Monday, February 11, 2008

Revolusi Berbuah Manis...



Behrooz Kamalvandi
Senin, 11 Februari 2008 | 03:17 WIB

Dunia pasti tidak akan pernah lupa, bagaimana 29 tahun lalu rakyat Iran memutuskan menumbangkan pemimpin mereka ketika itu, Shah Reza Pahlevi, dan mengakhiri sistem monarki dengan sistem baru, Republik Islam. Ketika itu banyak pengamat Barat memperkirakan, Iran yang baru tidak akan mampu bertahan lama.

Nyatanya, Republik Islam Iran bahkan semakin berkembang dari masa-masa sebelumnya. ”Banyak orang di negara-negara Barat memang ingin melihat Iran runtuh segera setelah revolusi. Mengapa? Karena mereka kehilangan dominasinya di Iran,” ungkap Duta Besar Iran untuk Indonesia Behrooz Kamalvandi.

Sejak revolusi itu, Iran menapaki jalan baru yang terbilang unik di kawasan Teluk dan Timur Tengah, yaitu dengan mempraktikkan demokrasi bersama-sama nilai-nilai Islam.

”Kami meyakini Islam dan demokrasi datang bersama-sama. Keduanya tidak saling bertolak belakang. Dua puluh sembilan tahun setelah revolusi, kami membuktikan bahwa sangat mungkin melaksanakan secara bersama-sama nilai-nilai Islam dan nilai-nilai demokratis,” papar Kamalvandi.

Dia menguraikan, Iran sekarang mempraktikkan suatu tipe pemerintahan baru, dengan berlandaskan pada nilai-nilai Islam, bertumpu pada keadilan, keadilan sosial, dan kemanusiaan.

Adapun pada sistem pemerintahan yang umumnya dipraktikkan saat ini, kata Kamalvandi, mengemuka lebih utama apa yang disebut ”kepentingan nasional” dan ”bukan kepentingan kemanusiaan”. Akibatnya, sering kali pertimbangan kemanusiaan dikalahkan dengan alasan kepentingan nasional itu.

”Jika negara hanya mendahulukan kepentingan nasionalnya dalam semua masalah, maka individu juga akan lebih mendahulukan kepentingan pribadinya masing-masing. Itu membahayakan. Karena apa yang Anda lakukan di tingkat negara, juga akan dicerminkan dalam lingkungan yang lebih kecil, yaitu masyarakat dan individu Anda sendiri,” papar Dubes Iran.

Demokrasi yang dipraktikkan di Iran, disampaikan Kamalvandi, juga didasari nilai-nilai bijak dari ajaran Islam, yang disuarakan para pemimpin keagamaan, para ayatollah, yang menduduki tempat paling tinggi dalam struktur kenegaraan di Iran.

”Kami mempunyai sistem di mana untuk persatuan seluruh negara, kami mempunyai para pemimpin agama. Mereka secara tidak langsung dipilih, melalui pemilihan dua tahap. Pertama, mereka dipilih di kelompok masyarakatnya berdasarkan pengetahuan keagamaannya, dan kemudian para pemimpin agama itu bertemu untuk memilih pemimpin tertinggi. Di Inggris, raja tidak pernah dipilih, di Iran kami lebih demokratis karena dipilih oleh rakyat,” kata Dubes Iran.

Kebijakan besar

Para pemimpin agama itu, kata Kamalvandi, tidak mempunyai kekuasaan eksekutif yang kuat. Kekuasaan eksekutif tetap ada di tangan presiden. Mereka hanya memberikan arahan-arahan besar sesuai dengan aturan Islam, seperti kebijakan utama.

Masalah keagamaan pun telah didefinisikan dengan jelas. ”Ketika menyangkut masalah Anda dengan Tuhan, pemerintah tidak bisa mencampurinya, kecuali mendorong dan bukan menghukum. Jadi Anda sendiri yang memutuskan apakah akan shalat lima kali sehari atau tidak, tetapi menjadi kewajiban dari pemerintah untuk mendorong shalat lima waktu,” tutur Kamalvandi.

Tentang hubungan bilateral Indonesia-Iran, Dubes Iran menjelaskan, hubungan kedua negara terus berjalan baik. ”Tetapi saya belum puas karena potensi besar yang dimiliki kedua negara banyak sekali yang belum tergarap. Indonesia mempunyai volume perdagangan hampir 200 miliar dollar AS per tahun, kami juga mempunyai volume yang hampir sama. Kalau saja Iran mempunyai bagian hanya satu persen saja dari nilai perdagangan itu, yaitu 2 miliar dollar AS, nilai itu tidak terlalu ambisius dan sangat mungkin dicapai. Saat ini baru sekitar 400 juta dollar AS, jadi baru 20 persen dari target,” ungkapnya.

Menurut Dubes Iran, ada tiga hambatan utama dalam hubungan perdagangan RI-Iran. Pertama, kekurangtahuan rakyat di masing-masing negara mengenai potensi yang dimiliki mitranya. Kedua, ketiadaan instrumen perbankan yang bisa membantu mendorong perdagangan kedua negara. Ketiga, hubungan transportasi langsung antara Indonesia dan Iran, yang juga akan sangat membantu apabila segera tersedia. Tugas kedua negaralah untuk segera mengatasi hambatan-hambatan tersebut. (OKI)

No comments: