Kabul, Minggu - Perempuan yang pergi bekerja setiap hari di Afganistan mirip seperti pahlawan. Intimidasi dan hinaan adalah perbuatan yang setiap hari ditanggung para perempuan, khususnya mereka yang berada di posisi agak lumayan. Contohnya adalah pembunuhan terhadap dua wartawati.
Demikian diutarakan wartawati Friba Chalkhi Habib (30). Ia berbicara soal pengalaman sehari-hari, dengan ancaman dan hinaan rutin, seperti juga dialami perempuan lain yang memiliki karier relatif tinggi.
Habib, ibu dengan tiga anak itu, beruntung mendapat dukungan dari keluarga, termasuk dari pria di keluarganya. "Berbicara politik sama dengan menempatkan diri Anda dalam keadaan yang lebih berbahaya," kata Habib.
"Seorang pria berkata kepada saya, jika terus melanjutkan profesi, hal serupa akan menimpa saya, seperti kematian para wartawati. Akan tetapi, saya tidak takut dan saya tidak berharap mendapat perlindungan dari otoritas," kata Habib.
Pembunuhan ganda telah menuai kritik internasional. Zakia Zaki (35), Ketua Radio Perdamaian yang juga dikenal sebagai wartawan terkemuka, tewas terbunuh di rumahnya di Jabal Seraj, 60 kilometer di utara Kabul, sekitar 5 Juni. Sepekan sebelumnya seorang pembawa acara televisi yang lain, Shakiba Sanga Amaj (22), juga tewas karena ditembak di rumahnya.
Alasan di balik pembunuhan itu masih tetap misteri. Akan tetapi, Shakiba memang dikenal kritis terhadap para panglima perang, yang dia tuduh telah menyebabkan kekacauan selama beberapa dekade di Afganistan. Sebelum meninggal, Shakiba memang sudah mendapat ancaman.
Persatuan Wartawan Afganistan mengatakan, pembunuh sebenarnya belum ditangkap. "Otoritas tampaknya sedang menyembunyikan sesuatu dan penyelidikan tidak dilakukan secara benar," kata Rahimullah Samander, Ketua Persatuan Wartawan Afganistan.
Seorang wartawati lain dari kantor berita Afganistan Pajhwok, Farida Nekzad, juga telah menerima ancaman. "Wartawan, pria maupun wanita, bekerja dalam ancaman. Namun, untuk para perempuan, berdasarkan alasan tradisi, penentangan dari keluarga, membuat pekerjaan lebih sulit, bukan saja di bidang kewartawanan," kata Farida.
Peralihan yang sulit
Perempuan pernah dilarang belajar dan bekerja di luar rumah selama rezim Taliban pada periode 1996-2001. Setelah kejatuhan Taliban, para wanita mulai bisa bekerja dan belajar di luar rumah. Namun, sikap menerima dari masyarakat masih relatif rendah. "Perempuan tidak mendapatkan respek dan pemerintah tak berbuat banyak," kata Fauzia Assifi, Kepala Departemen Turisme dari Kementerian Informasi, Budaya, dan Turisme.
Sudah setahun ia berbicara dengan menteri di bidang itu, Abdul Karim Khoram, yang juga seorang mantan pejuang dari Hezb-i-Islami. "Dia mengatakan kepada saya, ia tidak ingin bekerja bersama wanita," kata Fauzia.
Ia mengatakan, beberapa wanita juga telah didongkel dari jabatan setingkat direktur. Tuduhan Fauzia dibantah oleh jubir Abdul Karim. "Menteri tak menentang perempuan," kata Hamid Nassery Wardak, jubir untuk Abdul Karim.
Lepas dari itu, secara umum keadaan di Afganistan memang tidak aman. Pada hari Minggu (17/6) di Kabul, seorang pengebom bunuh diri menghancurkan sebuah bus polisi, menewaskan 35 polisi dan melukai puluhan orang lainnya. Serangan itu merupakan yang paling mematikan di Afganistan sejak rezim Taliban dijatuhkan pasukan koalisi AS pada tahun 2001.
Kepala Polisi Provinsi Kabul Esmatullah Dauladzai menjelaskan, sebagian besar korban tewas adalah para instruktur yang akan pergi bekerja di akademi kepolisian di kota Kabul dan beberapa korban adalah orang-orang yang tengah berada di lokasi kejadian.
Gerilyawan Taliban yang terkait Al Qaeda menyatakan bertanggung jawab atas ledakan, yang menyebabkan bus hancur berkeping-keping.
Ketua Departemen Penyelidik Kriminal Kota Kabul Ali Shah Paktiawal juga mengatakan, "Ini adalah pekerjaan para teroris, Al Qaeda dan para pembunuh rakyat," ujarnya.
(AP/AFP/Reuters/OKI)
No comments:
Post a Comment