Monday, June 25, 2007

Dunia Semakin Penuh Senjata…

Rakaryan Sukarjaputra

Senjata dalam berbagai bentuknya yang bisa membunuh manusia terbukti masih menjadi obyek bisnis yang menarik. Berbagai jenis persenjataan terus dikembangkan, mulai dari senapan kecil yang daya mematikannya kecil hingga bom nuklir yang daya bunuhnya sangat massif dan berlangsung lama. Fenomena itu semakin menguatkan pandangan bahwa dunia kita masih jauh dari aman.

Laporan tahunan Institut Riset Perdamaian Internasional Stockholm (Stockholm International Peace Research Institute/SIPRI), yang dirilis dua pekan lalu di Swedia, selalu menarik untuk dilihat sebagai salah satu indikator kondisi perdamaian dunia.

Lembaga riset itu memang dibentuk untuk melakukan penelitian-penelitian mengenai hal-hal yang berkaitan dengan konflik dan kerja sama mengenai hal-hal yang penting bagi perdamaian dan keamanan internasional. Melalui kegiatannya tersebut, SIPRI bertujuan memberikan pemahaman mengenai pentingnya solusi damai atas konflik-konflik internasional dan sebuah perdamaian yang stabil.

Dalam laporan tahunan 2007 yang merupakan rangkuman dari apa yang terjadi selama setahun sebelumnya, SIPRI mencatat bahwa pascaperang dingin, lingkungan telah memfasilitasi berbagai macam aksi intervensionis, bukan hanya militer, yang membuat konsekuensinya semakin sulit untuk dipahami dan diakses, khususnya jika berhadapan dengan aktor-aktor non-negara.

Pandangan-pandangan atas berbagai sasaran dan keabsahan berbagai metode sangat beraneka ragam di seluruh dunia. Pendekatan penuh kekuatan, seperti upaya pre-emtif militer Amerika Serikat (AS), bisa mengakibatkan kemunduran lebih kuat dari yang diperkirakan karena berbagai dampak buruknya.

Nilai belanja militer di seluruh dunia sepanjang tahun 2006 diperkirakan mencapai 1.204 miliar dollar AS, atau meningkat 3,5 persen dibandingkan dengan tahun 2005. Dibandingkan dengan satu dekade lalu, jumlah belanja militer tahun 2006 lalu telah naik 37 persen. Rata-rata belanja militer per kapita naik dari 173 dollar AS pada tahun 2005 menjadi 184 dollar AS. Meski demikian, belanja militer tersebut terdistribusi tidak merata.

Pada tahun 2006, 15 negara dengan belanja terbesar menyedot 83 persen belanja militer total. Kenaikan terbesar dilakukan militer AS, yang terpaksa harus membiayai operasi militer yang besar di Afganistan dan Irak.

Antara September 2001 dan Juni 2006, Pemerintah AS menyediakan total 432 miliar dollar per tahunnya demi untuk memimpin apa yang disebut "perang global melawan terorisme". Kenaikan belanja militer yang besar itu memberi dampak terus memburuknya ekonomi AS sejak tahun 2001.

Pada tahun 2006, belanja militer China terus menunjukkan kenaikan pesat dan untuk pertama kalinya melampaui Jepang. Hal itu menjadikan China sebagai negara dengan belanja militer terbesar keempat di dunia dan yang terbesar di Asia.

Di tengah diskusi intensif, Jepang memutuskan untuk kelima kalinya berturut-turut mengurangi belanja militernya pada tahun 2006 dan memfokuskan anggaran militernya pada peluru kendali pertahanan.

Industri persenjataan

Seiring dengan meningkatnya belanja militer, penjualan persenjataan yang dilakukan 100 produsen senjata terbesar dunia, terkecuali China, meningkat tiga persen pada tahun 2005.

Industri persenjataan AS jelas mendapatkan keuntungan sangat besar dari kebijakan Pemerintah AS pasca-September 2001. Perusahaan-perusahaan itu mengembangkan berbagai peralatan perang baru karena tuntutan operasi AS di Afganistan dan Irak serta meningkatnya belanja untuk keamanan di dalam AS sendiri.

Perpindahan volume persenjataan konvensional utama dalam empat tahun belakangan ini juga meningkat hampir 50 persen. Angka itu merupakan kebalikan dari tren penurunan setelah tahun 1997. AS dan Rusia merupakan para pemasok senjata konvensional terbesar dalam periode lima tahun, antara 2002-2006.

Karena pengembangan sistem persenjataan besar semakin mahal ongkosnya, menurut SIPRI, hampir semua negara telah menjadi atau akan menjadi bergantung kepada negara-negara lain untuk persenjataan atau teknologi senjata. Hal ini bisa mengarah kepada ketergantungan timbal balik sebagaimana dalam hubungan AS-Eropa, atau ketergantungan satu pihak sebagaimana dialami banyak negara sedang berkembang.

Sejumlah negara yang tidak mau menerima ketergantungan, atau tidak bisa mengakses teknologi dan persenjataan, akan berusaha membuat sendiri persenjataannya atau memfokuskan pada senjata-senjata yang relatif murah, seperti senjata-senjata pemusnah massal, khususnya kimia dan biologi.

Masih terbatasnya pasar internal menyebabkan industri persenjataan Rusia tetap bergantung sangat besar pada ekspor. Sebagian besar senjata-senjata produksi baru Rusia diekspor ke negara lain, untuk mempertahankan kelangsungan industri senjata itu dan mendapatkan dana bagi pengembangan senjata-senjata dan teknologi baru. Sebaliknya, industri persenjataan AS dan anggota-anggota Uni Eropa secara umum tidak begitu bergantung pada ekspor.

China dan India tetap menjadi pengimpor persenjataan terbesar di dunia. Termasuk dalam daftar sepuluh besar importir adalah lima negara di Timur Tengah, antara lain Israel, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab yang terutama berasal dari AS dan negara-negara Eropa, serta Iran yang terutama berasal dari Rusia. Yang lebih mengkhawatirkan adalah pengiriman sistem senjata konvensional untuk serangan jarak jauh ke negara-negara itu, yang jelas akan berdampak pada stabilitas di kawasan itu.

Masalah kontrol atas negara pemasok senjata kepada kelompok-kelompok perlawanan, meski bukan isu baru, digarisbawahi pada laporan tahunan SIPRI 2007 dengan dimilikinya peluru-peluru kendali oleh Hezbollah dari Iran, yang kemudian digunakan dalam perang Hezbollah melawan Israel.

Kontrol atas persenjataan yang ditegaskan SIPRI sangat penting untuk mengurangi ancaman dari terorisme. Bukan hanya menjadi kewajiban militer suatu negara karena ada sejumlah material ataupun perlengkapan yang tidak termasuk kategori hanya untuk penggunaan militer sehingga bisa digunakan oleh warga sipil.

Di samping itu, banyak teknologi yang disediakan untuk tujuan sipil juga bisa dibelokkan untuk penggunaan militer yang tidak sah. Karena itu, para pembuat peraturan harus proaktif meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai tanggung jawab bersama di bidang keamanan.

Senjata nuklir

Mengenai senjata nuklir dan penyebarannya, SIPRI melalui pakarnya, Shannon N Kile, menjelaskan, pada awal tahun 2007 lima negara pemilik senjata nuklir yang diakui oleh Traktat Nonproliferasi Nuklir (NPT), yaitu AS, Rusia, China, Inggris dan Perancis memiliki total lebih dari 26.000 hulu ledak nuklir, termasuk senjata pengirimnya dan suku cadangnya, baik dalam penyimpanan aktif maupun tidak aktif.

Kelima negara nuklir itu, terkecuali Inggris, mempunyai program modernisasi senjata nuklir yang sedang dilaksanakan. Adapun Inggris telah mengumumkan maksudnya untuk menggantikan armada kapal selam Trident-nya dengan kapal-kapal selam terbaru yang berkemampuan membawa senjata nuklir.

India dan Pakistan, yang bersama-sama Israel jelas-jelas negara pemilik senjata nuklir dan tidak menjadi pihak dari NPT, juga terus mengembangkan sistem peluru kendali baru yang mampu membawa hulu ledak nuklir.

Selain itu, di seluruh dunia saat ini terdapat sekitar 1.700 ton uranium dengan pengayaan tinggi (highly enriched uranium/HEU) dan 5.000 ton plutonium murni, yang cukup untuk membuat lebih dari 100.000 senjata nuklir. Rusia dan AS telah mengumumkan jumlah kelebihan HEU dari kebutuhan militernya.

Sekitar 285 ton HEU Rusia dan 92 ton HEU AS dari hulu-hulu ledak yang tidak digunakan lagi telah diolah kembali dan dijual untuk penggunaan reaktor nuklir sipil AS. Meski demikian, Rusia, Inggris, dan AS memiliki stok dalam sejumlah besar HEU yang bisa dibuat menjadi senjata di masa datang. AS saja telah mengumumkan cadangan HEU milik angkatan lautnya dalam jumlah yang cukup untuk membuat sekitar 5.000 hulu ledak nuklir.

Adapun mengenai stok plutonium murni, hampir setengah dari stok itu adalah untuk militer dan berada di tangan AS dan Rusia. Sekitar 250 ton plutonium yang telah dimurnikan lainnya berasal dari reaktor-reaktor nuklir sipil, terutama di Inggris, Perancis, dan Rusia.

Semua gambaran yang disampaikan SIPRI tersebut semakin meyakinkan kita bahwa berbagai upaya masyarakat dunia untuk mengurangi dan mencegah penyebaran senjata nuklir sesungguhnya telah gagal.

Umat manusia juga sepertinya semakin gandrung memiliki persenjataan sehingga berbagai jenis persenjataan yang fungsinya, terutama untuk membunuh manusia lainnya, semakin memenuhi planet kita ini. Inilah gambaran kecenderungan semakin ditinggalkannya cara-cara dialog dalam penyelesaian konflik antarmanusia.

No comments: