Thursday, February 21, 2008

Musharraf Belum Ingin Mundur


Bush Berharap Masih Bisa Menjadi Teman Pakistan
Kamis, 21 Februari 2008 | 02:34 WIB

Oleh Trias Kuncahyono

London, Rabu - Partai-partai oposisi pemenang pemilu parlemen mendesak Presiden Pervez Musharraf untuk mundur. Namun, Musharraf dengan tegas menyatakan belum berencana mengundurkan diri meski kalah dalam pemilu. Pernyataan itu ia tekankan ketika diwawancarai harian Wall Street Journal, Rabu (20/2).

”Belum. Kita harus tetap dapat melangkah ke depan untuk menciptakan pemerintah demokratis yang stabil,” kata Musharraf tegas kepada harian Wall Street Journal edisi internet.

Bahkan, dalam kesempatan itu Musharraf menyatakan ingin bekerja sama dengan partai apa saja dan koalisi apa pun. Pasalnya, kini yang paling penting adalah mendahulukan kepentingan rakyat di Pakistan. Namun, saat ditanya mengenai calon perdana menteri, Musharraf enggan menjawab dengan alasan masalah itu menjadi wewenang bagi partai-partai politik untuk membuat keputusan.

Ketika ditanya tentang mantan PM Nawaz Sharif, Musharraf menegaskan pemerintah akan tetap dijalankan oleh PM. Namun, presiden tidak memiliki mandat untuk membagi kekuasaan dengan PM. ”Bentrokan akan terjadi jika PM dan presiden sama-sama berusaha menyingkirkan satu sama lain. Saya berharap kita dapat menghindari bentrokan seperti ini,” kata Musharraf.

Sharif adalah mantan PM yang pernah dijegal Musharraf melalui kudeta tahun 1999. Sharif dengan tegas sudah mendesak Musharraf untuk mundur. Begitu pula sikap Partai Rakyat Pakistan (PPP) yang memenangi mayoritas jumlah perolehan suara parlemen itu. Partai yang kini dipimpin suami mendiang Benazir Bhutto, Asif Ali Zardari, itu menolak bekerja dengan partai pendukung Musharraf di parlemen lama.

Namun, baik PPP maupun Sharif, keduanya sudah bersedia bekerja sama dengan partai oposisi yang lain. Pasalnya, partai oposisi—terutama PPP—membutuhkan koalisi dengan partai-partai lain untuk dapat menjadi mayoritas. PPP berkali-kali didesak kubu Musharraf untuk mengajak Liga Muslim Pakistan (PML-Q) yang pro-Musharraf ikut bergabung memperkuat posisi PPP.

PPP ingin Sharif bergabung di dalam koalisi bersama partai Pashtun yang menjegal partai- partai Islam di The North West Frontier Province. ”Batasnya sudah sangat jelas. Mau bergabung dengan kediktatoran atau dengan kekuatan yang memperjuangkan demokrasi,” kata seorang anggota senior di PPP, Taj Haider.

Seorang pengacara di Karachi, Kamal Jabbar, menyatakan, hasil pemilu menunjukkan kemenangan kekuatan moderat. Namun, para pengamat mengingatkan, bisa saja terjadi kekacauan di Pakistan apabila mengingat perbedaan ideologi masa lalu yang berdarah antara PPP dan Sharif. Jika hal itu terjadi, kemungkinan pintu PPP bagi partai-partai pendukung Musharraf akan terbuka.

Musharraf berharap akan tercipta koalisi yang harmonis demi perdamaian dan pembangunan di Pakistan. Pemilu itu dinilai Musharraf sudah memperkuat kekuatan moderat Pakistan. ”Presiden menegaskan, Pakistan telah mendapat berbagai tantangan dan selalu berhasil melewatinya. Masa depan tampak lebih baik jika kita berhasil melawan terorisme,” sebut pernyataan tertulis dari Departemen Luar Negeri Pakistan.

Teman AS

Menanggapi kemenangan partai oposisi, Presiden AS George W Bush justru kembali mengangkat isu-isu terorisme. Bagi Bush kemenangan partai oposisi termasuk kemenangan atas perang melawan teror dan kemenangan demokrasi. Bush juga berharap Pemerintah Pakistan yang baru akan bersedia menjadi ”teman” AS. ”Sudah waktunya bagi Pakistan untuk segera membentuk pemerintahan yang baru. Kini pertanyaan selanjutnya adalah ’Akankah mereka menjadi teman AS?’ dan saya amat berharap demikian adanya,” kata Bush.

Senator AS Joseph Biden menyatakan, transisi pada pemerintahan Pakistan telah memberi kesempatan pada AS untuk mengadopsi kebijakan luar negeri berdasarkan aliansi dengan Pakistan secara keseluruhan, bukan hanya dengan Musharraf. ”Ini kemenangan suara kaum moderat,” kata Biden yang memimpin Komite Kebijakan Luar Negeri Senat AS.

Karena itu, kemenangan partai oposisi kali ini seharusnya dapat dijadikan momentum bagi AS untuk mengubah kebijakan luar negeri. Selama ini AS dinilai terlalu fokus pada satu orang atau pemimpin tertentu, bukan rakyat negeri itu. Biden juga menilai AS selama ini terlalu meremehkan keinginan rakyat dan terlalu berharap pada para pemerintahan militer. (REUTERS/AFP/AP/LUK)

No comments: