Monday, June 18, 2007

Hamas

Pihak Barat akhirnya mau bertemu dengan Hamas. Awal April lalu (5/4/07) Konsul Jenderal Inggris, Richard Makepeace, mengadakan pertemuan dengan Perdana Menteri Palestina, Ismail Haniya, yang berasal dari kubu Hamas dalam pemerintahan persatuan Palestina.

Inilah kali pertama, pejabat Eropa bertemu dengan petinggi Hamas sejak Uni Eropa, Amerika Serikat, atau Barat umumnya memboikot pemerintahan Hamas yang memenangkan Pemilu Palestina 25 Januari 2006. Alasan Barat adalah Hamas masih bertujuan untuk menghancurkan Israel; dan itu tidak bisa mereka terima.

Perkembangan ini menarik diamati. Perkembangan ini tampaknya berkaitan dengan salah satu hasil KTT Liga Arab akhir Maret 2007 di Riyadh, Arab Saudi, yang mendukung sepenuhnya pemerintahan persatuan Palestina. Dan, juga agar pihak internasional mengakui pemerintahan persatuan Palestina, dan mau berunding dengannya tanpa diskriminasi. Yang terakhir ini mengacu kepada sikap Barat yang hanya mau berunding dengan kubu al-Fatah, dan sebaliknya menolak bertemu dengan pihak Hamas.

Dampak dari sikap Barat itu membuat tidak efektifnya pemerintahan Hamas yang terbentuk setelah dalam Pemilu 2006 memenangkan 74 kursi di parlemen Palestina, berbanding 45 kursi bagi al-Fatah. Pemerintahan Hamas yang untuk pertama kali berkuasa, tidak hanya diboikot Barat, tetapi juga terlibat dalam konflik yang kian meningkat dengan kubu al-Fatah, yang jelas merugikan perjuangan bangsa Palestina secara keseluruhan.

Konflik yang berkelanjutan di antara kedua kubu Palestina ini baru berakhir setelah kedua belah pihak atas undangan penguasa Arab Saudi, Raja Abdullah bin Abdul Aziz, bertemu di Makkah pada 8 Februari 2007. Pertemuan ini menghasilkan 'Persetujuan Makkah' yang menyetujui pembentukan pemerintahan persatuan Palestina pada 15 Maret 2007.

Meski kesepakatan perdamaian antara Hamas dan al-Fatah merupakan akomodasi timbal balik antara kedua belah pihak, sejumlah kalangan berpendapat, bahwa Hamas telah mengubah posisinya yang semula tanpa kompromi menjadi lebih kompromistis dan akomodatif. Dalam perspektif mereka, Hamas adalah gerakan fundamentalis radikal, atau bahkan termasuk kelompok teroris, yang tidak pernah bisa berkompromi. Meski tidak pernah terbukti karena tidak adanya bukti-bukti memadai dan kuat, Hamas bahkan mereka tuduh sebagai memiliki kaitan dan jaringan dengan Alqaidah pimpinan Usamah bin Ladin.

Sejauh manakah kebenaran anggapan ini? Terkait itu menarik membaca argumen Azzam Tamimi dalam buku terbarunya, Hamas: Unwritten Chapters (London: Hurst & Co,2007). Menurut Tamimi, yang juga adalah Direktur The Institute of Islamic Political Thought, London, memang pihak Barat dan Israel sengaja melakukan kampanye yang menyesatkan bahwa Hamas sama atau bahkan memiliki jaringan dengan Alqaidah.

Alastair Cooke, dari Conflicts Forum, dalam pengantarnya atas karya Tamimi ini menyatakan, Hamas adalah gerakan Islam moderat yang menjadi simbol bagi beberapa hal. Pertama, Hamas merupakan simbol dari perlawanan kaum Muslimin terhadap tatanan dunia kini. Ini ditandai dengan dominasi dan hegemoni Barat, yang secara langsung menimbulkan dampak sangat negatif terhadap Palestina dan kaum Muslimin secara keseluruhan.

Selanjutnya, berbeda dengan banyak gerakan Islam lainnya, Hamas merupakan simbol perlawanan bersenjata terhadap dominasi dan hegemoni Barat dan Israel yang terus mencengkeram Palestina. Menghadapi kekerasan yang terus-menerus dilakukan Israel atas bangsa Palestina, wajar saja jika Hamas juga melakukan perlawanan bersenjata.

Dalam hubungan dengan perjuangan Palestina, Hamas memang merupakan gerakan perlawanan bersenjata. Seperti terlihat dari namanya, Hamas adalah Harakat al-Muqawamah al-Islamiyyah, gerakan perlawanan Islam, yang didirikan pada 14 Desember 1987. Secara historis, Hamas merupakan transformasi dari gerakan al-Ikhwan al-Muslimun Palestina di bawah pimpinan Syaikh Ahmad Yasin.

Deklarasi pembentukan Hamas berlangsung di tengah Intifadah I, yang berhasil menyentakkan perhatian publik internasional. Dan, sejak saat itu, Hamas mengambil posisi paling depan dalam gerakan perlawanan menghadapi penindasan Israel; dan sejak saat itu pula kepemimpinan al-Fatah yang masih berada di tangan Yasser Arafat menghadapi tantangan sangat serius. Dan, ini terbukti dengan kemenangan Hamas dalam Pemilu Januari 2006.

Jelas perjalanan masih panjang bagi pemerintahan Hamas --atau pemerintahan persatuan Palestina-- untuk mewujudkan negara Palestina yang benar-benar merdeka. Tetapi, selama bangsa Palestina bersatu, maka berbagai hambatan itu agaknya dapat diatasi. Apalagi, dengan bulatnya dukungan Liga Arab, OKI, dan negara-negara Muslim lainnya, termasuk Indonesia, maka harapan dan perjuangan untuk mewujudkan negara Palestina yang merdeka dan berdaulat, bukan ilusi belaka.

(Azyumardi Azra )

No comments: