Thursday, February 28, 2008

Pelajaran "Nasionalisme" dari Bolivia


Oleh Fahmi Fahriza


Kamis, 21 Februari 2008
Tentu kita sempat dibuat kagum oleh keputusan Morales yang mampu mengakhiri dominasi asing dalam pengelolaan sumber daya alam, termasuk minyak, hanya dalam tempo 10 bulan setelah menjabat presiden. Dengan kontrak baru itu, semua perusahaan asing harus menyetor 82 persen dari penerimaan (bukan total laba) ke YPBF (Yacimientos Petroliferos Fiscales Bolivianos, mirip Pertamina) dan hanya 18 persen untuk perusahaan asing sebagai operator eksplorasi minyak. Dengan kontrol negara tersebut, YPBF juga dengan leluasa mengontrol praktik penipuan keuangan yang umum dilakukan perusahaan asing, yang bertujuan mengelabui negara tempatnya beroperasi.
Kondisi ini sangat berbeda jauh dengan Indonesia. Di Indonesia, kontrak karya dengan profit-sharing agreement (PSA) ala Orde Baru terbilang antinasionalisasi. PSA seolah menempatkan RI sebagai pemilik, dan multinational corporation sebagai kontraktor. Namun, pada praktiknya korporasi multinasional itulah yang mengontrol ladang yang notabene mendatangkan laba berlipat ganda -mirip kolonialisme.
Dengan model tersebut, korporasi-korporasi itulah yang punya kedaulatan. Klausul stabilisasi PSA mengatakan UU RI tak berlaku bagi setiap kegiatan multinational corporation dan tak bisa jadi rujukan jika sengketa terjadi. Yang berlaku adalah hukum internasional yang tak kenal kepentingan nasional. Dan, hampir tak ada satu pun kasus yang dibawa ke arbritase internasional yang pulang membawa keberhasilan bagi kepentingan nasional negara berkembang seperti Indonesia. Bukankah ini menjebak?
Adapun terkait dengan hitungan 70-85 persen untuk pemerintah Indonesia, angka ini tergantung bunyi kontrak masing-masing. Memang, terkadang membuat orang menganggukkan kepala pertanda kagum bahwa kita menerima kompensasi yang sangat besar. Padahal jika dicermati, angka 85 persen itu diperoleh dari porsi equity to be split (ETS) dalam mekanisme kontrak migas/PSC (petroleum sharing contract). ETS sendiri diperoleh dari pengurangan nilai produksi (revenue) dengan first tranche petroleum, investment credit, dan cost recovery. Banyak pengamat memberikan istilah ETS adalah nilai sisa (ampas) dari pengurangan revenue. Jadi, hanya di situlah bagian yang diterima pemerintah Indonesia.
Soal cost recovery, konsepnya sebenarnya ada di skema PSC kita. Namun ironisnya, konsep PSC di Indonesia mempunyai hole (lubang) yang menguntungkan bagi kontraktor migas dan tentu sangat merugikan negara. Dalam PSC kita, tidak ada batasan secara detil aturan cost recovery ini. Dan, jika coba baca-baca PSC itu, kita pun akan dibuat terbengong-bengong. Bagaimana bisa pemerintah kita mau saja ditipu mentah-mentah atas konsep PSC. Audit BPK pun menemukan banyak sekali kerugian negara yang telah berlangsung selama ini dari model-model PSC itu. Belum lagi ketika berbicara mengenai porsi domestic market obligation (DMO) untuk Indonesia yang ruwet dan kecil. Padahal kita juga kan butuh minyak.
Kita ambil contoh kasus Freeport. Kalau kita selami, inti persoalan dari masalah Freeport selama ini adalah dibebaskannya Freeport Mc-Moran (FCX) dari kewajiban menyerahkan saham mayoritas (51%) PT Freeport Indonesia (PT FI) kepada pihak Indonesia seperti yang tercantum pada Kontrak Karya II lantaran dan masih adanya klausul yang membebaskannya bila ada peraturan yang lebih ringan. Dan, peraturan yang lebih ringan yang bisa membebaskan FCX dari kewajiban pengalihan saham mayoritas itu adalah PP No 17 Tahun 1992. Juga adanya keinginan FCX untuk menguasai 100% saham PT. FI yang menurut PP No.20 Tahun 1994 memungkinkan penanaman modal asing (PMA) menguasai 100% atas perusahaan yang beroperasi di Indonesia. Bahkan kabarnya PT FI sudah pernah melobi Mentamben/Ketua BKPM kala itu untuk meminta agar saham PT FI disesuaikan dengan PP No 20/1994 itu.
Atas nama modal dan teknologi, FCX selama KK I hingga tahun 1991 menguasai 90% saham. Dan, kontrak puluhan tahun itu tak menghasilan transfer teknologi dan modal yang memungkinkan di akhir masa kontrak pemerintah bisa melakukan eksploitasi dan eksplorasi sendiri. Sungguh ironis. Bahkan dalam KK II yang kontraknya baru akan berakhir tahun 2021, hanya diberikan ke pihak Indonesia 20%, bukan saham mayoritas yang minimal 51%. Bahkan ada kecenderungan mereka ingin menguasai 100% saham. Di sinilah letak keanehannya.
Berbeda dengan Bolivia yang berani bersikap tegas meminta bagiannya demi kepentingan nasionalnya, Indonesia tampaknya tidak demikian. Rakyat Bolivia tentu lebih bahagia dibanding rakyat Indonesia yang diberi tahu para pemimpinnya bahwa kontrak karya migas dan nonmigas dengan korporasi asing tidak bisa diubah. Mengapa? Katanya, jika menuntut negosiasi ulang, apalagi nasionalisasi industri migas dan pertambangan, Indonesia bisa diperkarakan di level dunia yang katanya bisa berdampak pada diasingkannya negara kita oleh komunitas dunia. Selain itu, ada adagium, sekali kontrak ditandatangani, perlu dihormati kesuciannya. Haruskah demi menjaga kesucian kontrak itu, negara kemudian rela membiarkan penderitaan rakyatnya akibat dibawa larinya hasil-hasil kekayaan alam kita ke negeri orang?
Langkah yang dilakukan Bolivia menunjukkan kontrak kerja sama migas bukan hal yang tabu untuk diubah. Karena sebenarnya ada klausul di dalam kontrak kerja sama yang menyatakan bahwa apa pun yang diperjanjikan oleh kedua belah pihak, kedaulatan negara ada di atas semua itu. Bahkan, menurut pakar perminyakan, Kurtubi, ada kalimat di klausul PSC yang dengan jelas memberi hak hukum pada Indonesia. Di dalam klausul itu tertulis bahwa pada setiap kontrak tidak boleh ada pihak yang memiliki kesempatan membawa sengketa bisnis ke arbitrase internasional. Setiap kontrak juga tidak boleh mencegah atau membatasi pemerintah Indonesia untuk mengutamakan kepentingannya. Ini jelas-jelas merupakan pintu hukum yang sah dan kuat untuk Indonesia, dalam memaksimalkan kekayaan alam untuk kepentingan negara.
Jadi, apalagi yang membuat pemerintah tidak berani melakukan langkah sebagaimana dilakukan Bolivia? Dengan melihat keberanian Bolivia, masihkah kita berpikir "tidak mungkin" untuk menego ulang kontrak-kontrak tersebut. Keberanian adalah kuncinya.***
Penulis adalah peneliti di KALAM Center Bogor

No comments: