kompas.on line
Brussels, Jumat - Perdebatan para pemimpin Eropa untuk menyepakati traktat baru UE sebagai pengganti Konstitusi Eropa yang kandas tahun 2005 berlangsung sangat alot. Meskipun 23 negara secara garis besar sudah menyetujui cetak biru traktat yang diusulkan Jerman, namun empat negara lainnya berkeras menentang.
Keempat negara itu adalah Inggris, Belanda, Republik Ceko, dan Polandia, yang mengkhawatirkan traktat tersebut akan mengancam kepentingan nasional negara masing-masing.
Inggris, misalnya, sejak awal sudah menegaskan bahwa traktat tersebut jangan sampai menyentuh kebijakan yang berlaku di Inggris menyangkut kebijakan luar negeri, sistem perpajakan, sistem peradilan, dan aturan keamanan sosial.
Sedangkan Polandia menentang keras sistem voting yang disebut "mayoritas ganda" (double majority). Dalam rancangan traktat, setiap keputusan penting diambil berdasarkan suara 55 persen negara anggota yang mewakili 65 persen populasi UE. Bagi Polandia, sistem seperti itu akan menguntungkan negara-negara besar seperti Jerman.
Kanselir Jerman Angela Merkel dan Presiden Perancis Nicolas Sarkozy secara khusus berdialog dengan Presiden Polandia Lech Kaczynski untuk mencapai kompromi. "Kami terus berupaya keras, namun persoalan belum terpecahkan. Tapi semua pihak terus berupaya," kata Merkel kepada wartawan.
Sarkozy menyebut dialog itu "sangat sulit". "Saya tidak bisa mengatakan optimistis, tapi ini adalah tugas saya sebagai anggota Dewan Eropa untuk terus berdialog dan kita akan terus melakukan itu," katanya.
Menurut Perdana Menteri Polandia Mirek Topolanek, Kaczynski "membekukan dialog" dengan menolak semua kompromi yang terkait sistem voting yang baru.
Alhasil, hari pertama KTT Uni Eropa berlalu tanpa kepastian. "Saya tidak yakin," kata PM Swedia Fredrik Reindfeldt ketika ditanya apakah dia yakin akan tercapai kesepakatan.
Uni Eropa telah lama mengidamkan sebuah konstitusi yang dapat mempermudah dan mempercepat pengaturan di dalam institusi yang kini beranggotakan 27 negara itu. Saat ini UE dinilai terlalu lamban dalam membuat keputusan akibat aturan yang berbelit-belit. Pada tahun 2005 Konstitusi Eropa hampir terwujud, ketika 75 persen anggotanya sudah meratifikasi. Namun, harapan itu kandas ketika rakyat Perancis dan Belanda menolaknya melalui referendum.
Tawaran Sarkozy
Sarkozy, yang baru saja menjabat sebagai Presiden Perancis dan dikenal memiliki pandangan skeptis terhadap Konstitusi Eropa, menawarkan kepada Jerman dan Polandia apa yang disebutnya "Kompromi Ioannina", yang intinya ada "jeda darurat" untuk menunda keputusan dan mendesak negara-negara terkait untuk terus melakukan negosiasi.
Ada kekhawatiran perpecahan bakal terjadi bila kesepakatan dalam KTT ini tak tercapai. Hal ini mengingatkan pada kondisi buntu pada tahun 2005 sewaktu sejumlah negara menolak rancangan Konstitusi Eropa. Serangan bom di Madrid kemudian menyadarkan para pemimpin Eropa untuk mendahulukan "semangat persatuan" sehingga mereka setuju untuk meratifikasi konstitusi itu melalui referendum ataupun parlemen.
Kali ini, sejumlah negara besar tampaknya sudah berminat lagi untuk terus berdebat mengenai hal yang sama selama bertahun- tahun.
Mereka bisa jadi akan mengambil langkah seperti apa yang dilansir mantan Kanselir Gerhard Schroeder dulu sebagai "jalur cepat", di mana sejumlah negara akan bersatu dan menjalankan sendiri apa yang diusulkan Traktat Eropa, serta meninggalkan mereka yang keberatan.
Yang dikhawatirkan, langkah seperti ini akan semakin memperlebar jurang perbedaan antara negara-negara kaya Eropa dan yang lebih miskin.
(AFP/REUTERS/MYR)
No comments:
Post a Comment