Tuesday, February 12, 2008

Timor Leste, Nasib Tak Tentu



Florencio M Vieira

Berita yang dikirim melalui layanan pesan singkat atau SMS pagi hari kemarin amat mengejutkan, ”Ramos Horta ditembak di depan rumahnya.” Antara percaya dan tidak karena rumor politik Timor Leste merupakan makanan sehari-hari.

Untuk meyakinkan kebenaran SMS itu, saya mencoba membuka internet. Benar juga, diperoleh kabar, Ramos Horta wounded in rebel attacked yang ditulis Reuters. Ditambahkan, dalam insiden itu, perut Ramos Horta ditembus dua buah timah panas, pukul tujuh pagi waktu setempat. Semakin mengejutkan, penyerbuan dilakukan oleh Alfredo Reinado, yang juga tewas saat itu.

Sementara itu, menurut RTP (Radio Televisao Portugal), pada saat sama, kelompok Reinado yang lain menyerang kediaman Perdana Menteri Xanana Gusmao. Namun, Xanana dapat meloloskan diri. Suatu keberanian besar bagi pemberontak untuk langsung mendatangi sasaran yang dijaga ketat, meski dibayar dengan tewasnya Reinado.

Ironisnya, laporan yang disampaikan UN Security, 10 Februari 2008—satu hari sebelum insiden Horta tertembak—situasi keamanan yang disampaikan oleh UN Special Representative of the Secretary-General for Timor-Leste Atul Khare, situasi di seluruh negeri dalam satu minggu terakhir stabil, gangguan keamanan sangat rendah, hanya sekitar enam insiden per hari.

Sementara itu, mantan Perdana Menteri Mari Alkatiri mengatakan, kejadian ini amat mengejutkan setelah adanya kemajuan positif, yaitu upaya presiden untuk menemukan solusi melalui mekanisme konsensus politik nasional dalam menghadapi isu-isu kritikal yang dihadapi negara.

Mari Alkatiri sendiri digulingkan oleh sebuah konspirasi politik yang memerankan Alfredo Reinado untuk melakukan kudeta, tetapi akhirnya Reinado dijadikan musuh bersama. Selama ini, Reinado dan kelompoknya melarikan diri secara massal dari penjara dan bergerilya di hutan dan beberapa kali lolos dari sergapan pasukan Australia. Reinado sendiri mendapat pelatihan militer di Australia.

Damai tak kunjung datang

Timor Leste merupakan negara kecil dengan reputasi internasional karena dua putranya menerima Nobel Perdamaian pada 1996. Ironisnya, setelah memisahkan diri dari NKRI, perdamaian tak kunjung terwujud sesuai gelar yang disandang Uskup Ximenes Belu dan Ramos Horta. Bahkan, kelompok yang tidak setuju penerimaan itu mengatakan akan lebih terhormat bila nobel itu dikembalikan ke Norwegia karena mereka tidak sanggup menjaga perdamaian di Timor Leste.

Sepanjang Timor Leste masih dikuasai kelompok yang merupakan bagian kekerasan masa lalu—tetapi kini cepat menyesuaikan diri dengan membangun citra baru melalui kampanye nonkekerasan—perdamaian, keadilan, dan hak asasi manusia, pembaruan di Timor Leste agar rakyat lebih sejahtera, masih menjadi tanda tanya besar.

Kelompok yang berusaha tetap berkuasa hanya upaya menghindari post power syndrome sambil menikmati politicking yang menjadi bagian hidup mereka. Setiap pergantian pemerintahan, friksi untuk saling menjatuhkan sudah menjadi hal biasa.

Dalam DVD yang diedarkan di seluruh pelosok Timor Leste, Reinado menuduh Perdana Menteri Xanana bersama Ramos Horta terlibat dalam insiden April dan Mei 2006, di mana sekitar 37 orang mati dan 100.000 lebih masih mengungsi hingga kini. Saat itu adalah upaya menjatuhkan PM Alkatiri yang diorkestrasi mantan PM Australia John Howard karena bertentangan dengan Fretilin dalam beberapa kebijakan strategis yang terkait Greter Sunrise di Timor Gap.

Berbagai kepentingan asing terhadap minyak dan gas Timor Leste ini ikut menciptakan komprador-komprador avonturir dan memperparah eksistensi harga diri dan kedaulatan negara itu.

Kambing hitam

Reinado merasa telah menjadi kambing hitam dan korban dari sebuah konspirasi politik dan selanjutnya telah menjadi musuh bersama dari para penguasa di Timor Leste. Dugaan saya, hal itu telah melukai hatinya sehingga tidak dapat menahan diri untuk melakukan balas dendam terhadap Horta dan Gusmao atau elite lain, apa pun risikonya.

Pascakejadian ini, dapat menjadi efek domino dan memperuncing permusuhan antarkelompok Reinado—terutama di bagian barat atau Loromonu—yang merasa kehilangan pemimpin alternatif Timor Leste. Sedangkan di lain pihak, terutama pengikut Fretilin, mensyukuri kematian Reinado yang konyol karena dialah yang ikut menjatuhkan Alkatiri saat menjabat Perdana Menteri.

Stabilitas politik Timor Leste yang tak kunjung selesai hanya akan memperparah rakyat kecil yang kehidupannya kian tidak menentu dengan pengangguran sampai 70 persen. Penduduk Timor Leste yang mayoritas Katolik seharusnya dapat menjauhkan diri dari segala bentuk kekerasan. Hal ini bisa terwujud bila benar-benar mengimplementasikan nilai-nilai Kristiani secara konsisten dalam kehidupan sehari-hari melalui pendekatan kasih dan menjauhkan diri dari segala bentuk kekerasan.

Florencio M Vieira Pemerhati Timor Leste

No comments: