Peneliti Utama LIPI dan Ketua Umum The Indonesian Society for Middle East Studies
Tajuk Republika, 18 Juni 2007, menjelaskan nasib bangsa dan negara Palestina yang semakin tidak jelas arahnya. Pertikaian dua faksi di Palestina, Hamas dan Fatah, telah menyebabkan kondisi bangsa Palestina semakin terpuruk. Mereka terbelah dan terpecah.
Sebuah ironi
Hamas yang memenangkan pemilu parlemen Palestina, Januari 2006, harus menghadapi kenyataan bahwa dewi fortuna (keberuntungan) belum berpihak kepada mereka. Adagium vox populi, vox Dei (suara rakyat, suara Tuhan) tenggelam entah ke mana. Pemerintah Palestina di bawah Hamas, yang semestinya dapat menyuarakan kepentingan rakyat, justru mendapatkan hambatan dari berbagai pihak luar, terutama Israel dan Amerika Serikat.
Bantuan yang sebelumnya mengalir ke Palestina dihentikan. Selama satu tahun pertama pemerintahannya, Hamas tidak dapat berbuat banyak. Mereka mendapatkan tekanan yang cukup hebat. Mereka sengaja diisolasi, supaya Hamas segera jatuh dari tampuk pemerintahan Palestina.
Suatu skenario penjatuhan pemerintahan Hamas itu diungkapkan oleh surat kabar terkemuka AS, The New York Times (14 Februari 2006). Dalam skenario itu, disebutkan bahwa Amerika Serikat dan Israel akan memotong akses keuangan serta hubungan internasional hingga pemerintahan Hamas segera jatuh. Israel akan membekukan pengembalian dana pajak dan cukai yang mereka kumpulkan dari warga Palestina di perbatasan. Jumlahnya sekitar 50 juta dolar AS per bulan.
Israel juga akan menutup pintu masuk dan keluar di Jalur Gaza dan Tepi Barat. Amerika dan Uni Eropa menambah tekanan dengan menghentikan dana bantuan untuk Palestina yang berjumlah sekitar 110 juta dolar AS per bulan. Palestina diisolasi dan diharapkan perekonomian mereka segera hancur dan rakyat memrotes pemeritahan Hamas atas ketidakmampuan itu. Dengan demikian, Presiden Palestina, Mahmoud Abbas, yang juga pemimpin Fatah memiliki alasan untuk menyerukan pemilu baru. Melalui pemilu baru inilah, riwayat pemerintahan Hamas akan diakhiri dan Fatah kembali berkuasa.
Benar, beberapa kali Abbas mengemukakan tentang perlunya pemilu dini untuk menerobos kebuntuan politik. Anehnya, yang antusias menanggapinya adalah pihak Barat, terutama Inggris dan Amerika. Setelah bertemu dengan Mahmoud Abbas, di Ramallah, 18 Desember 2006, Perdana Menteri Inggris, Tony Blair, memuji usul Abbas itu dan bahkan Blair mendesak dunia internasional untuk mendukungnya.
Dukungan juga disampaikan Pemerintah Amerika. “Kami mendukung Presiden Abbas yang sedang mencoba menerobos kebuntuan (politik) saat ini dan kami tentu saja berharap langkah-langkah yang dia ambil dapat mengurangi kekerasan,” begitu pernyataan resmi pemerintah Amerika (Kompas, 20 Desember 2006). Abbas juga bertemu Perdana Menteri Israel, Ehud Olmert, di Jerusalem, 23 Desember 2006.
Sebaliknya, masyarakat Palestina tidak begitu menanggapi seruan Abbas. Yang terjadi malahan bentrok antara penganut Hamas dan Fatah. Setelah banyak memakan korban, mereka berhasil didamaikan oleh Raja Arab Saudi, Abdullah, di Makkah. Kemudian Hamas dan Fatah membentuk pemerintahan koalisi nasional yang tetap dipimpin oleh Perdana Menteri Palestina, Ismail Haniya, dari Hamas.
Pemerintahan koalisi itu, ternyata tidak mulus berjalan. Amerika, Uni Eropa, dan Israel tidak puas, karena pemerintahan tersebut masih dipimpin oleh Hamas. Isolasi ekonomi dan politik internasional masih terus berjalan. Akhirnya, Hamas dan Fatah bentrok kembali. Pasukan Hamas menguasai seluruh wilayah Jalur Gaza. Presiden Abbas membalas dengan mengeluarkan dekrit pembubaran kabinet dan membentuk kabinet baru. Sementara itu, Ismael Haniya, masih menganggap dirinya sebagai pemimpin yang sah. Secara ekonomi, Palestina sudah terpuruk dan sekarang secara politik mereka semakin jauh dari kedamaian. Ironis memang, ketika dibutuhkan suatu kekuatan bersama untuk melawan musuh, mereka justru bentrok sendiri.
Skenario baru
Kondisi terakhir di Palestina itu menimbulkan spekulasi adanya skenario baru untuk membelah Palestina. Tampaknya, Hamas yang sulit dikendalikan oleh Isarel dan Amerika akan diisolasi di Jalur Gaza. Indikasi ini, misalnya, terlihat setelah pelantikan Kabinet Darurat Palestina di bawah Perdana Menteri Salman Fayyad (independen), Ohud Olmert, berjanji membuka peluang baru bagi tercapainya perdamaian. “Peluang baru yang sudah sejak lama tidak kita miliki. Pemerintahan Palestina tanpa Hamas merupakan mitra kami,” kata Olmert (Republika, 18 Juni 2007).
Tetapi, sebaliknya Israel menutup pasokan kebutuhan kehidupan sehari-hari ke Gaza. Bahan bakar minyak di Gaza akan semakin sulit didapat, karena perusahaan Israel, Dor Alon, yang biasa memasok ke sana akan membatasi pasokannya. Menteri Infrastuktur Israel, Benjamin Ben-Eliezer menjelaskan bahwa Israel akan meningkatkan isolasinya terhadap Gaza, kecuali listrik dan air.
Isolasi Gaza itu diharapkan akan membangkitkan kemarahan rakyat terhadap Hamas dan menggulingkan pemimpinnya. Tetapi, bila itu tidak berhasil, maka Gaza akan tetap dibiarkan dikuasai oleh Hamas, tanpa ada pengakuan dari dunia internasional.
Pelantikan kabinet baru oleh Presiden Abbas itu tampaknya akan dijadikan alasan adanya pengakuan dunia internasional, bahwa pemerintahan Palestina yang sah berada di bawah Perdana Menteri Salman Fayyad. Dengan demikian, segala urusan yang berkaitan dengan Palestina akan ditangani oleh Fayyad.
Bila skenario itu benar, maka yang akan menjadi korban adalah masyarakat Palestina, terutama mereka yang tinggal di Jalur Gaza. Mereka akan mengalami kehidupan yang lebih sulit. Sementara yang beruntung adalah Israel dan para sekutunya. Mereka akan lebih mudah mengatur politik Palestina.
Selamatkan rakyat
Semestinya, dunia tidak boleh tinggal diam. Kewajiban masyarakat dunia adalah memberikan bantuan kepada siapa saja yang memerlukannya. Rakyat Palestina perlu bantuan. Mereka telah menjadi korban ulah para elite dan pemimpin dunia yang tidak bertanggung jawab. Saya kira, Liga Arab semestinya segera bertindak untuk mengatasi kemelut politik Palestina itu. Mereka bisa menjadi mediator yang menjembatani kepentingan Hamas dan Fatah.
Usaha yang dilakukan oleh Raja Abdullah dari Arab Saudi beberapa waktu lalu, perlu diulangi lagi. Selain itu, Organisasi Konferensi Islam juga bisa segera bergerak untuk membantu rakyat Palestina. Memang, usaha itu memerlukan kesungguhan dari semua pihak dan tidak semudah apa yang dikatakan.
Barangkali, Indonesia juga dapat memainkan peran untuk ikut berkiprah di sini. Selama ini, Indonesia konsisten mendukung perjuangan rakyat Palestina. Dukungan itu perlu diberikan tanpa melihat siapa yang berkuasa di sana. Ketika Mahmoud Abbas (Fatah) terpilih menjadi Presiden Palestina, Indonesia menyambut baik, demikian juga ketika Hamas menang dalam pemilu Palestina. Sebelum Raja Abdullah berhasil mendamaikan Hamas dan Fatah, beberapa waktu lalu, Indonesia pernah mengemukakan gagasan untuk mempertemukan mereka. Mungkin sekaranglah saatnya bagi Indonesia untuk lebih berperan lagi menyelamatkan rakya Palestina.
Ikhtisar
- Barat dan Israel tidak pernah rela melihat Hamas berkuasa di Palestina. Dengan segala cara, mereka terus berusaha menyingkirkan Hamas.
- Usaha mereka dilakukan dengan memanfaatkan sikap akomodatif Presiden Palestina, Mahmoud Abbas.
- Pembentukan pemerintahan darurat Palestina yang dipimpin Salman Fayyad.
- Liga Arab dan Organisasi Konferensi Islam harus segera bertindak untuk menyelamatkan rakyat Palestina.
No comments:
Post a Comment