Wednesday, June 6, 2007

Dataran Tinggi Golan
Masyarakat Druse Menanti Perubahan

Majdal Shams, Senin - Untuk menunjukkan loyalitas pada Pemerintah Suriah dan memprotes Israel yang mencaplok wilayah Dataran Tinggi Golan pada saat Perang Timur Tengah tahun 1967, komunitas masyarakat Druse pernah membakar kartu identitas Israel yang mereka pegang. Namun, ikatan kuat antara Druse yang tinggal di Golan dengan Suriah telah pudar setelah 40 tahun Israel berkuasa di Golan.

Meski telah mulai pudar, warga di Golan tetap sering merasa bingung karena memiliki identitas diri dobel, Israel dan Suriah. Dua identitas itu membingungkan karena di bawah rezim Israel situasi kehidupannya terlalu liberal. Hal ini jelas bertolak belakang dengan Suriah yang bersifat otokrasi. Sementara di sisi lain Druse terlalu setia pada kampung halaman Suriah dan susah menerima Israel.

"Saya warga Suriah, tetapi saya tidak tahu sama sekali mengenai Suriah," kata Suleiman (23), warga Majdal Shams, desa yang ada di antara Gunung Hermon dan berada tepat di samping pagar kawat perbatasan sepanjang perbatasan Suriah.

Meski Suleiman belum pernah ke Suriah, ia mengaku takut masuk ke Suriah gara-gara berbagai cerita dan pengalaman teman-teman Suleiman yang bersekolah di Suriah. "Di sini ada TV, internet, sistem demokrasi, dan kebebasan berpikir dan berekspresi. Hal-hal itu yang tidak ada di Suriah," kata Suleiman.

Kehidupan sehari-hari di Majdal Shams saat ini sebenarnya tak jauh berbeda dari kota-kota Israel pada umumnya. Remaja laki-laki tampak biasa duduk-duduk di jalanan dan remaja-remaja perempuan juga biasa mengenakan rok atau celana pendek. Bukan hanya itu. Banyak pula pasangan tidak menikah yang terkadang minum alkohol dan tinggal bersama tanpa ikatan menikah. Padahal, ajaran agama di Druse melarang minum-minuman beralkohol. Masyarakat Arab konservatif juga tidak memperbolehkan pasangan tak menikah tinggal bersama.

Meski sebenarnya merasa sebagai warga Suriah, banyak warga Golan yang justru merasa sering terpinggirkan oleh pemerintahan Suriah. Karena itu, banyak warga Golan yang lantas memilih setia menetap di Golan. "Jika desa ini dikembalikan ke Suriah, saya bisa saja kembali ke Suriah. Apa pun yang terjadi pada desa saya, maka saya akan tetap ada di sini," kata Suleiman.

Adaptif

Ketika Israel berhasil menaklukan Golan, warga Druse dapat dengan mudah dan cepat adaptasi dengan perubahan yang terjadi dengan cara mempelajari bahasa Yahudi dan mengembangkan hubungan pribadi dan bisnis dengan komunitas Yahudi. Tahun 1981 Israel mencaplok daerah Dataran Tinggi Golan meski tindakan itu tidak diakui dunia. Pemerintah Israel lalu menawarkan status kewarganegaraan kepada Druse. Namun, mayoritas warga Druse menolak tawaran itu.

Israel dan Suriah telah dua kali bertemu untuk membahas upaya perdamaian. Pekan ini Perdana Menteri Israel Ehud Olmert disebutkan akan mempertimbangkan memperbarui hubungan dua negara. Di pertemuan sebelumnya tidak ada hasil memuaskan. Suriah menuntut Israel mundur dari Golan sebagai langkah awal kesepakatan perdamaian. "Druse sadar masa depan politik mereka ada di Suriah. Mereka juga tidak mau cari gara-gara dengan Israel," kata pakar Timur Tengah dan Sejarah Islam di The Hebrew University, Jerusalem. (AP/LUK)

No comments: