Thursday, June 28, 2007

Inggris dan Perdana Menteri Barunya


Mulai Rabu (27/6) ini Inggris berganti pemimpin. Era Tony Blair sebagai perdana menteri selama satu dasawarsa telah usai, digantikan oleh Gordon Brown.

Selama ini Brown dikenal sebagai menteri keuangan. Sebagaimana lazim terjadi di negara lain, pergantian pemimpin diliputi harapan baru dan disertai pula dengan catatan atas kepemimpinan yang baru berakhir.

Tentang Tony Blair, banyak yang dapat dikenang tidak saja oleh rakyat Inggris, tetapi juga masyarakat internasional. Seperti disinggung oleh penggantinya, Blair yang memenangi Pemilu Mei 1997 berjasa menciptakan perdamaian di Irlandia Utara. Blair juga melancarkan reformasi pelayanan publik. Tentu saja Blair juga telah ikut ambil bagian dalam membangun wajah Eropa.

Namun, berbagai warisan positif itu seperti tertutup oleh sikap politik yang dipilihnya, dalam hal ini yang mendukung pemimpin Amerika Serikat George Walker Bush, khususnya untuk invasi ke Irak tahun 2003. Sikap ini—ketika Irak berubah menjadi negeri malang yang terus terbakar konflik hingga hari ini—lalu menimbulkan kecaman keras, terhadap Inggris dan khususnya terhadap Blair. Perlawanan bahkan muncul dari dalam partainya sendiri sehingga ia terpaksa mundur.

Sebetulnya sikap Blair tidak jauh berbeda dengan pemimpin Inggris lain karena pada dasarnya hubungan Inggris-AS bersifat spesial, tidak tergantung siapa perdana menterinya. Di era 1980-an, Margaret Thatcher dari Partai Konservatif juga amat dekat dengan Presiden Ronald Reagan. Hanya saja, mungkin Blair tidak menyangka perkembangan di Irak sedemikian parah, dan semua itu akibat kalkulasi ngawur pemimpin AS. Ia pun lalu ikut menjadi korban meski hingga saat terakhir Blair tidak mengakui kebodohan yang ada pada kebijakan AS tentang Irak, dan tetap mendukung kebijakan itu.

Kini, selepas dari Downing Street Nomor 10, Blair mendengar ada peluang ia bisa menjadi utusan perdamaian Timur Tengah yang dikenal. Namun, tentu saja untuk menjadi utusan yang kredibel, pertama-tama ia perlu mengubah citra diri yang telanjur kuat dikaitkan dengan Bush yang tidak populer lagi.

Sementara terhadap pemimpin baru, rakyat Inggris, yang semakin kritis terhadap jabatan perdana menteri, menuntut banyak. Merevitalisasi Partai Buruh mungkin saja hal penting, tetapi yang lebih mendesak lagi adalah bagaimana PM Brown mengubah citra Inggris dalam kebijakan luar negeri, khususnya menyangkut Irak.

PM Brown merasa perlu untuk menegakkan legitimasi secara nasional, tidak sekadar di lingkungan partainya sendiri. Ia akan menyelenggarakan pemilu lebih dini dan menyatakan Partai Buruh siap memenanginya. Pergantian pemimpin Inggris perlu disimak mengingat perannya yang besar dalam percaturan politik dunia.

No comments: