangan, kota pendidikan, pusat hiburan, dan kehidupan yang heterogen. Semua warga Timor Leste, dari 12 distrik, dengan latar belakang sejarah, karakter, partai politik, dan ideologi yang berbeda, berkumpul di Kota Dili.
Banyak warga negara asing, termasuk polisi PBB, hadir di Dili. Karena itu, pengamanan terhadap Kota Dili, menurut Taur, seharusnya lebih profesional untuk melindungi aset-aset pemerintah dan masyarakat.
Dengan demikian, pemerintahan bisa berjalan dengan baik dan rakyat dapat hidup dengan tenang.
No comments:
Post a Comment