Monday, June 4, 2007

Bank Dunia Pasca-Wolfowitz

Ivan A Hadar

Akhir Juni ini, berakhir sudah era pendek Paul Wolfowitz sebagai Presiden Bank Dunia. Ia dipaksa mundur dari jabatannya karena melakukan favoritisme ketika menaikkan secara tajam gaji kekasihnya.

Mayoritas negara Eropa dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) di seluruh dunia menyambut gembira mundurnya mantan Wakil Menteri Pertahanan AS sekaligus "otak" di balik penyerangan Irak itu. Tetapi, menurut banyak pengamat, yang dibutuhkan saat ini lebih dari sekadar "negosiasi kamar belakang" antara Eropa dan AS tentang siapa penerus Wolfowitz.

Rainer Falk, misalnya, menilai "Skandal Wolfowitz" hanya gejala dari krisis mendalam Bank Dunia yang kian kehilangan pamor di kalangan nasabah utamanya. Kenyataannya, sejak beberapa tahun terakhir, kesempatan mendapat pendanaan dari pasar modal internasional kian meluas. Pada saat sama, berbagai persyaratan pemberian kredit Bank Dunia oleh banyak negara dianggap sebagai mencampuri urusan dalam negeri mereka.

Reformasi mendalam

Bagi banyak pengamat, untuk mengembalikan kepercayaan terhadap Bank Dunia diperlukan reformasi mendalam daripada sekadar mengganti pucuk pimpinan. Dimulai dari kriteria kepemimpinan berdasar kualifikasi dan pengalaman, bukan kedekatan dengan Presiden AS. Tuntutan lain yang gencar dikampanyekan LSM internasional, pengurangan atau penghapusan utang luar negeri negara-negara berkembang. Kini, setiap tahun negara-negara miskin di Afrika harus membayar 15 miliar-20 miliar dollar AS untuk cicilan utang kepada Bank Dunia, IMF, dan negara-negara industri. Sebuah jumlah yang lebih besar dibandingkan utang baru dan bantuan pembangunan yang diperoleh mereka. Hal serupa terjadi di Indonesia.

Seusai Perang Dunia II, Bank Dunia menawari negara-negara berkembang yang baru saja merdeka kredit pembangunan infrastruktur, seperti jaringan kereta api, pelabuhan, dan bendungan. Hingga kini, sekitar 86 miliar dollar AS dipakai untuk pembangunan 550 bendungan dengan akibat perusakan lingkungan yang parah dan "tergusurnya" 10 juta penduduk dari kawasan sekitar bendungan. Kini, kredit yang dikucurkan Bank Dunia per tahun berjumlah 25 miliar-30 miliar dollar AS. Sejak tahun 1970-an, perang melawan kemiskinan menjadi prioritas utama Bank Dunia. Kredit murah bersyarat pun diberikan untuk program peningkatan taraf hidup, pendidikan, dan kesehatan.

Dalam perjalanan waktu, kegiatan Bank Dunia dan IMF cenderung tumpang tindih. Sejak krisis utang pecah tahun 1982, keduanya terlibat dalam "manajemen utang". IMF, misalnya, berperan sebagai "pemadam kebakaran" lewat suntikan dana segar dalam bilangan fantastik bagi negara yang jatuh bangkrut. Di satu pihak, hal itu berhasil menghindari ambruknya sistem keuangan global. Di pihak lain, akibat pinjaman jangka pendek bersuku bunga tinggi itu, banyak negara miskin terperangkap dalam "jebakan utang". Pada saat sama, lewat penyesuaian struktural, negara-negara itu dipaksa menghilangkan subsidi yang kian menyengsarakan kelompok miskin.

Utang membunuh

Kritik pun membahana. "Utang membunuh", teriak aktivis LSM di Utara dan Selatan terkait penghematan anggaran kesehatan dan pendidikan demi membayar utang. Pada akhir 1990-an, kritik juga santer dilontarkan "orang dalam" dan politisi konservatif, selama lebih dari 50 tahun keberadaannya yang telah menghabiskan dana 470 miliar dollar AS, Bank Dunia belum menunjukkan hasil nyata yang setimpal. James Wolfensohn melancarkan program reformasi. Pendekatan yang dipromosikan ialah programme oriented, "tanggung jawab nasional", dan "partisipasi masyarakat". Meski telah melakukan perubahan struktur organisasinya, kritik terhadap Bank Dunia belum juga mereda.

Banyak yang sepakat, Bank Dunia hanya berubah bila bersedia melakukan amandemen statutanya serta menjalankan pengambilan keputusan secara demokratis. Dilemanya, lembaga pendanaan pembangunan terbesar di dunia ini didanai dan dikelola oleh 183 negara anggota yang memiliki kepentingan berbeda-beda. Pembagian hak suara sama sekali tidak demokratis dan merugikan negara kecil dan miskin. Dominasi negara-negara industri, terutama AS, amat terasa. Kebutuhan negara-negara anggotanya, terutama yang miskin, jarang terpenuhi. "Solusi" yang diajukan sering one size fits all.

Memasuki usia ke-63, Bank Dunia disinyalir telah menyimpang dari "khitah" pendiriannya. Berbagai formula ekonomi politik, terutama penerapan liberalisasi pasar modal yang terlalu cepat, telah mempertajam destabilisasi ekonomi dunia. Laporan Meltzer (2003) dari kubu konservatif yang dipublikasikan Kongres AS, misalnya, memuat kritik keras atas Bank Dunia dan IMF sebagai lembaga "penuh rahasia, suka mengancam, dan sama sekali tidak membawa dampak positif."

Reformasi mendalam berbarengan mundurnya Wolfowitz adalah sebuah keniscayaan bila Bank Dunia tidak ingin semakin kehilangan kredibilitas dan relevansinya. Untuk itu, diperlukan sebuah relasi baru antara (negara) kreditor dan (negara) debitor, yaitu reformasi hak suara dalam pengambilan keputusan. Selama ini berlaku prinsip "Satu Dollar, Satu Suara".

Mungkin, belum waktunya untuk memberlakukan prinsip PBB, "Satu Negara, Satu Suara". Namun, akan lebih realistis sekaligus lebih adil bagi semua pihak bila diberlakukan prinsip doppelte mehrheiten (mayoritas ganda). Artinya, dalam proses pengambilan keputusan yang mendasar di Bank Dunia, diperlukan suara mayoritas, baik di pihak kreditor maupun debitor.

IVAN A HADAR Koordinator Nasional Target MDGs

No comments: