Monday, February 25, 2008

Kebebasan Pers di Malaysia


Media perlu memberikan liputan pemilihan umum yang berimbang atau proses pemilu di Malaysia akan menjadi bahan ejekan dan tertawaan.

Seruan itu disampaikan Ketua Komisi Pemilu Malaysia Abdul Rashid Abdul Rahim setelah mendengarkan keluhan oposisi bahwa media di Malaysia bias. Apa yang disampaikan Ketua Komisi Pemilu itu menjadi penting artinya dalam konteks peran media dan demokrasi.

Apakah politik media di Malaysia sudah sedemikian tidak memberikan kebebasan sehingga partai oposisi mengeluh kepada Ketua Komisi Pemilu? Sejauh kita tahu sampai saat ini, media utama di Malaysia dikuasai pemerintah atau partai-partai yang berkuasa, yang tergabung dalam koalisi Barisan Nasional.

Sekadar contoh. Media massa, baik cetak maupun elektronik, di Pakistan memperoleh keleluasaan dan kebebasan dalam memainkan perannya selama masa pemilu yang baru lalu. Masyarakat pembaca dan pemirsa memperoleh informasi yang memadai. Padahal, sebelumnya, media sempat dikontrol ketat pemerintah.

Media di Malaysia—sama seperti di Indonesia pada masa lalu—dikontrol lewat keharusan pembaruan izin terbit. Pembaruan izin terbit di Malaysia ini jauh lebih ketat dibandingkan dengan di Indonesia pada masa lalu, yakni setiap tahun. Karena itu, wajar kalau kemudian media juga lebih berpihak kepada pemerintah ketimbang oposisi.

Hanya persoalannya, apakah dengan posisi seperti itu peran media sebagai pilar keempat demokrasi terpenuhi? Media sendiri selama ini dipandang dan dianggap sebagai pilar keempat demokrasi, selain tiga pilar lainnya, yakni eksekutif, yudikatif, dan legislatif. Mengapa media menjadi pilar keempat?

Lewat media, salah satu nilai yang dijunjung demokrasi dipenuhi, yakni kebebasan menyampaikan pendapat. Demokrasi diidentikkan dengan kebebasan mengungkapkan pendapat. Karena itu, orang banyak berharap dari demokrasi.

Orang berharap demokrasi akan mengurangi ketidakadilan. Oleh karena itu, jika kebebasan berpendapat dihalangi, atau ada ketidakadilan dalam menyampaikan pendapat atau pengekangan menyampaikan pendapat, maka demokrasi sebagai sistem politik terancam.

Memang, kebebasan bukan segala-galanya atau bukan tanpa batas. Sama halnya dengan demokrasi. Demokrasi juga membutuhkan tegaknya tatanan hukum dan ketertiban. Tanpa semua itu, demokrasi menjadi tidak mungkin. Akan tetapi, semestinya kebebasan berpendapat lewat media tetap menjadi sarana utama dan eksklusif bagi tindakan politik.

No comments: