Oleh Trias Kuncahyono
Dulu, ia dikenal sebagai pemain kriket hebat, bahkan jadi kapten tim kriket Pakistan (1971-1992). Tim Pakistan memenangi Piala Dunia 1992. Kini ia dikenal sebagai politisi, pemimpin Partai Tehreek- e-Insaf (Partai Gerakan Keadilan) yang didirikan April 1996.
Dialah Imran Khan, lahir 25 November 1952 di Lahore. Majalah Australia, OZ, pernah menobatkannya sebagai ”Sexiest Man of The Year”. Imran Khan sering disebut sebagai ”Singa dari Lahore”, keturunan suku Niazi Pashtun Shermankehl.
Lulusan Universitas Oxford, Inggris, ini selama masa kampanye meneriakkan sikap anti- Musharraf. Ia menyatakan, Musharraf harus mundur dan pemerintahan militer harus diakhiri! ”Ia sudah selesai,” katanya, Selasa (19/2) di Islamabad.
Ia juga mengkritik Benazir Bhutto, sebelum dibunuh, bekerja sama dengan Musharraf. Bagi Imran Khan, ini tak masuk akal. Padahal, ayah Benazir Bhutto, Zulfikar Ali Bhutto, digantung penguasa militer, Presiden Zia-ul-Haq. ”Bagaimana ia dapat melakukan itu,” kata Khan di The Telegraph, Agustus lalu.
Secara sinis, waktu itu ia mengatakan, ’’Benazir bersedia berunding dengan Musharraf untuk menghapus tuduhan korupsi yang ditimpakan kepadanya dan tentara akan tetap berkuasa.
Imran Khan cenderung bersikap tidak kompromi. Sementara Benazir Bhutto lebih mau kompromi dengan penguasa. Walau bersikap kompromi, Benazir Bhutto antidiktator, antimiliter, antiterorisme, antikekerasan, dan memperjuangkan demokratisasi bagi Pakistan.
Sikap tegas Benazir Bhutto itu harus dia bayar. Ia dibunuh setelah berkampanye di Rawalpindi, 27 Desember 2007. Rakyat pun segera menuding bahwa pemerintah, militer ada di balik pembunuhan itu. Darah Benazir Bhutto telah menyuburkan sikap antipemerintah, antipartai pendukung pemerintah (PML-Q), dan ujungnya anti-Musharraf.
Meski pemerintah membantah tuduhan itu dan berjuang mengejar pembunuh, beberapa kali pemerintah mengumumkan telah menangkap orang-orang yang dicurigai ada di balik pembunuhan itu. Namun, rakyat, terutama pendukung Bhutto, menilai pemerintah bersalah.
Teraniaya
Faktor pembunuhan Bhutto menjadi roh baru dalam perjuangan melawan Musharraf. Sentimen anti-Musharraf berhadapan dengan emosi rakyat yang melihat Bhutto teraniaya.
Rakyat Pakistan yang tidak terdidik, sekitar 52 persen buta huruf dan miskin, telah memberikan pendidikan kepada Pakistan bahwa nilai-nilai kebebasan, kedamaian, dan demokrasi jauh lebih penting dibandingkan lainnya. Mereka menunjukkan bahwa mereka cinta damai, kebebasan, dan demokrasi.
Penyerangan militer ke Masjid Merah, pemecatan 60 hakim dan Ketua Mahkamah Agung, serta pembunuhan terhadap Bhutto memberikan sumbangan besar bagi kemenangan partai- partai oposisi, Partai Rakyat Pakistan (PPP) yang dulu dipimpin Benazir Bhutto dan Liga Muslim Pakistan—kelompok Nawaz Sharif (PML-N) yang mengusung nilai-nilai demokrasi.
Harus sadar
Musharraf harus mengakui, rakyat telah berbicara dan menginginkan demokrasi, perdamaian, tegaknya aturan hukum, serta menghendaki tindakan tegas terhadap terorisme dan ekstremisme. Inilah revolusi damai di Pakistan yang secara penuh menginginkan pembongkaran tatanan lama, struktur kekuasaan lama yang terpusat kepada presiden dan dikembalikan ke parlemen. Ini realitas baru. Pakistan memasuki hari baru.
Hasil pemilu juga menunjukkan, rakyat menolak partai-partai agama yang pernah meraup suara banyak pada pemilu 2002. Kini, perolehan suara mereka jauh di bawah PPP dan PML-N, bahkan di bawah PML-Q (partai pendukung pemerintah). Partai- partai nasionalislah yang lebih mendapat kepercayaan rakyat.
Dengan kalahnya PML-Q, Musharraf tidak mempunyai sandaran kuat lagi di parlemen. Ia harus berhadapan dan mau bekerja sama dengan PPP dan PML-N. Selain itu, Musharraf juga sudah kehilangan konstituen lamanya, tentara Pakistan, yang sebelum pemilu sudah menjaga jarak dengan pemerintah. Pemimpin militer Pakistan Jenderal Ashfaq Pervez Kayani— pengganti Musharraf—menyatakan, militer tak mau mencampuri urusan politik dan menjauhi proses pemilu serta hanya akan memusatkan perhatiannya pada masalah keamanan.
Kini mandat dari rakyat jelas: melawan presiden, seluruh orang-orangnya, serta partainya. Benazir Bhutto, memang, tak menikmati manisnya kemenangan. Hal yang sama juga tak dinikmati Musharraf. Ia harus menelan pil pahit kekalahan. Dan hanya Imran Khan-lah yang masih bisa bebas berteriak atas nama demokrasi.
No comments:
Post a Comment