Monday, June 4, 2007

Mengubah Wajah Timur Tengah

Ninok Leksono

Bagi negara-negara Arab, Perang Enam Hari mungkin bukan momen yang manis untuk dikenang, tetapi toh setiap sejarah memberi pelajaran dan kearifan.

Negara-negara Arab tetap harus merenungkan mengapa Israel bisa melancarkan serangan mendahului (pre-emptive) demikian efektif, sehingga pada hari pertama perang pun negara Zionis ini sudah bisa memastikan kemenangan, karena angkatan daratnya bisa bergerak leluasa tanpa risau diancam pesawat tempur negara-negara Arab yang sudah dihancurkan dalam serangan pendahuluan. Lebih jauh lagi, pesawat tempur Israel bisa menghantam sasaran lawan dan mengawal gerak maju tank dan pasukan daratnya.

Kini, 40 tahun kemudian, kita masih bisa menyaksikan sisa dan dampak Perang Enam Hari yang masih membekas. Permusuhan Israel dengan Mesir telah berakhir, namun Dataran Tinggi Golan masih dalam genggaman Israel dan kota tua Jerusalem yang sejak tahun 1948 dibagi antara Israel dan Jordania, dan juga diklaim bangsa Palestina, sejak perang itu telah disatukan—dan hingga kini dikuasai—oleh Israel. Dengan kesedihan mendalam pula kita menyaksikan bahwa dengan masih terkatungnya masalah Palestina, Timur Tengah masih terbelenggu oleh konflik yang seolah tak ada ujung, dan terus menumpahkan darah.

Pihak Israel merasa telah berupaya untuk menjalin perdamaian dengan musuh-musuh yang diperanginya dalam Perang Enam Hari. Selain membuka Jerusalem, pada tanggal 19 Juni 1967 pun Kabinet Israel telah menyetujui menukar semua wilayah yang direbut dari Mesir dan Suriah dengan persetujuan perdamaian yang mengakui hak Israel untuk eksis sebagai negara Yahudi. Hingga hari ini, yang tercapai adalah perdamaian dengan Mesir dan Jordania yang ditukar dengan wilayah yang direbut selama perang. Sementara perdamaian dengan Suriah dan Palestina hingga hari ini belum tercapai.

Situasi pra-perang

Untuk mengetahui apa yang menjadi faktor pemicu Perang Enam Hari, orang bisa melihat perbedaan cara pandang negara-negara Arab dan Israel. Bagi negara-negara Arab, urusan dengan Israel harus dilihat dalam konteks keseluruhan riwayat eksistensinya yang banyak merugikan bangsa-bangsa Arab. Sebaliknya, Israel melihat bahwa menjelang Perang Enam Hari (selanjutnya disingkat P6H) eksistensinya amat terancam karena dikepung oleh angkatan perang Mesir, Suriah, dan Jordania yang diperkuat pula oleh sejumlah negara lain seperti Arab Saudi (Website AIPAC).

Sebelum Juni 1967, Mesir mengusir UN Emergency Force dari Semenanjung Sinai, memblokade kapal Israel yang ingin melewati Selat Tiran, dan menyerukan aksi Arab bersatu untuk melawan Israel.

Namun, sebaiknya tinjauan juga harus dilakukan hingga setidaknya ke masa pasca-Krisis Suez. Dengan adanya tekanan kuat, baik dari AS maupun Uni Soviet, Israel menarik tentaranya dari Semenanjung Sinai dan Mesir setuju adanya pasukan penjaga perdamaian Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Sinai untuk mendemiliterisasi wilayah perbatasan. Selat Tiran yang sebelumnya ditutup dan memicu terjadinya Krisis Suez oleh Mesir dibuka kembali untuk perkapalan Israel.

Hanya saja secara wilayah, Timur Tengah tetap tidak stabil. Suriah yang sudah dekat dengan blok Soviet dituduh mensponsori serangan ke Israel.

Setelah itu muncul pula ketegangan yang terkait dengan penyediaan air bagi Israel. Negara-negara Arab melakukan pembelokan alur sungai yang dampaknya akan mengurangi pasokan air ke Israel. Mengkhawatirkan hal ini, Israel pun melancarkan serangan ke proyek pengalihan aliran sungai ini yang ada di Suriah pada bulan Maret, Mei, dan Agustus 1965.

Selain itu juga ada Insiden Sammu, yang awalnya dipicu oleh tewasnya tiga tentara Israel yang sedang melakukan patroli perbatasan akibat terkena ranjau. Israel berkeyakinan ranjau ditanam oleh kelompok Palestina yang didukung Suriah di Es Samu di Tepi Barat. Israel membalas dengan melancarkan serangan Operation Shredder ke Es Samu walaupun Raja Hussein dari Jordania telah mendapat jaminan bahwa Israel tidak akan menyerang.

AS menyesali serangan ini karena diyakini bisa memicu solidaritas Arab. Meski Dewan Keamanan PBB menyetujui Resolusi No 228 yang mengecam aksi pemerintah Israel tanggal 13 November 1966 itu, hal ini tidak mengurungkan reaksi Raja Hussein yang lalu mengerahkan mobilisasi akibat tekanan kuat tidak saja warga Jordania, tetapi juga masyarakat Palestina dan Arab lainnya.

Faktor lain yang bisa disebut sebagai pemicu adalah meningkatnya ketegangan antara Israel dan Suriah. Pada tanggal 7 April sebuah insiden kecil di perbatasan meluas jadi pertempuran udara besar, yang disebut menyebabkan Suriah kehilangan enam MiG-21 dalam duel dengan Mirage III IAF (AU Israel) di atas Dataran Tinggi Golan. Kedua pihak juga sering terlibat dalam bentrokan yang melibatkan tank, mortir, dan artileri berat di berbagai seksi perbatasan sepanjang 76 kilometer (km).

Seringnya terjadi insiden perbatasan ini juga membuat negara Arab lain bergerak. Mesir di bawah Gamal Abdul Nasser yang bermaksud menjadi pemimpin negara Arab menyerukan diakhirinya aksi Israel dan meremiliterisasi Sinai.

Perkembangan lain yang patut dicatat adalah perluasan Pan-Arabisme Nasser ke Jordania dengan penandatanganan persetujuan pertahanan oleh Raja Hussein dan Presiden Nasser tanggal 30 Mei 1967. Pada akhir Mei, Nasser menyatakan bahwa tentara Mesir, Jordania, Suriah, dan Lebanon sudah siaga di perbatasan Israel guna menghadapi tantangan, sementara di belakang ada tentara dari Irak, Aljazair, Kuwait, Sudan, dan semua bangsa Arab. Aksi ini akan mengejutkan dunia, tambahnya. Israel terus membujuk Hussein agar tidak ikut dalam permusuhan, tetapi Raja Jordania terperangkap dalam dilema. Ia khawatir bila tidak ikut barisan melawan Israel, ia akan harus menghadapi perlawanan dari dalam negerinya sendiri.

Dengan ikutnya Jordania yang menguasai Tepi Barat, masuk akal jika Israel merasa khawatir karena tentara Arab hanya tinggal 17 km saja dari Israel. Kalau saja militer Arab pintar, akan bisa disusun serangan tank yang bisa memotong Israel jadi dua dalam tempo setengah jam. Meski tentara Jordania sendiri dinilai tidak akan mampu melakukan serangan semacam itu, wilayah Jordania sudah pernah digunakan negara Arab lain untuk melakukan serangan semacam itu.

Serangan mendahului

Merasa dirinya dikepung, berbagai kalangan di Israel merasa bahwa Israellah yang kemudian harus memutuskan. Dari sini, demi untuk membela diri, Israel merasa bahwa melancarkan serangan mendahului (pre-emptive) pun merupakan hal yang sah. Kabinet Israel memutuskan untuk melancarkan serangan mendahului bila Selat Tiran yang ditutup Mesir bagi kapal berbendera Israel tidak dibuka sampai tanggal 25 Mei. Wakil Menlu AS Eugene Rostow mencoba membujuk Israel untuk memberi waktu lebih bagi perundingan, dan Israel memberinya 10 hari hingga dua minggu.

Meski masa sepekan setelah itu berbagai upaya damai dilakukan, termasuk oleh Sekjen PBB, opsi perang tak dapat dihindari. Tanggal 3 Juni kabinet Israel memutuskan memilih jalan perang (War in Peace, Orbis, 1981)

Akhirnya memang perang tak bisa dihindarkan, dan ini diawali dengan aksi pertama dan paling penting, yakni serangan mendahului terhadap AU Mesir, yang saat itu bisa dikatakan merupakan yang paling besar dan paling modern di semua negara Arab. AU Mesir terdiri dari sekitar 450 pesawat tempur, semuanya buatan Soviet dan relatif baru. Dari pesawat-pesawat itu yang paling dikhawatirkan Israel adalah 30 pembom jarak sedang Tu-16 Badger yang bisa menimpakan kehancuran berat terhadap pusat-pusat militer dan sipil di Israel.

Operasi Fokus

Pada tanggal 5 Juni 1967 pukul 07.45 waktu Israel, disertai dengan sirene AU Israel melancarkan Operasi Fokus (Moked) dengan didukung oleh hampir 200 jet tempur. Serangan besar-besaran ini tak bisa dilawan oleh sistem pertahanan udara Mesir yang buruk. Pangkalan AU Mesir juga tidak punya bungker untuk melindungi pesawat tempurnya kalau terjadi serangan.

Dalam serangan mendahului ini sekitar 300 jet Mesir hancur dan 100 pilotnya tewas. Israel sendiri kehilangan 19 pesawat, namun sebagian besar akibat insiden operasional (kegagalan mesin dan kecelakaan).

Sukses menyerang pangkalan udara utama, Israel melanjutkan serangan ke pangkalan sekunder di Mesir dan di Jordania, Suriah, dan bahkan di Irak. Serangan 5 Juni ini memberi Israel keunggulan udara selama waktu peperangan selanjutnya.

Israel pun selanjutnya leluasa melakukan operasi darat, yakni penaklukan Sinai 7-8 Juni. Dalam peperangan ini pula muncul reputasi (waktu itu) Mayor Jenderal Ariel Sharon yang memimpin Divisi Selatan yang bersama Divisi Tengah di bawah pimpinan Mayjen Avraham Yoffe harus menghadapi wilayah Abu-Ageila-Kusseima yang memberi perlawanan tangguh, hingga selanjutnya dikenal adanya Pertempuran Abu-Ageila. Jatuhnya Abu-Ageila membuat Menhan Mesir Abdul Hakim Amir memerintahkan semua unit di Sinai untuk mundur, dan perintah ini secara efektif berarti kekalahan Mesir.

Catatan lebih rinci juga bisa dibuat untuk Pertempuran Dataran Tinggi Golan 9-10 Juni. Pada tanggal 10 Juni Israel telah menyelesaikan ofensif akhir di Golan dan gencatan senjata pun ditandatangani sehari berikutnya. Melalui P6H (yang dalam bahasa Arab disebut Harb al-ayyam as-sitta, atau dalam bahasa Ibrani disebut Milhemet Sheshet Ha-Yamim) Israel merebut Jalur Gaza, Jazirah Sinai, Tepi Barat Sungai Jordan (termasuk Jerusalem Timur) dan Dataran Tinggi Golan. Dengan perang ini, kedalaman strategis Israel tumbuh sedikitnya 300 km di selatan, 60 km di timur, dan 20 km di wilayah permukaan yang berat di utara, satu aset keamanan yang amat berguna dalam perang Arab-Israel 1973.

Melalui P6H Israel memperlihatkan bahwa pihaknya tidak saja mampu tapi juga mau melancarkan serangan strategis yang bisa mengubah keseimbangan regional. Mesir dan Suriah mendapatkan pelajaran taktis, tetapi tampaknya tidak belajar dari aspek strategis, sehingga melancarkan perang untuk merebut wilayah yang hilang tujuh tahun kemudian.

Seperti telah disinggung di atas, Israel telah menyelesaikan urusan dengan Mesir dan Jordania, tetapi belum dengan Suriah dan Palestina. Harus diakui, P6H dalam kaitannya dengan Palestina malah membuat urusan jadi lebih rumit. Pada tahun 1937 Komisi Peel menyimpulkan bahwa satu-satunya solusi yang mungkin adalah membagi tanah antara Arab dan Yahudi. Memang perang tahun 1948 memisahkan kedua bangsa, hanya dengan minoritas kecil Palestina masih tinggal di Israel. Lalu datang P6H yang mencampur warga Israel dan Palestina, keduanya terus memperebutkan sebuah tanah yang sama.

Seperti dikemukakan oleh Uri Dromi dari Lembaga Demokrasi Israel di Jerusalem di International Herald Tribune (28/5/2007) menegaskan bahwa kedua pihak dalam mencari perdamaian perlu merenungkan kembali bahwa tanah yang ada dalam pikiran mereka sesungguhnya hanya sebagian dari impian yang lebih besar. Israel harus mundur dari Tepi Barat, sebaliknya Palestina harus menerima realita—betapa pun pahit—bahwa mereka tidak bisa kembali ke wilayah yang mereka tinggalkan pada tahun 1948.

Kembali pada laporan Komisi Peel 1937, "partisi tidak memberi pihak mana pun semua yang diinginkan, (tetapi) ia memberi masing-masing apa yang paling diinginkan, yakni kebebasan dan keamanan".

Kedua belah pihak memang harus saling melihat perdamaian sebagai satu tujuan ketika orang mengingat P6H.

Tetapi, kolumnis New York Times Roger Cohen dalam media yang sama menyebutkan bahwa Israel punya kewajiban untuk membuka mata dan melakukan sejumlah upaya. Setelah 40 tahun banyak muncul realita baru, seperti halnya perlawanan Hizbullah yang amat mengejutkan Israel.

No comments: