Monday, February 11, 2008

Menanti Lawan McCain ke Gedung Putih

Menanti Lawan McCain ke Gedung Putih

Minggu, 10 Februari 2008 | 04:07 WIB

Fransisca Romana Ninik

Perhelatan pemilu presiden Amerika Serikat rupanya semakin tidak sesuai dengan yang diperkirakan media, jajak pendapat, bahkan pengamat sebelumnya. Kalaupun ada yang dibilang cukup jelas adalah munculnya senator John McCain sebagai kandidat Partai Republik. Orang masih bertanya-tanya siapa yang akan menjadi lawan McCain dari kubu Demokrat.

Charlie Cook, penerbit Cook Political Report, menyebut fenomena ini sebagai mimpi buruk para analis. ”Ini seperti mereka mengambil buku teks kemudian membuangnya keluar jendela,” katanya seperti dikutip The New York Times.

Contoh jelas adalah McCain sendiri. Sebelum putaran pemilihan pendahuluan dan kaukus dimulai, dia bukan siapa-siapa. McCain sama sekali tidak dijagokan. Cook sendiri pernah menulis artikel di National Journal edisi 14 Juli 2007 yang diberi judul ”Dari Semua Niat dan Tujuan, Kampanye McCain Telah Berakhir”. Nyatanya, McCain justru melejit menjadi unggulan Partai Republik.

Kemenangan yang meyakinkan di Super Tuesday, pemilihan pendahuluan serentak di 24 negara bagian dalam satu hari, berhasil mengukuhkan posisinya sebagai calon kuat presiden kubu Republik. Bahkan, dia berhasil ”memaksa” rival terberatnya, Mitt Romney, yang semula dijagokan sebagai kandidat presiden Republik, mundur teratur.

Kini pekerjaan rumah McCain tinggal bagaimana meyakinkan basis inti Republik, yaitu kalangan konservatif, yang masih menentangnya. Di mata mereka, McCain kurang konservatif. Kantor berita Associated Press menurunkan artikel berisi 10 alasan kalangan konservatif tidak menyukai veteran Perang Vietnam ini, di antaranya karena mendukung imigran gelap agar memperoleh kewarganegaraan, menentang kebijakan pemotongan pajak yang diajukan Presiden George W Bush, menolak amandemen konstitusi untuk melarang pernikahan gay, menentang pemanasan global, dan bekerja dengan Demokrat.

McCain kini juga bisa berkonsentrasi merancang strategi mengalahkan kandidat Demokrat, yang sejauh ini masih ketat bersaing. Dalam soal ini, McCain tampaknya memiliki kesempatan 50-50. Jajak pendapat Cook Political Report terhadap pemilih terdaftar yang dirilis pekan ini menunjukkan, McCain kalah jika melawan Barack Obama dengan perolehan 45 persen untuk Obama dan 43 persen untuk McCain. Namun, jika Hillary yang menjadi lawannya, McCain berpotensi menang 45 persen lawan 41 persen.

Ini juga yang menjadi kekhawatiran terbesar petinggi Partai Demokrat. Sampai dengan Super Tuesday usai, belum ada kejelasan siapa yang bakal menjadi nomine partai melawan Republik. Hillary unggul tipis dengan 7.427.700 suara atau 50,2 persen dibandingkan dengan Obama yang memperoleh 7.369.798 suara atau 49,8 persen.

Namun, persoalan pendanaan kampanye menyeruak dan menyita perhatian pemilih. Pengakuan Hillary yang harus meminjam dari uang pribadinya sebesar 5 juta dollar AS untuk mendanai kampanye sempat menimbulkan pertanyaan, benarkah dukungan untuk Hillary merosot?

Kubu Hillary menjawab dengan perolehan 7,5 juta dollar AS seusai Super Tuesday. Dia harus menyaingi perolehan kubu Obama yang telah mengumpulkan dana kampanye sebesar 32 juta dollar AS sebelum Super Tuesday—Hillary sendiri telah mengumpulkan 13,5 juta dollar AS.

Kehadiran Obama dalam kontes kali ini memang membawa kesan tersendiri. Dia mampu membawa suasana semarak dan semangat bagi para pemilih dalam rangkaian pemilu kali ini. Mirip seperti McCain, Obama tadinya bukan siapa-siapa. Dibandingkan dengan Hillary, yang mantan ibu negara, Obama tidak ada apa-apanya.

Namun, sekali lagi, kemenangan mudah seperti yang diprediksikan media atau jajak pendapat bagi Hillary rupanya tidak terbukti. Associated Press pernah menurunkan laporan pada 25 Oktober 2007 berjudul ”Mantan Ibu Negara Tampaknya Akan Memenangi Nominasi Setiap Hari”.

Berpasangan

Persaingan ketat keduanya sempat memunculkan ”angan-angan”: kenapa tidak keduanya berpasangan sebagai presiden dan wakil presiden Demokrat? Pemikiran itu muncul setelah pemilih melihat keduanya ”rukun” saat hadir dalam debat di Kodak Theatre, Los Angeles, dua pekan lalu. Obama dan Hillary saling melempar senyum, berjabat tangan, dan bertukar pendapat yang hanya mereka berdua yang tahu.

Sebelumnya, keduanya terlibat saling serang dan saling menjelekkan. Suami Hillary, mantan Presiden Bill Clinton, bahkan sempat mencuatkan isu rasial untuk ”menjatuhkan” Obama. Namun, keduanya berdamai demi kepentingan partai dalam menghadapi Republik.

Sebuah jajak pendapat terkini oleh majalah Time menunjukkan, 62 persen pendukung Demokrat menginginkan Hillary memasang Obama sebagai wakilnya. Sebanyak 51 persen menginginkan hal yang sama jika Obama menjadi presiden.

Akan tetapi, tampaknya tidak semudah itu. Time menuliskan, masih terlalu dini untuk mengetahui apakah Hillary dan Obama bisa bekerja bersama. Ide itu juga ditolak oleh kubu Obama. ”Kami tidak bertarung untuk jabatan wapres,” kata Robert Gibbs, juru bicara Obama. Kubu Obama juga keberatan dengan kehadiran Bill Clinton, yang masih menyisakan ”sakit hati” atas isu rasial yang diembuskannya.

Jika Obama yang naik menjadi kandidat presiden, keberatan mengambil Hillary sebagai wakil justru semakin menguat. Keduanya mengusung isu yang berbeda dalam kampanyenya. Pusat kampanye Obama bukanlah layanan kesehatan atau ekonomi atau perang, yang diusung Hillary.

Keinginan Obama adalah menjadi benar-benar baru dan berbeda dari pemerintahan sebelumnya. Sementara Hillary telah dilabelinya sebagai pendukung status quo. Itu sama saja dengan menjilat ludah sendiri.

Jajak pendapat oleh Time mendukung hal itu. Sebanyak 58 persen pendukung Hillary memilih Obama sebagai wapres, tetapi 56 persen pendukung Obama memilih orang lain sebagai wapres.

Namun, sejarah pernah mencatat bahwa musuh sekalipun bisa berpasangan saat maju sebagai kandidat partai. Itu terjadi pada John F Kennedy yang mengambil Lyndon Johnson sebagai wakilnya tahun 1960 kendati keduanya seperti air dan minyak. Walter Mondale bahkan memasang orang yang dibencinya, Gary Hart, sebagai wakil pada pemilu tahun 1984. John Kerry, Demokrat yang kini mendukung McCain, juga merekrut saingan beratnya, John Edwards, sebagai pasangan di pemilu tahun 2004.

Perjalanan kubu Republik memang sudah tampak jelas walau bukan berarti McCain tidak menemui tantangan dari kandidat kuat yang masih tersisa, Mike Huckabee. Tinggal kubu Demokrat yang harus bisa memecah ”kebuntuan” persaingan para kandidatnya untuk bisa menghadapi Republik pada pemilu nasional, 4 November mendatang.

No comments: