Saturday, February 23, 2008

Kosovo Merdeka, Hak atau Separatisme?






Sabtu, 23 Februari 2008 | 02:11 WIB

Oleh Nugroho Wisnumurti

Kosovo mendeklarasikan kemerdekaan pada hari Minggu (17/2/2008). Deklarasi kemerdekaan ini merupakan tindakan unilateral karena tidak didukung PBB, dalam hal ini Dewan Keamanan.

Deklarasi ini didukung negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat, Inggris, dan beberapa negara Uni Eropa, tetapi ditolak Rusia, China, beberapa negara Uni Eropa lain, Vietnam, dan beberapa negara lain.

Memancing tanggapan

Dewan Keamanan sekali lagi pecah dan tidak mampu menyelesaikan masalah status final Kosovo melalui perundingan sebagaimana tersirat dalam Resolusi 1244 (1999) Dewan Keamanan. Kenyataannya, Kosovo sudah menjadi negara merdeka. Pertanyaannya, bagaimana sebaiknya Indonesia menyikapi kemerdekaan Kosovo?

Masalah pengakuan terhadap kemerdekaan Kosovo yang dideklarasikan secara sepihak itu memancing tanggapan berbeda-beda antara para pakar dan politisi. Hingga kini, pemerintah belum memutuskan apakah akan memberi pengakuan. Masalah Kosovo mempunyai sejarah panjang, berdarah, dan amat kompleks. Proses menuju ke deklarasi kemerdekaan unilateral pun penuh kontroversi. Karena itu, masalah pengakuan terhadap Kosovo yang dideklarasikan secara unilateral perlu dilihat lebih cermat dan hati-hati agar persoalan dan implikasinya bagi kepentingan nasional dapat dilihat secara jernih dan tidak dijadikan komoditas politik berdasarkan pengamatan sejenak atau didorong sentimen etnis atau agama.

Kosovo yang merupakan provinsi Yugoslavia/Serbia itu berpenduduk 2,1 juta, terdiri dari 90 persen etnis Albania yang Muslim, 5,3 persen etnis Serbia yang Katolik Ortodoks, selebihnya etnis Bosnia dan minoritas lain. Selama bertahun-tahun, etnis Albania merasa didiskriminasi Pemerintah Serbia di Belgrade, menjadi sasaran kekerasan dan tindakan represif.

Perkembangan situasi ini mendorong terjadinya perang antara kelompok etnis Albania yang menamakan diri Kosovo Liberation Army (KLA) melawan pasukan Yugoslavia yang dengan kekuatan militer ingin mencegah Kosovo memisahkan diri. Perang tahun 1996-1998 dapat dihentikan dengan kampanye pengeboman NATO secara besar-besaran terhadap sasaran-sasaran Yugoslavia, dengan tujuan sebagaimana dinyatakan juru bicara NATO, ”Serbs out, peacekeepers in, refugees back”.

Perlu ditekankan, serangan NATO ini amat kontroversial karena merupakan intervensi militer yang dilakukan tanpa persetujuan Dewan Keamanan PBB, yang berdasar Piagam PBB berwenang menggunakan kekuatan militer terhadap negara lain. Dengan demikian, intervensi militer NATO dapat dikatakan sebagai ”tindakan unilateral kolektif”.

Keterlibatan Dewan Keamanan PBB baru terjadi dalam masalah Kosovo dengan diadopsinya Resolusi 1244 (1999) pada 10 Juni 1999, yang menempatkan provinsi Kosovo di bawah administrasi PBB dengan tugas membentuk pemerintahan sementara untuk Kosovo, agar rakyat Kosovo mendapat otonomi luas dan self-government di Kosovo dalam Republik Federal Yugoslavia, sementara penyelesaian final atas status Kosovo belum ditentukan.

Resolusi itu tidak menyebut bentuk penyelesaian final atas masalah Kosovo, tetapi hanya memutuskan, solusi politik atas krisis Kosovo harus mempertimbangkan kedaulatan dan integritas teritorial Republik Federal Yugoslavia.

Perundingan macet

Status final Kosovo dirintis melalui negosiasi yang dimulai tahun 2006 di bawah pimpinan Utusan Khusus Sekjen PBB Martti Ahtisaari, mantan fasilitator Perundingan Helsinki mengenai Aceh. Negosiasi amat alot karena kedua pihak, Serbia dan Kosovo, bersikukuh pada posisinya, yakni Serbia hanya bisa menerima otonomi luas bagi Provinsi Kopsovo, sedangkan Kosovo hanya bisa menerima kemerdekaan Kosovo.

Akhirnya, tanggal 26 Maret 2007, kepada Dewan Keamanan PBB, Ahtisaari melaporkan, perundingan mengalami kemacetan. Namun, dia menyampaikan draf penyelesaian status Kosovo yang mengusulkan agar Kosovo diberi kemerdekaan di bawah supervisi sementara Uni Eropa dengan angkatan perang NATO dan polisi Eropa. Usulan ini ditolak Rusia dan China. Karena itu, Dewan Keamanan tidak dapat menyetujui usulan Ahtisaari.

Upaya selanjutnya, perundingan langsung antara Serbia dan Kosovo diupayakan dalam waktu 120 hari yang difasilitasi Troika Contact Group (Amerika Serikat, Rusia, dan Uni Eropa). Hasil perundingan dilaporkan Sekjen kepada Dewan Keamanan pada 19 Desember 2007. AS dan negara-negara Uni Eropa di Dewan Keamanan menyatakan, perundingan telah gagal dan mendesak agar status akhir Kosovo segera diputuskan. Sedangkan Rusia, China, Ghana, Kongo, Panama, dan Afrika Selatan menyarankan agar perundingan diteruskan. Namun, Amerika Serikat, Inggris, dan negara-negara Barat lain menolak. Perkembangan ini berujung pada deklarasi kemerdekaan Kosovo yang didukung Amerika Serikat dan beberapa negara Uni Eropa, tetapi ditolak antara lain oleh Rusia, China, beberapa negara Uni Eropa, dan Vietnam. Sedangkan beberapa negara anggota Dewan Keamanan lainnya termasuk negara nonblok belum menegaskan posisinya.

PBB dilecehkan

Dengan demikian, deklarasi unilateral kemerdekaan Kosovo merupakan hasil pemaksaan negara-negara Barat tertentu tanpa menghiraukan prinsip dasar hukum internasional. PBB sekali lagi dilecehkan ”unilateralisme kolektif”. Akibat dari proses ini Serbia telah menyatakan tidak akan pernah mengakui kemerdekaan Kosovo dan berjanji akan menggunakan diplomasi untuk menggalang dukungan.

Sementara itu, prospek Kosovo menjadi anggota PBB amat kecil karena dibayang-bayangi veto Rusia. Uni Eropa tetap pecah. Di sisi lain, kemerdekaan Kosovo sudah merupakan kenyataan hidup yang tampaknya sulit dibatalkan (irreservible). Dari segi ini sebaiknya pengakuan dicermati.

Bagi Indonesia, tidak ada alasan untuk tergesa-gesa memutuskan untuk mengakui atau tidak kemerdekaan Kosovo yang bermasalah itu. Pertimbangannya antara lain (1) berdasar hukum internasional dan praktik negara, tidak ada kewajiban bagi suatu negara untuk memberi pengakuan kepada negara baru; (2) dalam praktik yang khususnya terkait negara-negara pecahan Yugoslavia, Indonesia mengakui negara-negara itu setelah mereka diterima sebagai anggota PBB; (3) kemerdekaan Kosovo tidak didukung PBB dan tidak sesuai prinsip hukum internasional tentang kedaulatan dan integritas teritorial; (4) kemerdekaan Kosovo bukan hasil perjuangan melawan penjajah seperti Indonesia, tetapi hasil separatisme yang didukung sekelompok negara Barat, suatu preseden yang akan memberi peluang separatisme di berbagai negara, termasuk di Indonesia; (5) Indonesia harus konsisten berpijak pada prinsip kedaulatan dan integritas teritorial; (6) deklarasi kemerdekaan unilateral Kosovo tidak menjamin terciptanya stabilitas dan perdamaian di kawasan Balkan; (7) Indonesia berkepentingan lebih besar untuk menjaga kredibilitas PBB dan untuk tetap membina hubungan dengan Rusia dan China.

Nugroho Wisnumurti Senior Fellow, CSIS, Anggota Komisi Hukum Internasional PBB, Mantan Dubes RI untuk PBB di New York dan di Geneva

No comments: