Bagaimana masa depan Pakistan pascatewasnya mantan Perdana Menteri Benazir Bhutto 27 Desember lalu? Dan pelajaran apa yang bisa diambil Indonesia dari tewasnya Benazir? Pertanyaan-pertanyaan ini diajukan kepada saya oleh beberapa media elektronik dalam dan luar negeri.
Kompleksitas masalah politik, sosial, dan keagamaan di Pakistan membuat tidak mudah menjawabnya. Tapi satu hal pasti; Pakistan adalah negara yang memiliki potensi dan realitas konflik multidimensi, yang secara historis berurat berakar, bahkan sebelum Pakistan terbentuk pada 1947 sebagai hasil pemecahan Anak Benua India, seusai Perang Dunia II. Terus meningkatnya intensitas konflik dan kekerasan di Pakistan belakangan ini membuat majalah Newsweek edisi 29 Oktober 2007 menyatakan: The most dangerous nation in the world isn't Iraq. It's Pakistan.
Eskalasi kekerasan terus meningkat sejak kembalinya Benazir dari pengasingan. Begitu Benazir sampai di Karachi, 18 Oktober, massa pendukungnya disambut dua pemboman bunuh diri yang menewaskan sekitar 140 orang dan melukai lebih dari 500 orang. Puncak kekerasan adalah tewasnya Benazir dalam waktu hanya kurang dari tiga bulan sejak ia kembali. Kerusuhan di berbagai tempat menggiring Pakistan menuju negara yang gagal.
Pakistan memang mengandung banyak potensi konflik yang meledak dari waktu ke waktu. Secara sosial-politik, terdapat pertarungan, konflik, dan kekerasan antara kaum Sindhi, penduduk 'asli' yang sekarang kita kenal sebagai Pakistan dengan kaum Mohajir, mereka yang hijrah dari India bersamaan dengan partisi 1947. Juga terdapat konflik laten antara kaum tuan tanah --sebagian besar keturunan Iran-- dengan massa petani buruh.
Konflik dan kekerasan komunal yang bersumber dari perbedaan etnis dan kedudukan sosial ekonomi menjadi lebih rumit dengan skisma dan konflik dalam segi keagamaan. Mayoritas Muslim Pakistan adalah kaum Suni, yang terbelah ke dalam kelompok Islamis --untuk tidak menyebut 'fundamentalis' yang secara politik tergabung ke dalam Jama'ati Islami yang didirikan Abu A'la al-Mawdudi, yang bersama Sayyid Qutb (al-Ikhwan al-Muslimun, Mesir) merupakan intellectual and spiritual founding fathers gerakan Islamis Dunia Muslim kontemporer.
Mereka berhadapan dengan kaum Muslim modernis, pemegang warisan Sayyid Ahmad Khan sejak abad ke-19; dan terakhir kelompok Muslim sekuler, penerus Muhammad Ali Jinnah, presiden pertama Pakistan, dan tentu saja Benazir.
Sementara kontestasi dan konflik di antara kelompok Suni mainstream ini juga tidak pernah surut, pada saat yang sama konflik dan kekerasan sektarian juga merebak sewaktu-waktu antara pengikut Suni dengan minoritas Muslim Syiah; dan juga dengan komunitas Ahmadiyah yang telah ditetapkan sebagai kelompok minoritas 'non-Muslim'. Tingkat kekerasan di antara kelompok-kelompok yang berbeda paham dan aliran keagamaan ini sering memperlihatkan toleransi di antara mereka sangat rendah, jika tak dapat dibilang hampir tidak ada sama sekali.
Di atas semua itu adalah militer yang telah enam kali mengambil alih kekuasaan dari pemerintahan sipil. Hal ini bersumber tidak lain daripada: lemah dan terus merosotnya legitimasi dan kredibilitas kepala pemerintahan sipil; lemahnya institusi masyarakat madani; tidak berdayanya partai politik, yang umumnya bergantung pada sosok tunggal yang menciptakan 'dinasti kepartaian'. Berkombinasi dengan masalah Kashmir, ketakutan pada ancaman India, dan kekerasan komunal dan sektarian, maka militer Pakistan secara sosial, politik, dan psikologis mendapat raison d'etre untuk mengambil alih kekuasaan dari waktu ke waktu.
Indonesia beruntung tidak memiliki potensi yang dapat memunculkan masalah serumit Pakistan. Tapi, potensi-potensi itu bukan tidak mungkin berkembang mencapai skala yang mengkhawatirkan. Karena itulah keragaman sosial, budaya, politik, dan agama di Tanah Air tidak bisa diperlakukan secara taken for granted, sebagai hal yang sudah 'selesai' dan tidak perlu dipersoalkan lagi.
Konflik komunal antarsuku dan etnis masih sering terjadi di negeri ini. Juga konflik dan kekerasan sektarian, khususnya yang dilakukan kelompok-kelompok yang mengatasnamakan mainstream terhadap kelompok keagamaan tertentu yang dianggap menyimpang seperti Ahmadiyah, misalnya.
Jika mau belajar dari pengalaman Pakistan, konflik dan kekerasan komunal dan sektarian mesti selalu diantisipasi masyarakat madani dan pemerintah. Pemerintah dengan aparat penegak hukum semestinya tidak membiarkan terjadinya kekerasan komunal dan sektarian. Ketegasan pemerintah dan aparat penegak hukum sangat krusial untuk mencegah masyarakat etnis, agama, sosial, dan politik main hakim sendiri, yang pada gilirannya dapat menjerumuskan Indonesia ke arah negara yang gagal (failed state).
No comments:
Post a Comment