Sunday, June 24, 2007


Hamas Mundur, Solusi untuk Palestina?

Oleh :Farid Wadjdi

Direktur Forum on Islamic World Studies (FIWS)

Dukungan Amerika Serikat (AS) dan Israel terhadap kabinet baru Palestina, menjadi indikasi yang cukup jelas bahwa negara-negara ini sedang memainkan politik belah bambu. Presiden Amerika George W Bush menelepon Presiden Palestina Mahmoud Abbas dan berjanji bekerja sama dengan pemerintahan baru (BBC online 18/06/2007). Uni Eropa mengatakan ingin kembali memberikan bantuan langsung kepada warga Palestina, sedangkan Israel mengatakan, pemerintahan baru adalah 'mitra' dan berjanji untuk mencarikan dana milik Palestina yang dibekukan.

Tujuan politik belah bambu ini tidak lain adalah melemahkan Hamas yang sebelumnya mendominasi pemerintahan. Sebelumnya, berbagai langkah sudah ditempuh oleh Israel, AS dan sekutunya untuk melemahkan Hamas. Setelah perang langsung untuk menghentikan intifadah tidak begitu efektif, Israel memberikan kelonggaran bagi Hamas berpartisipasi dalam pemilu Palestina.

AS berharap, kalau Hamas unggul, kelompok ini bisa lebih bersifat akomodatif, terutama mengubah pendiriannya yang tidak mau mengakui Israel. Namun, kelihatannya tidak melakukan itu. Hamas secara terbuka masih tetap pada pendiriannya menolak untuk mengakui Israel yang dianggap sebagai penjajah. AS dan sekutunya kemudian mengubah strategi dengan menekan Hamas lewat penghentian bantuan. Memang strategi ini cukup menyulitkan, namun Hamas tampak masih kokoh.

Setelah gagal dengan semua itu, AS melakukan politik belah bambu. Negara ini mendukung Abbas dan kelompok Fatah. Kemudian, secara nyata terlihat AS memperalat Fatah untuk memprovokasi konflik dengan Hamas. Koran Inggris Independent, Sabtu (03/06) mengungkapkan adanya rencana AS untuk menyokong Presiden Palestina Mahmuod Abbas untuk menjatuhkan pemerintahan Palestina yang dipimpin para pejuang pembebasan Palestina yang tergabung dalam Hamas. Menurut Independent, kontak telah dilakukan antara pejabat Amerika yang dekat dengan Wakil Presiden Dick Cheney dan para pejabat di gerakan Fatah.

Berbagai penyiksaan dan penyerangan terhadap pendukung Hamas oleh para pendukung Fatah mengindikasikan hal itu. Perdana Menteri Palestina, Ismail Haniya, pun tak luput jadi sasaran ancaman pembunuhan. Kondisi inilah yang membuat Hamas marah dan melakukan serangan balik hingga merebut Gaza. Abbaspun memanfaatkan peristiwa ini untuk memecat Ismail Haniya dari posisinya dan membentuk pemerintahan baru.

Tidak berhenti sampai di situ, untuk mendapat simpati masyarakat Palestina, Abbas dengan Fatah-nya membuat opini bahwa Hamas melakukan kudeta, meskipun tuduhan ini secara tegas ditolak oleh Hamas. Tokoh politik Hamas, Khalid Meshaal (15/06) mengatakan bahwa pihaknya masih mengakui otoritas pemerintahan Abbas. Apa yang dilakukan Hamas di Gaza adalah untuk menyelesaikan konflik dua faksi yang bertikai. Gaza pun diisolir. Harapannya, kesulitan makanan akan membuat penduduk Gaza yang selama ini mendukung Hamas akan beralih ke Fatah.

Hamas mundur?
Kondisi Palestina sekarang tentu akan semakin melemahkan perjuangan pembebasan Palestina. Energi yang seharusnya digunakan untuk membebasakan Palestina dari penjajahan Israel, bergeser ke konflik internal. Konflik internal ini juga menyebabkan korban yang tidak sedikit dan menyulitkan rakyat Palestina. Dalam kondisi seperti ini tidak ada jalan lain kecuali Hamas dan Fatah bersatu. Tapi mungkinkah persatuan itu bisa diwujudkan di antara mereka?

Hal yang paling mengganjal persatuan selama ini adalah adanya agenda AS dan Israel untuk menjinakkan Hamas supaya mau mengakui Israel. AS dan Israel kemudian menggunakan berbagai cara, termasuk memanfaatkan Fatah. Sementara bagi Hamas, sikap tidak mengakui keberadaan Israel menjadi sikap penting yang justru menjadi salah satu kunci dukungan rakyat Palestina kepada Hamas. Inilah yang menjadi penyebab utama mengapa Hamas dan Fatah sulit bersatu.

Sementara itu kalaupun Hamas tetap bertahan untuk ikut dalam pemerintahan Palestina, kondisinya sangat sulit. Apalagi Abbas sudah membubarkan kabinet yang dipimpin Perdana Menteri Haniya dan memberlakukan kondisi darurat. Pertarungan berikutnya tinggal di Parlemen.

Berdasarkan UU, parlemen sebenarnya bisa menggelar sidang tanpa menunggu 30 hari untuk menolak atau menyetujui pemerintah yang baru dibentuk. Namun, parlemen saat ini tidak bisa menggelar sidang karena tidak memenuhi kuorum, menyusul 40 anggota parlemen dari Hamas ditahan Israel. Dan besar kemungkinan dengan alasan darurat Abbas pun kemudian membubarkan parlemen. Posisi Hamas memang benar-benar sulit, bukan karena tidak didukung oleh rakyat Palestina, tapi ditekan dari berbagai arah. Dalam kondisi stagnan seperti ini perang saudara akan terus berlanjut.

Mungkin ada baiknya kalau Hamas berpikir untuk benar-benar mundur dari pemerintahan dan kembali fokus dalam perjuangan bersenjata melawan Israel. Sebab, justru sikap Hamas yang menentang Israel lah yang membuatnya mendapat simpati dari masyarakat. palagi kalau Hamas memang berorientasi mengusir Israel. Kalau kondisi sekarang dipertahankan, yang terjadi justru akan menjauhkan dari tujuan itu. Mundurnya Hamas juga akan menghindari perang saudara yang merugikan rakyat Palestina sendiri.

Sebaliknya, kalau Fatah yang benar-benar memerintah Palestina, kemungkinan akan mengalamai kesulitan yang cukup besar. Apalagi secara de facto peran Hamas tidak bisa dikesampingkan begitu saja. Simpati rakyat kepada pemerintahan Fatah sangat mungkin semakin berkurang mengingat selama ini sudah diketahui umum banyak pejabat Fatah yang korup.

Selain itu, Fatah juga akan kesulitan memenuhi kebutuhan rakyat Palestina karena hanya menggantungkan diri pada kekuatan dana asing. Sikap Fatah yang salama ini lebih pro kepada Israel dan AS, juga menjadi faktor yang menyulitkan kelompok ini di mata rakyat Palestina. Artinya, kalaupun Hamas mundur, dukungan rakyat Palestina akan tetap besar kepada gerakan pejuang pembebasan Palestina ini.

No comments: