Trias Kuncahyono
Invasi militer pimpinan AS ke Irak telah menghasilkan tragedi kemanusiaan yang tak terperi. Irak tidak hanya di ambang perpecahan sebagai akibat perang. Masa depan negara itu pun semakim buram. Keamanan menjadi sesuatu yang sangat mahal harganya. Itulah sebabnya, 40.000-50.000 orang Irak terpaksa meninggalkan negeri mereka setiap bulan.
Kristele Younes dalam tulisannya di Foreign Policy in Focus (14 Maret 2007), yang mengutip laporan PBB, menyebutkan, sebanyak 2,6 juta orang Irak telah meninggalkan negeri mereka sejak tahun 2003. Dua juta di antaranya mengungsi ke negara-negara tetangga, sementara 1,8 juta orang lainnya terpaksa meninggalkan rumah mereka dan mencari tempat yang dianggap aman di Irak.
Pada Februari, AS menerima 7.000 pengungsi asal Irak. Sebelumnya, sudah 2.000 pengungsi Irak tiba di AS. Sebagai perbandingan, AS hanya menerima sekitar 600 pengungsi Vietnam antara tahun 1954 dan 1974 selama Perang Vietnam berkobar. Banjir pengungsi terjadi setelah Saigon jatuh. Sejak saat itu berduyun-duyun orang Vietnam mencari selamat, termasuk ke AS. Menurut sensus 1980, ada 3,5 juta orang Vietnam yang hidup di AS dan pada tahun 1990 meningkat menjadi 614.000 orang (The Christian Science Monitor, 26/6).
Saat ini pilihan orang Irak untuk mencari tempat pengungsian terbatas. Salah satu negara tujuan mereka untuk mengungsi adalah Swedia, yang tahun lalu menerima 9.000 orang. Tahun ini, Kementerian Imigrasi Swedia memperkirakan akan menerima 20.000 pengungsi Irak. Negara-negara di sekitar Irak juga menjadi tujuan untuk mencari selamat. Jordania sekarang menampung sekitar 33.000 orang, Suriah menerima 1,4 juta orang.
"Orang-orang Irak yang tidak dapat meninggalkan negeri mereka kini antre menunggu kematian menjemput," tulis Kristele Younes menggambarkan situasi di Irak saat ini. Ribuan orang Irak, kini, menghadapi kemungkinan menjadi korban pengeboman. Semua orang Irak, baik itu Sunni, Syiah, Kristen, dan kelompok-kelompok lainnya, seperti Palestina, kehidupannya terancam.
Yang ironi adalah jiwa mereka terancam karena afiliasi agama, status ekonomi, dan profesi, seperti dokter, guru, bahkan penata rambut, karena dianggap anti-agama.
Kondisi seperti itulah yang semakin memperumit situasi di Irak dan mempersulit usaha mencari perdamaian. Tiada hari tanpa peledakan bom dan penduduk sipil menjadi korbannya. Persaingan dan perseteruan berbau sektarian dari hari ke hari semakin terasa kentar.
Lingkaran bom bunuh diri seakan sulit diputus. Majalah The Economist (23-29 Juni) melaporkan, lingkaran bom bunuh diri Sunni yang dengan sasaran warga Syiah tidak memberikan pertanda akan berakhir. Belum lama ini sebuah bom mobil meledak di sebuah masjid milik kelompok Syiah di Baghdad. Ledakan bom itu menewaskan 78 orang. Pertengahan April, bom mobil meledak di sebuah pasar di Baghdad dan menewaskan 140 orang.
Situasi di lapangan seperti itulah yang mendorong atau menyuburkan arus pengungsian ke luar Irak.
Rekonsiliasi agama
Apakah rantai permusuhan itu benar-benar tidak bisa diputus? Kalau hal itu yang terjadi, gambaran akan terpecah belahnya Irak menjadi semakin nyata. Pecahnya Irak pun rasanya tidak menjamin akan lahirnya perdamaian dan kedamaian di kawasan itu.
Keprihatinan itulah yang antara lain telah mendorong sejumlah pemimpin agama bertemu di Baghdad belum lama ini. Ini pertemuan bersejarah. Baru kali ini, dalam 37 tahun terakhir, para pemimpin agama di Irak bertemu. Sebanyak 55 delegasi yang berasal dari kelompok Sunni, Syiah, Kurdi, Kristen, termasuk Yazidi (sebuah sekte agama di wilayah Kurdi, Irak bagian utara) bertemu.
Pada akhir pertemuan yang berlangsung dua hari, dimulai 12 Juni, mereka menandatangani kesepakatan bersama yang antara lain mencela sepak terjang Al Qaeda di Irak dan bertekad untuk melindungi tempat-tempat suci.
Pertemuan para pemimpin agama itu—apa pun hasilnya— telah menegaskan bahwa kehadiran agama jangan sampai menjadi landasan ideologis kekerasan. Sejarah telah mencatat bahwa tidak jarang kehadiran agama telah menimbulkan kekerasan yang terungkap dalam sikap doktriner, otoriter, eksklusif, serta kekerasan fisik. Hal itu terjadi lantaran ada perbedaan antara pemahaman dan penghayatan.
Hannah Arendt, filsuf politik, mengingatkan, "Kita tergoda untuk mengubah dan menyalahgunakan agama menjadi ideologi dan menodai usaha yang telah kita perjuangan melawan totalitarianisme dengan suatu fanatisme. Padahal, fanatisme adalah musuh besar kebebasan." Fanatisme selalu menimbulkan masalah: konflik dan kekerasan.
Selama ini, agama sering tampil dalam dua wajah yang saling bertentangan. Dari satu sisi, agama merupakan tempat di mana orang menemukan kedamaian, kedalaman hidup, dan harapan yang kukuh. Di dalam agama, banyak orang dan kelompok menimba kekuatan dan mendapatkan topangan berhadapan dengan penderitaan, penindasan, atau rezim totaliter.
Di sisi lain, agama sering dikaitkan dengan fenomena kekerasan. Pembelaan cenderung mengatakan bahwa agama mengajarkan perdamaian dan menentang kekerasan, tetapi manusia menyalahgunakannya untuk kepentingan pribadi atau kelompok sehingga menyulut kekerasan (Haryatmoko, Etika Politik dan Kekuasaan, Penerbit Buku Kompas, 2003).
Para pemimpin agama Irak yang bertemu di Baghdad berusaha untuk membendung dan menghentikan kekerasan, permusuhan, dan pertikaian yang terjadi. Dalam kenyataannya, pertemuan itu memang tidak mendadak sontak menghentikan permusuhan berwarna sektarian.
Meski demikian, pertemuan itu sendiri sudah merupakan sebuah mukjizat. Oleh karena mereka yang selama ini berdiri berseberangan dan cenderung saling menyalahkan bersedia untuk duduk bersama berhadap- hadapan di satu ruangan, berbicara, berdialog, dan mencari jalan keluar dari krisis Irak yang hingga kini belum memberikan pertanda akan berakhir.
Mereka yang berpandangan pesismistik akan cenderung berpendapat bahwa pertemuan itu sekadar retorika belaka yang tidak akan menghasilkan apa-apa dan tidak mampu menghentikan permusuhan. Setiap kompromi akan dianggap sebagai kelemahan atau pengkhianatan. Dari sinilah kemudian muncul istilah martir atau pengkhianat (The Economist). Mereka yang berusaha mengupayakan perdamaian karena berjabat tangan dengan musuh, dianggap sebagai pengkhianat. Sebaliknya, mereka yang teguh membela perjuangan—walau dalam pengertian sempit sekadar untuk kepentingan kelompok dan golongan— dianggap sebagai pahlawan.
Sebaliknya, mereka yang berpandangan optimistik akan berpendapat bahwa pertemuan para pemimpin agama itu merupakan langkah fundamental yang akan membuka peluang bagi terciptanya rekonsiliasi yang lebih luas, paling tidak di antara para pemimpin agama itu sendiri.
Pilihan seperti itu—rekonsiliasi atau menerima pluralitas— akan memberi peluang yang besar bagi terciptanya perdamaian. Agama baru menjadi konkret sejauh dihayati secara benar oleh pemeluknya. Bila yang terjadi sebaliknya, maka konflik akan berubah menjadi perjuangan yang mempertaruhkan keberadaan manusia dan seluruh kemanusiannya. Tentu hal itu tidak diinginkan.
Tidak bisa dimungkiri, rakyat Irak sangat mendambakan segera tercipta perdamaian dan kedamaian di negerinya dan para pemimpin agama pun diharapkan lebih berperan dalam mencari perdamaian tersebut. Bila demikian, eksodus rakyat Irak pun tidak akan dan tidak perlu terjadi lagi.
No comments:
Post a Comment