Timteng dan Kuartet Perdamaian
Awal pekan ini terjadi perkembangan menarik di Timur Tengah. Ada pertemuan di Sharm el-Sheik, di tepi Laut Merah, Mesir, pada hari Senin (25/6).
Hadir Perdana Menteri Ehud Olmert (Israel), Raja Abdullah (Jordania), Presiden Hosni Mubarak (Mesir), dan Presiden Mahmoud Abbas (Palestina). Hanya saja, pertemuan puncak di atas tidak menghasilkan terobosan berarti dalam upaya perdamaian. Para pemimpin bertemu untuk mendengarkan apa rencana Israel guna membuat kehidupan bangsa Palestina yang tinggal dalam kendali Fatah di Tepi Barat lebih baik.
Sehari kemudian, utusan khusus empat pihak yang dikenal sebagai Kuartet Timur Tengah—terdiri dari AS, Rusia, Uni Eropa, dan PBB—bertemu di Konsulat AS di Jerusalem. Pertemuan lebih dari dua jam berlangsung tertutup dan setelah itu tidak ada pernyataan apa pun.
Pada satu sisi kita selalu penuh harap manakala muncul perkembangan yang cukup penting dalam upaya mencari perdamaian di Timur Tengah. Namun, kita juga sudah hafal karena terjadi berulang kali, tidak setiap perkembangan penting bisa membesarkan hati. Malah perkembangan dua pekan terakhir memperlihatkan situasi yang lebih rumit, di mana Palestina justru terbagi dalam dua wilayah kekuasaan, dengan Hamas menguasai Jalur Gaza dan Fatah menguasai Tepi Barat.
KTT di Sharm el-Sheik dimaksudkan untuk memberikan dukungan kepada Presiden Mahmoud Abbas, yang juga bertemu dengan PM Olmert untuk pertama kalinya dalam kurun lebih dari dua bulan ini. Dukungan kepada Abbas yang moderat juga diberikan oleh banyak komunitas internasional. PM Olmert juga menyatakan bahwa ia akan meminta pemerintahnya membebaskan 250 anggota Fatah yang ditahan.
Melihat perkembangan ini, Hamas menyatakan, pihaknya juga siap untuk berunding dengan Fatah.
Di luar upaya yang dilakukan pemimpin Timur Tengah, para utusan Kuartet melihat, mereka perlu diwakili oleh sosok yang berbobot, dan ini mereka lihat ada pada diri Tony Blair yang Rabu lalu mengakhiri jabatan sebagai PM Inggris. Dalam pertemuan di Jerusalem, utusan Kuartet diyakini juga mencari kesepakatan mengenai peran yang bisa dimainkan oleh Blair. Indikasi itu memang juga sudah diperlihatkan Blair.
Menjadi harapan kita bahwa Tony Blair—kalau memang disetujui untuk menjadi utusan Kuartet—bisa memanfaatkan sosok dan pengalamannya untuk memajukan perdamaian Timur Tengah seperti yang selalu ia kemukakan. Kalau itu bisa ia perlihatkan, mungkin saja orang akan melihatnya tidak semata sebagai pembebek George Walker Bush.
No comments:
Post a Comment