Tuesday, February 12, 2008

Jika Demokrat Kalah Pilpres



Budiarto Shambazy

Tak salah John McCain (71) dijuluki ”The Phoenix”. Mitos Yunani dan Mesir kuno menyebut phoenix, burung ajaib berumur ratusan tahun.

Usia pengalaman—bukan jumlah umur—terbukti manjur baginya. Sebentar lagi ia resmi jadi capres tanpa perlu menunggu konvensi September 2008.

McCain punya waktu panjang untuk menghadapi Hillary Clinton (60) atau Barack Obama (46) di pilpres awal November. Sekali lagi, tak mustahil McCain terpilih sebagai presiden AS yang ke-44.

Tim kampanyenya kuat dan variatif. Ada jago-jago yang memenangkan Ronald Reagan, George HW Bush, George W Bush, sampai Gubernur California Arnold Schwarzenegger.

Presiden George W Bush telah merestui McCain. Tak sukar baginya mendapat kepercayaan dari kalangan konservatif memimpin negeri adidaya itu seperti dimaui Presiden Bush.

McCain mungkin memilih Mike Huckabee (52), mantan senator asal Arkansas, menjadi cawapres. Aspirasi kaum konservatif dan warga selatan akan tertampung melalui Huckabee.

McCain bagai roda yang berputar, kadang di atas kadang di bawah. Enam bulan lalu kansnya tertutup, tahun silam dijuluki dead man walking (pesakitan yang menunggu hukuman mati).

Ia menghabiskan 24 juta dollar AS untuk kampanye yang menguap bagai asap. McCain harus ngutang 3 juta dollar AS dari bank dengan aneka agunan.

McCain berambisi mengumpulkan 100 juta dollar akhir 2007, tetapi itu mimpi di siang bolong. Beberapa staf inti kampanyenya mundur, relawan pun malas bergabung.

Sekitar September 2007 ia mengajak pers ikut bus kampanye yang dinamai ”Jujur Ekspres” (”The Straight Talk Express”). Ia menyebut kampanyenya dengan tur ”Pantang Menyerah” (”No Surrender”).

Ia mengandalkan tema surge (penambahan pasukan) di Irak. Rakyat menyambut positif kepemimpinan Jenderal David Patreus karena surge menurunkan jumlah korban serdadu AS beberapa bulan terakhir.

Jika ditanyai berapa lama pasukan dipertahankan di Irak, McCain gemar menjawab, ”Sama dengan pertanyaan ’berapa lama kita bertahan di Jepang?’ Kita di sana sejak Perang Dunia Kedua.”

Sejak saat itu ia selalu bilang pasukan AS kalau perlu menduduki ”Negeri 1.001 Malam” itu selama 100 tahun. Ia tak peduli Depkeu mengeluarkan 9 miliar dollar AS tiap bulan untuk biayai pasukan.

Politik pun kenal ”garis tangan”. Berkat perjudian surge ia melesat memenangi Super Tuesday di California, New York, New Jersey, Illinois, Missouri, dan di Arizona.

McCain merasakan 5,5 tahun siksaan komunis di Hanoi, Vietnam. Berhubung digebuki terus, kedua tangannya tak bisa lagi menyentuh kepalanya.

Gara-gara siksaan di ”Hanoi Hilton” itu, McCain terjangkit kanker kulit. ”Saya sudah pernah mati berulang kali sampai-sampai maut pun malas menjemput,” ujarnya.

Tentang bekas-bekas luka penyiksaan ia tanpa malu bilang, ”Saya lebih seram dibandingkan Frankenstein.” Humor, spontanitas, dan kehangatannya membuat McCain politisi manusiawi.

Mengapa McCain berpeluang besar terpilih? Sebab, Demokrat makin hari makin kacau-balau.

Persaingan Hillary Clinton dan Barack Obama makin tajam. Akibatnya, Demokrat rugi waktu karena mungkin baru memilih capres saat konvensi Agustus— atau dua bulan sebelum pilpres.

Isu terakhir yang memecah-belah tentang utusan super (super delegates) yang jumlahnya 796 dari total 2.025 utusan yang memilih capres di konvensi. Utusan super bebas memilih tanpa perlu menyimak aspirasi pemilih saat voting di berbagai negara bagian.

Utusan super terdiri atas fungsionaris partai, anggota Kongres, gubernur, sampai anggota DPRD. Ada nama top, seperti mantan Presiden Jimmy Carter dan Bill Clinton.

Hillary dan Obama masing- masing didukung 1.136 (243 utusan super) dan Obama 1.108 (156 utusan super). Berhubung utusan super Hillary lebih banyak, Obama menuntut utusan super mendengar aspirasi pemilih.

Hillary, sebaliknya, bertahan utusan super punya hak tak perlu dengar aspirasi itu. Pemilih bisa sebal dan tak mustahil (misalnya kelompok ”Reagan democrats”) membelot ke Republik.

Menurut jajak-jajak pendapat, approval rate (tingkat popularitas) Kongres yang dikuasai Demokrat hanya sekitar 20 persen. Ini lebih buruk ketimbang tingkat popularitas Presiden Bush yang sekitar 30 persen.

Checks and balances eksekutif-legislatif yang dikuasai partai berbeda selalu jadi alternatif menarik. Peace and prosperity pernah dicapai saat Bill Clinton (Demokrat) menjadi presiden dengan kontrol Kongres milik Republik.

McCain versus Kongres milik Demokrat bisa dinilai ideal. Sayang jika Obama, pemimpin yang karismatis, menjadi korban dilema demokrasi ini.

Sungguh mengagumkan menyaksikan pidato tanpa teks Obama di Richmond, Virginia, dua hari silam saat menyambut kemenangannya akhir pekan. Tak pelak lagi, dia bahkan lebih hebat dibandingkan dengan JFK.

Komentator politik terkenal Bill Maher benar karena sering mengatakan, ”Kemenangan yang sering dicapai Demokrat adalah kekalahan di pilpres.”

No comments: