Monday, February 25, 2008

Pangan dalam Inflasi China


Film kolosal China terbaru berjudul The Warlords memperlihatkan kepada kita tentang pentingnya persoalan pangan sehingga orang bisa saling membunuh. Persoalan pangan China sudah lama dipikirkan penguasa negeri itu. Namun, lima tahun belakangan ini persoalan pangan di China sangat merisaukan dan dunia terus bertanya apa yang tengah terjadi di China.

Media massa di Hongkong SAR seperti The Standard, South China Morning Post, dan Financial Times pada pertengahan Desember 2007 ramai memberitakan inflasi China yang mencapai 6,9 persen (Oktober 2006-Oktober 2007). Angka ini merupakan angka tertinggi sejak 11 tahun terakhir.

Bila dirinci lebih mendalam, penyebab utama inflasi itu adalah kenaikan harga pangan yang mencapai 18,2 persen. Bila dirinci lagi, sejumlah komoditas pangan menjadi penyebab inflasi, mulai dari makanan pokok, minyak goreng, daging ayam dan sapi, daging babi, telur, pangan asal laut, sayuran, hingga buah-buahan (lihat tabel). Kenaikan tertinggi terjadi pada harga daging babi yang mencapai 56 persen.

”Saya hanya bisa membeli 500 gram daging babi setiap minggu, padahal biasanya saya bisa membeli 1 kilogram,” kata Jia Lanying, warga Beijing yang bergaji 2.000 yuan, seperti dikutip South China Morning Post, menyusul kenaikan harga daging tersebut dari 8 yuan menjadi 14 yuan per 500 kilogram.

Warga Hongkong pun diingatkan untuk berhati-hati. Menurut ekonom dari Universitas Lingnan, inflasi Hongkong bisa terpengaruh karena kenaikan konsumsi dan juga pergerakan mata uang yuan.

Perkembangan China

Lebih dari lima tahun lalu banyak pengamat telah memperingatkan kepada dunia tentang perkembangan di China. Problem ini ditambah dengan kenyataan produksi pangan yang cenderung turun sehingga harga sejumlah komoditas di pasar dunia mengalami kenaikan.

Laporan harian Asia Wall Street Journal, Maret 2004, mengungkapkan keluhan warga China terhadap kenaikan harga pangan. Di Fujian, kota di wilayah selatan China, pada pertengahan Februari 2004 harga beras mencapai 2.500 yuan per ton, atau lebih tinggi 19 persen daripada harga dua pekan sebelumnya. Di Provinsi Jianxi dan Zhejiang, harga beras mengalami kenaikan 60 yuan per ton dibandingkan dengan dua pekan sebelumnya.

Hal ini bermula dari saat China membuka perekonomiannya. Investasi riil masuk ke China. Investasi ini membutuhkan lahan untuk industri maupun infrastruktur. Alih fungsi lahan membuat lahan pertanian berkurang. Dampaknya, produksi berbagai komoditas pertanian berkurang. China yang dulu mengekspor beras dan gula berubah menjadi pengimpor.

Makanan pokok mereka adalah beras dan gandum. Kedua harga komoditas itu telah mengalami kenaikan harga yang fantastis. Harga beras yang pada empat tahun lalu di bawah 200 dollar AS kini telah di atas 300 dollar AS per ton. Stok gandum akan turun hingga titik terendah dalam 60 tahun terakhir. Stok turun dari 312 juta gantang menjadi 280 juta gantang pada akhir musim tanam 2007/2008. Musim dingin di Argentina, kekeringan di Australia, serta banjir di Eropa menjadi penyebab penurunan produksi gandum dunia.

Adapun kenaikan harga telur dan daging diakibatkan oleh kenaikan harga pakan. Harga pakan naik karena harga bahan dasar pakan seperti jagung mengalami kenaikan. Harga jagung mencapai 4,19 dollar AS per gantang, ini merupakan harga tertinggi dalam enam bulan ini.

Stok komoditas kedelai juga akan mengalami titik terendah. Harga kedelai untuk penyerahan bulan Januari 2008 adalah 11,32 dollar AS per gantang. Harga ini merupakan harga tertinggi selama 34 tahun.

Kenaikan harga minyak goreng diakibatkan oleh kenaikan harga bahan baku minyak goreng, yaitu minyak sawit mentah (CPO), yang terus mengalami kenaikan. Harga pada awal tahun 2007 sekitar 500 dollar AS, namun pada pertengahan tahun 2007 telah menjadi 760 dollar AS per ton. Kenaikan ini juga akibat penggunaan CPO untuk energi pengganti bahan bakar fosil.

Masalah ini masih akan berlarut-larut bila China tidak mengambil langkah-langkah pengetatan moneter. Laporan yang dikeluarkan Departemen Pertanian AS (USDA) menyebutkan, produksi komoditas pangan seperti jagung, kedelai, dan gandum akan mengalami penurunan.

Peringatan tentang situasi ini telah dikeluarkan Michael Lewis dari Deutsche Bank di London, seperti dikutip Financial Times. Ia menyebutkan, penurunan stok pangan dunia dan penurunan produksi komoditas pertanian di Asia akan menyebabkan lonjakan harga pada tahun 2008.

Harga komoditas

Lonjakan harga komoditas itu karena penurunan produksi dan permintaan dunia yang tinggi, baik untuk pangan maupun untuk produksi energi, menyusul kenaikan harga minyak dunia yang mencapai 100 dollar AS per barrel.

Kenaikan harga pangan sangat memukul penduduk di desa karena inflasi di desa sebesar 7,6 persen, sedangkan di kota hanya 6,6 persen. Masalah ini bisa meresahkan penduduk desa setelah sebelumnya penduduk desa memprotes sengketa tanah, polusi, dan korupsi yang terjadi di berbagai wilayah, seperti dilaporkan majalah Time bulan Maret 2006.

Kalangan dunia tengah mengamati langkah yang akan dilakukan China. Pengetatan ekonomi sudah pasti menjadi pilihan untuk mengerem inflasi. Bank Sentral China dilaporkan telah meminta bank-bank untuk meningkatkan rasio cadangan sebesar 1 persen. Angka ini tergolong tinggi sejak 1987.

Beijing juga sudah mengumumkan kebijakan moneter dari prudent (hati-hati) menjadi tight (ketat). Kebijakan kenaikan suku bunga bank juga diperkirakan akan dilakukan.

Meski demikian, harga bahan bakar minyak dunia yang mendekati 100 dollar AS per barrel akan menjadi masalah tersendiri. Meski sekarang harga bahan bakar minyak di China masih murah karena dikendalikan oleh pemerintah, namun harga minyak yang sangat tinggi dipastikan menyulitkan China.

Bila langkah yang dilakukan Pemerintah China adalah menaikkan harga minyak domestik, maka akan memunculkan masalah baru terkait dengan inflasi. Cepat atau lambat ”getaran” di China itu pasti dirasakan pula oleh negara tetangga, termasuk Indonesia. (MAR)

No comments: