Bagi banyak kaum Muslim dan juga kalangan lain di Eropa dan Asia, masalah 'lobi Israel' atau juga dikenal sebagai 'lobi Yahudi' telah lama menjadi pembicaraan penting. Lobi Israel dipersepsikan atau bahkan diyakini sebagai salah satu sumber pokok dari kebijakan-kebijakan luar negeri Amerika Serikat (AS) yang sangat pro-Israel dengan mengorbankan bangsa Palestina, dan negara-bangsa Irak dengan mengerahkan pasukannya yang disertai sekutu-sekutunya untuk menjatuhkan Presiden Saddam Hussein dan dilanjutkan dengan pendudukan Irak sampai sekarang ini.
Sudah banyak buku dan tulisan yang mengkaji topik lobi Israel dalam politik AS, khususnya dalam memengaruhi dan mengarahkan politik luar negeri AS. Tapi, dalam sebuah perjalanan akhir tahun lalu, saya menemukan di Borders, Logan International Airport, Boston, buku karya John J Mearshimer dan Stephen M Walt, The Israel Lobby and US Foreign Policy (New York: Farrar, Straus & Giroux, 2007), yang sangat menarik dan hampir tanpa tedeng aling-aling mengupas lobi Israel.
Buku yang dipandang sejumlah kalangan di AS sebagai sangat 'kontroversial' itu merupakan pengembangan dari artikel dengan subjek yang sama pada London Review of Books (Maret 2006). Artikel ini kini dengan versi yang lebih luas memancing perdebatan seru di antara pihak yang kontra dan yang mendukung pada pihak lain. Terlepas dari setuju atau tidak, bagi publik Amerika khususnya, buku ini tercatat sebagai paling berani mengungkapkan suatu hal yang bagi banyak kalangan di AS merupakan 'tabu' untuk dibicarakan.
Kedua pengarang ini mengakui, sangat sulit jika tidak mustahil berbicara atau menulis di Amerika pada media arus utama tentang pengaruh lobi Israel terhadap politik luar negeri AS. Alasannya sederhana; orang yang berbicara atau menulis tentang hal itu dengan serta-merta dituduh 'anti-Semitik' (tegasnya anti-Yahudi), atau dilabeli sebagai 'pembenci Yahudi' (Jewis hater). Juga sangat sulit mempersoalkan secara sopan dan akademis tentang dukungan AS kepada Israel. Kasus terakhir adalah Jimmy Carter yang dituduh sebagai 'anti-Semitik' karena bukunya, Palestine: Peace not Apartheid (2006), mengisyaratkan kekuasaan Israel terhadap bangsa Palestina mirip dengan kekuasaan rezim apartheid di Afrika Selatan.
Karena itulah karya Mearshimer dan Walt merupakan buku sangat penting. Memperkuat argumen mereka pada artikel asli, keduanya menggambarkan secara gamblang lobi Israel yang berhasil mengarahkan kebijakan-kebijakan luar negeri AS di Timur Tengah. Dukungan tanpa embel-embel AS terhadap Israel tidak bisa dijelaskan secara sempurna hanya dengan alasan-alasan strategis dan moral.
Hubungan AS dan Israel yang luar biasa erat itu tercipta terutama melalui pengaruh politik individu-individu dan organisasi-organisasi yang sangat aktif menyetir kebijakan luar negeri AS ke arah yang sangat pro-Israel; mereka inilah yang terlibat dalam 'lobi Israel'.
Dalam kajian Mearshimer dan Walt, lobi Israel tidak hanya berkaitan dengan masalah Palestina, tetapi juga dengan Timur Tengah secara keseluruhan --jika tidak di seluruh dunia. Lobi Israel berhasil menyetir kebijakan politik luar negeri AS, yang memiliki dampak sangat panjang atas postur Amerika di Palestina, Lebanon, Suriah, Irak, Lebanon --dan juga Iran; dan menimbulkan kerusakan sangat besar terhadap persepsi dan citra AS di seluruh dunia.
Bukan hanya itu. Seperti disimpulkan Mearsheimer dan Walt, sikap pro-Israel meningkatkan kebencian terhadap Amerika; dan bahkan mendorong radikalisme di Timur Tengah dan tempat-tempat lain di muka bumi. Amerika terlihat hipokrit ketika mempersoalkan pengembangan nuklir di Iran, sementara menutup mata terhadap program nuklir Israel dan pelanggaran HAM yang terjadi di Israel dan AS sendiri.
Lebih jauh, pengaruh lobi Israel menjerumuskan AS ke dalam perang yang tidak berujung di Irak; menyulitkan perundingan AS dengan Suriah dan Iran; mendukung serangan Israel yang gagal di Lebanon, yang pada gilirannya memperkuat Hizbullah.
Kedua pengarang menganjurkan agar AS berusaha melepaskan diri dari lobi Israel. AS juga perlu mengubah kebijakannya terhadap Israel, dengan memperlakukannya sebagai sebuah 'negara normal'; yakni tidak lagi memegangi prinsip, bahwa kepentingan Israel identik dengan kepentingan Amerika. Jika Israel bertindak benar, sepatutnya AS tetap mendukungnya; tetapi jika Israel berbuat tidak benar, AS mesti menentangnya.
Akhirnya, memang ada nada pesimisme kedua penulis, tentang apakah pengaruh lobi Israel dapat dikurangi, jika tidak diakhiri. Counter-lobby yang dibangun kaum Arab-Amerika atau kelompok-kelompok Muslim masih sangat lemah. Karena itu, daripada hanya mengandalkan counter-lobby, yang dapat dilakukan adalah mendorong terciptanya wacana dan debat terbuka tentang berbagai isu, sehingga publik Amerika dapat terlibat dalam pembentukan kebijakan-kebijakan Pemerintah AS.
No comments:
Post a Comment