Tuesday, June 19, 2007

Negara Palestina Hanya Impian

M Hasibullah Satrawi

Dalam lagu kebangsaan Arab yang dibacakan di setiap momen penting, ada satu lirik yang lebih kurang berbunyi demikian; mimpi kami di setiap waktu adalah bersatunya negara-negara Arab. Semua perpecahan yang ada diakhiri. Inilah mimpi kami di sepanjang masa.

Namun di sisi lain, lagu ini juga menyelipkan fakta kekalahan, ketidakberdayaan, perpecahan, dan kegundahan yang begitu mendalam. Konflik Hamas-Fatah saat ini bisa dikatakan sebagai konflik terburuk dalam sejarah panjang kekerasan di Palestina. Puluhan warga Palestina gugur di tangan warga Palestina yang lain.

Mantan Menlu Mesir, Ahmad Mahir, menyatakan, jumlah warga Palestina yang gugur di tangan sesama warga Palestina tak kalah banyak dari korban yang jatuh di tangan tentara Israel (Asy-Sharq al-Awsat, 15/06).

Secara akal sehat, sebenarnya tak mungkin sesama warga Palestina saling menyerang. Mereka mempunyai cita-cita yang sama (berdirinya negara Palestina), juga karena orang-orang Israel (sebagai musuh besar) adalah musuh yang sebenarnya. Karena itu, gangguan dari pihak ketiga jadi salah satu hipotesis di balik perpecahan Palestina.

Israel, Iran, dan lainnya

Ada dua analisis yang berkembang di Timur Tengah saat ini. Pertama, analisis yang menempatkan Israel sebagai pihak ketiga. Faktanya, Israel adalah musuh besar Palestina. Bisa dipastikan, setiap yang terjadi di Palestina terkait erat dengan Israel, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Israel sangat membutuhkan instabilitas politik pada pemerintahan bersatu Palestina. Sebagaimana dimaklumi, Israel dan negara-negara Barat telah memboikot Palestina setelah Hamas memenangi pemilu terakhir di sana. Salah satu syarat yang diajukan untuk bisa mengakhiri aksi boikot di atas adalah Palestina di bawah pemerintahan Hamas harus melibatkan pihak Fatah, mengingat pihak Fatah lebih dipercaya oleh Israel ketimbang Hamas. Akhirnya tercipta pemerintahan Palestina bersatu sesuai Kesepakatan Mekkah pada Februari 2007.

Namun, Israel masih ragu dengan keseriusan pemerintahan Palestina untuk menerima dan berhubungan baik dengan Israel (tak menyerang pihak Israel) sebagai prasyarat membahas bersama persoalan-persoalan yang lebih krusial (seperti perbatasan, pendeklarasian negara Palestina, dan pengungsi). Namun, pembentukan pemerintahan Palestina bersatu sudah mengikuti sinyal politik negara Yahudi itu. Ini dilematis bagi Israel.

Hanya konflik internal Palestina yang bisa menyelamatkan Israel dari dilema itu. Konflik internal diharapkan jadi awal bagi pembentukan pemerintahan Palestina baru yang lebih pro dan sesuai dengan selera Israel.

Skenario tak populer

Ada juga analisis yang memosisikan Iran sebagai pihak ketiga. Analisis ini tidak populer tetapi cukup santer di kalangan pengamat dan elite politik.

Abdul Rahman Ar-Rasyid, pengamat politik terkemuka di Timur Tengah, adalah salah satu dari pihak yang mengembangkan analisisnya sampai ke Iran sebagai pihak ketiga dalam konflik Hamas-Fatah saat ini. Iran bermaksud menciptakan kegaduhan politik baru di lembah konflik tersebut. Hal ini bukanlah isapan jempol belaka. Karena manuver serupa pernah dilakukan Iran sebelumnya (harian Asy-Sharq al-Awsat, 16/06).

Analisis di atas kian mendekati kebenarannya bila ditinjau dari situasi politik mutakhir di Iran. Sebagaimana dimaklumi, persoalan nuklir Iran saat ini telah mengantarkan negeri kaum mullah itu ke gerbang perang dengan masyarakat dunia, negara-negara Barat khususnya. Dua resolusi yang dikeluarkan PBB untuk mengakhiri krisis nuklir saat ini diabaikan oleh Iran.

Dalam kondisi seperti ini, konflik Hamas-Fatah cukup ampuh untuk memalingkan perhatian dunia dari persoalan nuklir Iran.

Nasionalis versus agamis

Ada analisis ketiga yang tak bisa diabaikan dalam persoalan ini, yaitu islamisme Hamas versus nasionalisme Fatah. Hamas adalah salah satu faksi di Palestina yang menghendaki Palestina tampil sebagai negara Islam. Fatah yang mengusung semangat nasionalisme. Hamas lebih eksklusif, sementara Fatah lebih inklusif. Perbedaan di atas sering kali menciptakan letupan konflik di Palestina. Ketegangan antara islamisme versus nasionalisme di Palestina hanya bagian kecil dari yang terjadi di dunia Islam belakangan ini.

(Penulis adalah Alumnus Universitas Al-Azhar, Cairo, Mesir, Saat Ini Peneliti di P3M Jakarta)

No comments: