Tuesday, June 19, 2007

Krisis Politik Palestina dan
Fenomena Perang Khaibar

MILITER Hamas dan Fatah saling menggempur. Keduanya organisasi massa terbesar di Palestina. Keduanya menjadi kekuatan pemerintah koalisi Palestina yang sedang dilanda kemelut persoalan multidimensi akibat boikot keuangan dari Israel, Amerika Serikat, dan Uni Eropa.

Akan tetapi, mengapa mereka berperang habis-habisan? Padahal mereka dan seluruh rakyat Palestina, sedang amat menderita lahir batin? Krisis ekonomi, politik, dan budaya sedemikian parah, ditambah dengan serangan-serangan militer Israel tak kunjung henti ke berbagai sasaran di Jalur Gaza dan Tepi Barat.

Jawabannya, barangkali, inilah keberhasilan Israel memindahkan trauma Perang Khaibar ke tengah bangsa Palestina khususnya, dan ke tengah bangsa serta negara-negara Arab lainnya. Lebih jauh lagi, ke tengah umat Islam di seluruh muka bumi.

Selama berabad-abad, bangsa Yahudi, sejak zaman Bani Israel hingga zaman Zionisme Israel masa kini, terus-menerus dihantui kekalahan mereka oleh umat Islam di Khaibar. Tragedi Khaibar merupakan momok mengerikan bagi Israel. Lebih mengerikan daripada penghancuran Bani Israel oleh Nebukadnezar (500 tahun SM), dan Titus Romawi (70 M), dan "holocaust" oleh Nazi Hitler pada Perang Dunia II (1939-1945). Karena di Khaibar, Israel sedang mengalami puncak kejayaan dan kekuatan di segala bidang, tetapi harus takluk kepada pasukan umat Islam yang relatif lemah dan kecil.

Perang Khaibar, yang terjadi tahun 7 Hijrah, termasuk salah satu perang besar (ghazwah kubra). Setara dengan Perang Badar (tahun 2 Hijrah) dan Perang Uhud ( tahun 3 Hijrah).

Pada perang itu, kaum Muslimin di bawah pimpinan langsung Nabi Muhammad saw., berhadapan dengan koloni Bani Khaibar, suku etnik Bani Israel (Yahudi), yang berjumlah mayoritas di Madinah. Kehadiran Bani Khaibar di Madinah dimulai pada masa bangsa Yahudi tercerai-berai (diaspora) ke seluruh dunia, setelah Jerusalem dihancurkan serangan Titus Romawi tahun 70 Masehi. Di Yatsrib (nama Madinah tempo dulu), mereka berhasil menancapkan dominasi ekonomi dan politik. Hingga mampu membuat perrmukiman-permukiman khusus yang dikelilingi benteng-benteng pertahanan kokoh kuat.

Galang kekuatan

Mereka bersekongkol memusuhi umat Islam. Menggalang kekuatan di antara sesama etnik Yahudi di seluruh jazirah Arab, serta menghasut kabilah-kabilah Arab agar menentang dakwah Nabi Muhammad. Beberapa perang yang terjadi di Madinah, seperti Perang Khandak atau Ahzab (5 H), yang melibatkan pasukan "multinasional" musyrikin Quraisy bersama suku-suku Arab lain, suku-suku Yahudi Bani Nadlir, Quraidhah, Taima, Fadak, dan lain-lain, berkobar akibat provokasi kaum Yahudi Khaibar yang dipelopori Hayy bin Akhtab, Sallam bin Abi al Huqaiq dan Yasir ibnu Razzam.

Oleh karena itu, Nabi Muhammad saw. memutuskan melakukan perang terhadap Bani Khaibar. Ternyata pihak Bani Khaibar sudah mempersiapkan pertahanan jangka panjang. Mengisi penuh benteng-benteng mereka dengan berbagai bahan logistik.

Akan tetapi, benteng Khaibar yang berlapis-lapis dilengkapi aneka macam senjata, dan diberi nama-nama khusus, seperti benteng Na'im, Natat, Qamush, Sha'b, Zubair, asy Syiqq, Katiba, dll., dapat ditembus umat Islam. Hingga akhirnya dalam waktu singkat, jatuh satu persatu.

Terusir

Tamat sudah riwayat Bani Israel di Jazirah Arab. Mereka yang dibebaskan dari hukuman akibat perang, harus kembali terusir ke tempat lain. Kembali "diaspora" setelah 500 tahun lebih memperoleh kenyamanan hidup di kota Yatsrib. Mereka harus menanggung kepedihan dan kesengsaraan akibat kelakuan mereka membenci umat Islam dan dakwah Nabi Muhammad Saw.

Para orang tua Yahudi selalu mengisahkan tragedi Khaibar secara turun-temurun kepada anak cucu mereka. Melalui dongeng, syair dan nyanyian, petatah-petitih, seluruh keturunan Israel diberi pengetahuan dan pengertian mengapa mereka kalah di Khaibar, dan bagaimana cara mereka menebus kekalahan itu. Beberapa penyair Yahudi terkemuka abad pertengahan, seperti Yudah ha Levi, Solomon ben Gabirol, Moses ben Ezra --ketiganya dianggap "raja penyair" Yahudi Spanyol abad 10-12-- selalu menyelipkan simbol-simbol tertentu tentang tragedi Khaibar dalam sajak-sajak mereka yang mengandung kesedihan (elegi). Termasuk dalam sajak-sajak pujian dan pemujaan (hymne) kepada Jerusalem dan Gunung Zion.

Bahkan secara akademik, para intelektual Israel kontemporer telah berhasil mengurai rahasia kekalahan nenek moyang mereka di Khaibar. Tiga di antaranya, sebagai berikut :

Pertama, orang-orang Yahudi Khaibar hanya percaya kepada kekuatan material saja --senjata, benteng, perbekalan--seraya melupakan kekuatan immaterial, yaitu keimanan kepada Sang Mahakuasa (Yahwe). Mereka telah amat sekuleristik dan bahkan atheistik.

Kedua, orang-orang Yahudi Khaibar terpecah belah dalam berbagai faksi. Setiap faksi membawa kepentingan-kepentingan sendiri. Kondisi kejiwaan Yahudi Khaibar tampak jelas digambarkan Q.S. Al Hasyr : 14 "Tahsabuhum jamian wa qulubuhum satta".

Ketiga, ingkar janji di antara mereka sendiri. Keputusan untuk saling membantu tidak terwujud akibat ambisi dan egoisme golongan atau komunitas.

Oleh karena itu, dalam rangka membalas dendam Khaibar, selalu diusahakan agar ketiga kesalahan fatal tersebut, dapat ditransfer kepada umat Islam, baik perorangan, kelompok, maupun bangsa dan negara. Agar umat Islam dapat dikalahkan kapan saja dan di mana saja. Sehingga trauma Khaibar di kalangan Zionis Israel, warisan turun-temurun dari para leluhur, terhapus sudah.

Konflik Timur Tengah, terutama Palestina, menunjukkan bukti nyata bahwa Israel berhasil meracik formula Khaibar dan memberikannnya kepada umat Islam serta bangsa Arab dalam dosis maksimum, melalui pembentukan opini, penyesatan informasi, dan operasi intelijen. Pertarungan bersenjata Hamas-Fatah di tengah gempuran Israel ke Gaza, merupakan contoh kecil saja dari upaya anak cucu Zionis Yahudi membalas kekalahan Khaibar. Kini bangsa Arab dan umat Islam, justru yang menanggung tragedi Khaibar, yang dulu menimpa Bani Israel. (H. Usep Romli H.M. dari berbagai sumber)***

No comments: