Thursday, June 21, 2007

Menggugat "Bipolarisme" Bush

Robert Bala

Ketika menimbang baik-buruk invasi Amerika Serikat ke Irak, bisa saja ada alasan untuk "membenarkannya". Ancaman terhadap keamanan dunia, terorisme, diktatorisme, dapat ditampilkan sebagai "segi positifnya".

Akan tetapi, tidak sama halnya dengan Paus Benediktus XVI. Di hadapan George Walker Bush (9/6), pemilik nama Ratzinger itu mengatakan tanpa tedeng aling-aling: "Tidak ada yang positif di Irak" (Kompas, 11/6) untuk tidak mengatakan: "semuanya negatif".

Namun, mengapa AS atau lebih tepat Bush (karena tidak sedikit warga AS menentang kebijakan Bush), masih begitu yakin tentang peran "positifnya" di Irak? Bagaimana meneropong kebijakan AS dalam konteks bipolarisme Timur-Barat?

Neo-orientalisme

Terminologi Barat-Timur, tak sekadar bernuansa geografis, membelah dunia melalui sebuah garis bayangan (circulo imaginario). Ia sudah memiliki muatan politis, bahkan ekonomis. Dunia Barat, yang identik dengan negara-negara maju, mustahil disanjung dan dikagumi tanpa kekuatan pembanding. Lawan itulah yang disebut Timur.

Dalam perjalanan sejarah, sistem bipolar tidak bisa dilepaskan dari nafsu menguasai lawan (Timur). Dengan demikian dapat dieksploitasi kekayaan alamnya. Nafsu yang dihadapkan dengan tuntutan mempertahankan diri, akhirnya melahirkan perang. Edward Said (Orientalism: 1994), melihat pertikaian antara Yunani (Barat) dengan orang Persia dari Esquilo (Timur) pada tahun 472 sebelum Masehi (SM) sebagai awal konflik Barat-Timur.

Pada abad VII Masehi, agama Islam muncul, namun tidak terlalu disambut. Ia lebih dianggap sebagai kekuatan baru yang mengancam status quo-nya (Hitti Philip K: Islam and The West: 1962). Isu agama ditiup. Meski dengan cepat diketahui, semuanya hanya taktik belaka, demi menyembunyikan nafsu serakah.

Kenyataan yang sama terjadi pada abad yang lalu (hingga berlanjut terus kini). Pasca-Perang Dunia II, dua kekuatan Barat-Timur terwakilkan melalui AS dengan kapitalismenya dan Uni Soviet dengan komunismenya. Keduanya beradu. Namun, Truman’s Doctrine of Contaiment di bawah bendera kapitalisme lebih gesit meyakinkan dunia.

Logisnya, bipolarisme klasik: Barat-Timur, semestinya berakhir dengan hilangnya Soviet. Musuh atau hostis dalam istilah Carl Schmitt (1979) semestinya tidak ada lagi. Yang terjadi justru lain. Paham: Les Lettres Persanes Montesquieu, tentang perlunya lawan (engkau) demi mengukuhkan identitas diri (saya) masih ada. Karena itu, ketika muncul aneka kekuatan yang memanipulasi agama demi tujuan destruktif-radikal-fundamentalistik, dengan cepat dilihat sebagai kekuatan baru dari Timur atau neo-orientalisme. Bush pun dengan cepat mengumumkan perang terhadap terorisme.

Negosiasi

Terhadap dunia yang terfriksi dalam Barat-Timur, semestinya dijembatani oleh dialog tulus. Perundingan regional dengan melibatkan negara-negara sekawasan, sebagaimana ditandaskan Paus, perlu semakin diberi tempat. Sementara itu, tendensi mengejar teroris secara membabi buta, perlu dihindari.

Tak hanya itu. Asumsi sepihak menggolongkan siapa pun dalam "poros kejahatan" sambil tidak memberi kesempatan kepada "tertuduh" untuk membela diri perlu disadari sebagai kesalahan. Hanya dengan demikian, sebuah dunia yang lebih nyaman untuk dihuni bersama, lebih mendekati kerinduan manusiawi.

Dalam kenyataannya, harapan akan dialog yang jujur apalagi ikhlas, nyaris tak diberi tempat, hal mana disayangkan Fatima Mernissi, dalam bukunya: La peur- modernité, conflit Islam démocratie: 1992, sosiolog wanita asal Maroko itu mengharapkan agar Barat, terutama AS, perlu semakin membuka dialog. Dan, mengapa tidak mengundang tokoh-tokoh (yang dianggap) fanatik untuk berbicara di televisinya.

"Mutual trust"

Bagaimana semestinya menyikapi sistem bipolar? Pertama, Bush Jr, semestinya semakin menyadari bahwa caranya memerangi terorisme semakin tidak mendapatkan simpati. Ia perlu mengadakan perubahan radikal. Salah satu di antaranya melalui keterlibatannya mengatasi isu-isu ekologi seperti perubahan iklim. Sayangnya, momen emas untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, dilewatkan begitu saja (Kompas, 8/6). Di sana Bush lupa, dewasa ini, ketulusan, solidaritas, cinta kasih, empati merupakan nilai yang sangat diperhitungkan, menggantikan kebohongan dan keserakahan.

Kedua, dunia yang damai hanya mungkin tercipta ketika "yang lain" tidak dipandang sebagai musuh (hostis) dengan aneka cap yang menyudutkan sambil mengklaim diri sebagai figur yang lebih benar. Mereka perlu dianggap rekan yang kepadanya perlu ditanamkan kepercayaan. Di atas saling percaya (mutual trust), konsentrasi akan semakin tercurah untuk membangun kesejahteraan dunia. Anggaran militer yang miliaran dollar, mengapa tidak dialihkan untuk menyelamatkan nyawa orang yang terancam mati oleh kelaparan?

Ketiga, konsep bipolar yang sudah lama diyakini (meski salah), perlu diubah. Namun, pada saat bersamaan, perlu ditopang aksi positif-konstruktif dari Dunia Timur. Ia hadir dengan teladan bisu, tetapi menggugah bahwa apa pun keyakinannya, yang hendak dibiaskan hanyalah cinta kasih, perdamaian, solidaritas, dialog.

Sementara itu, aksi radikal menjawab arogansi AS dengan aksi terorisme, hal mana sering dijadikan landasan "pembenaran terorisme" akan semakin menjauhkan kita dari impian bersama. Karena itu, tanpa menjadi Yes man untuk mengekor kebijakan AS dalam hal apa pun, misi cinta damai yang tulus perlu menjadi kontribusi kita untuk dunia.

Robert Bala Alumnus Resolusi Konflik dan Penjagaan Perdamaian pada Facultad Sosiologia y Ciencias Politicas Universidad Complutense de Madrid-Spanyol

No comments: