Wednesday, February 20, 2008

Pemilu Malaysia dan Anwar Ibraham



Oleh :Herdi Sahrasad

Associate Director Media Institute dan Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina dan Fellow the Indonesian Institute

Pada 8 Maret Malaysia akan mengadakan pemilihan umum. Jadwal dipercepat karena pemerintah menghadapi banyak masalah. Pemilu ke-12 di Malaysia ini akan diikuti 10,9 juta pemilih, termasuk 700 ribu pemilih baru dari 26 juta penduduk.

Seluruh partai politik (parpol) akan memperebutkan 222 kursi parlemen dan 505 kursi DUN (DPRD), kecuali di Sarawak. Sejak kemerdekaan tahun 1957, koalisi Barisan Nasional selalu memenangi pemilu.

Dalam pemilu ini akan bertanding dua kubu, yakni Barisan Nasional (BN) yang dimotori UMNO (United Malays National Organization), MCA (Malaysian Chinese Association), dan MIC (Malaysian Indian Congress) melawan Barisan Alternatif yang dimotori PKR (Partai Keadilan Rakyat), PAS (Pan Malaysian Islamic Party atau Partai Islam Se-Malaysia), dan DAP (Democratic Action Party).

Tapi, Barisan Nasional dan media massa pro-pemerintah selalu memberikan label kepada oposisi sebagai barisan pembangkang, sedangkan oposisi memilih nama barisannya sebagai Barisan Alternatif. Parpol yang menjadi motor di BN adalah partai yang keanggotaannya berdasarkan ras, seperti partai berdasarkan ras Melayu, Cina, dan India. Di barisan alternatif hanya PAS yang merupakan partai ras, yakni Partai Islam. PKR dan DAP merupakan parpol multiras.

Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Malaysia Abdul Rashid Abdul Rahman menyatakan pengumuman kandidat wakil rakyat pada 24 Februari. Selanjutnya, kandidat bisa memulai kampanye pemilihan secara resmi untuk memperebutkan 222 kursi parlemen.

Para akademisi dan aktivis UMNO di Kuala Lumpur dalam surat elektroniknya kepada penulis mengakui PM Malaysia dan Barisan Nasional (koalisi parpol yang dimotori UMNO, MCA, dan MIC) sengaja mempercepat pemilu paling lambat Maret 2008. Ini untuk mencegah Anwar Ibrahim ambil bagian. Alasan itu merujuk pada tokoh oposisi Anwar Ibrahim, mantan Wakil PM Malaysia dan mantan wakil presiden UMNO, yang segera bisa berpolitik mulai April 2008.

Anwar Ibrahim dibebaskan dari penjara ketika Datuk Abdulah Badawi menjabat perdana menteri. Tapi, pengadilan memutuskan ia dilarang berpolitik hingga Maret 2008. Itulah sebabnya, banyak pula pihak yang menduga keputusan Pemerintah Malaysia mempercepat pemilu 8 Maret itu untuk menutup peluang Anwar Ibrahim ikut bersaing dalam pemilu.

Ada juga pandangan aktivis UMNO bahwa pemilu Malaysia sengaja dipercepat karena banyaknya masalah yang dihadapi pemerintah. Yang utama maraknya perselisihan berbasis etnis. Di antaranya, perselisihan antarkelompok etnis Muslim Melayu dengan etnis minoritas Tionghoa dan India.

Minoritas tak puas
Perselisihan itu merebak karena etnis minoritas tidak puas dengan pemerintahan yang didominasi politisi etnis Melayu. Dalam beberapa bulan terakhir Pemerintahan Datuk Seri Abdullah Ahmad Badawi diwarnai berbagai aksi demonstrasi.

Pemicunya, tuntutan reformasi terhadap pemilu, anggapan diskriminasi dari etnis India, serta melambungnya harga bahan bakar dan makanan. Meski demikian, Badawi tetap optimistis pemerintahannya dapat memperoleh kemenangan mutlak di Negara Bagian Kelantan. ''Tetap ada harapan untuk menang. Itu pasti. Kami punya dukungan kuat di wilayah itu,'' katanya belum lama ini.

Para analis menilai kebijakan Badawi menghelat pemilu lebih awal itu sebagai antisipasi melonjaknya harga barang menyusul dicabutnya subsidi bahan bakar. Kritik serupa dilontarkan Anwar Ibrahim yang kini bermukim di Hong Kong. Pak Lah, sapaan akrab Badawi, dinilai Anwar sangat kerepotan. Apalagi, dukungan terhadap Pak Lah terus menurun.

Malaysia begitu terpukul oleh kenaikan harga barang, tindak kriminal yang menjadi-jadi, korupsi di berbagai tempat, dan ketegangan antaretnis. ''Semakin lama Barisan Nasional menangguhkan pemilu, mereka bisa semakin kehilangan banyak dukungan dalam pemilu,'' kata Anwar.

Masa empat tahun Pemerintahan Badawi cukup menjemukan, mengecewakan, dan diwarnai banyak kegagalan. Sejak memenangi Pemilu 2004, koalisi yang dipimpin Badawi mendapatkan 90 persen dukungan di parlemen.

Tapi, Badawi tak henti menuai berbagai kritik pedas. Di antaranya, ia dianggap lemah dan tidak bisa mewujudkan janji yang diucapkan saat kampanye, yaitu memberantas korupsi dari bumi Malaysia di bidang bisnis maupun politik.

Sejauh ini konfigurasi hubungan sosial di Malaysia yang bersifat pluralis masih terasa kurang harmonis karena persoalan ketimpangan kemajuan ekonomi. Data statistik yang dipaparkan organisasi politik terbesar puak Melayu, Organisasi Nasional Melayu Bersatu (UMNO), mengungkapkan bahwa sejak kerusuhan etnis 1969, disusul berlakunya New Economic Policy (NEP) untuk memberdayakan ekonomi puak Melayu, penghasilan warga etnis China rata-rata dua kali lebih besar ketimbang pendapatan warga Melayu. Etnis Cina sampai 2008 ini tetap mendominasi dua pertiga kegiatan bisnis meski puak Melayu mencakup 60 persen dari total 26 juta penduduk negeri itu.

Etnis Melayu hanya menguasai 11,7 persen kegiatan bisnis, sedangkan etnis Cina 71 persen. Bahkan, pada 2005 Malaysia mencatat kesenjangan paling tajam di Asia Tenggara. Kondisinya di belakang Indonesia dan Thailand. Mengikuti ukuran nisbah Gini (Gini coefficient), ukuran yang digunakan untuk mengukur ketidakmerataan pendapatan, Malaysia berada pada 0,47.

Becermin pada data Bank Dunia, jurang pendapatan individu di Malaysia kedua terburuk di Asia. Meminjam studi Anwar Ibrahim, hanya Papua New Guinea yang lebih buruk dari Malaysia. Dari 127 negara, Malaysia berada di urutan ke-101 dari segi indeks Gini.

Anwar mengingatkan bahwa selama krisis moneter 1997-1998, kalangan menengah ke bawah di Malaysia dikorbankan oleh pemerintah untuk menopang ekonomi lapisan atas. Paparan itu tidaklah dimaksudkan menggelisahkan etnis Cina yang meliputi 25 persen penduduk atau keturunan India yang mencakup 10 persen penduduk.

Pembelahan etnis di Malaysia dinilai para analis jauh lebih tajam dan mengkhawatirkan dibandingkan di Indonesia. Gerakan politik etnis oleh etnis India dan Cina dalam bentuk protes dan demo makin menegaskan betapa politik etnis di Malaysia kian menajam karena kurang terakomodasi ke dalam sistem yang ada.

Revitalisasi politik inklusif tampaknya harus dilakukan Badawi kepada kaum minoritas India dan Cina untuk meredakan suhu politik antaretnis yang membelah Malaysia itu agar arang tidak jadi abu.

No comments: