Gaya Hidup Berkonflik
Palestina - Hammas
Broto Wardoyo
Kekerasan kembali merebak di Palestina dan tampaknya sudah menjadi gaya hidup.
Masa bulan madu Kesepakatan Mekkah, yang mengatur pembagian pos-pos kekuasaan antara Hamas, Fatah, dan kelompok independen, telah berakhir.
Dalam banyak literatur, pere- butan kekuasaan merupakan akar konflik Hamas—Fatah. Saat berkuasa mereka berusaha melanggengkan kekuasaan dengan menciptakan tatanan yang menguntungkan faksinya. Saat Fatah berkuasa, mereka memonopoli dana dari para donor, membangun sistem perdamaian yang menguntungkan akumulasi modal dan kekuasaan dengan menciptakan satu saluran bagi pembicaraan damai melalui PLO, dan membangun ikatan benci, tetapi rindu dengan Israel, baik keamanan, ekonomi, atau politik.
Sebaliknya, saat Hamas berkuasa, mereka mendobrak proses perdamaian yang dinilai merugikan Hamas, dengan dalih merugikan Palestina, mengedepankan strategi militer sebagai jaminan keamanan, menciptakan tatanan politik baru dengan membuka transparansi guna menunjukkan buruknya kinerja penguasa sebelumnya.
Namun, jika persoalannya hanya kekuasaan, mengapa pembagian kekuasaan tidak memuaskan kedua faksi? Konflik tetap merebak pascapenandatanganan Kesepakatan Mekkah. Kesepakatan Mekkah bukan yang pertama dilanggar. Dalam upaya menjembatani perseteruan Hamas-Fatah, Mesir sering menemukan fenomena serupa.
Sintesis nasionalisme
Argumentasi lain tentang perselisihan Hamas-Fatah menjelaskan, akar permusuhan adalah perbedaan ideologi. Hamas memimpikan negara Islam Palestina dan Fatah menginginkan negara sekuler Palestina. Kedua ideologi itu menakdirkan mereka untuk bermusuhan. Dalam ilmu pengetahuan, ada yang disebut tesis dan ada yang dinamakan antitesis. Dialog di antara keduanya akan menciptakan sintesis. Bisakah pola ini disematkan dalam kasus Palestina? Jika Fatah adalah tesis bagi nasionalisme Palestina dan Hamas adalah antitesisnya maka yang ditunggu adalah sintesis dari nasionalisme Palestina.
Rumusan sintesis nasionalisme Palestina itulah yang hingga kini tidak hadir. Dalam masa penantian itu bukan dialog, tetapi senjata yang dikedepankan keduanya. Tampaknya masih ada faktor X untuk menjelaskan mengapa pilihan dijatuhkan pada kekerasan. Kultur bisa menjadi penjelasan yang baik mengenai faktor X itu.
Sejarah pergerakan nasionalisme Palestina sebelum kemerdekaan Israel ditandai dengan kehadiran Arab Higher Committee yang salah satu keberhasilannya adalah mengorganisasi the Great Arab Revolt (1936-1939). Sayang, usaha mendapatkan kemerdekaan dari Inggris gagal karena dualisme kepemimpinan antara klan Husseini dan Nashashibi.
Dimanfaatkan Israel
Gelagatnya, Hamas dan Fatah menjadikan kemerdekaan Palestina sebagai ajang pertempuran dan bukan bertempur demi kemerdekaan Palestina. Tercipta kesadaran, siapapun yang membawa Palestina untuk merdeka akan menguasai politik Palestina ke depannya.
Perang untuk membawa Palestina merdeka ini justru menjadi titik berat dibanding membawa Palestina merdeka sesegera mungkin. Asumsi menang-kalah yang dominan membuat langkah kemerdekaan Palestina tidak untuk dibagi. Keadaan inilah yang dimanfaatkan Israel untuk memecah kekuatan Palestina.
Melibatkan berbagai kekuatan kemerdekaan Palestina, bisa dijadikan alternatif. Untuk itu dibutuhkan dorongan cukup besar, dari negara-negara donor dan publik Palestina. Pemilu tahun 2006 membuktikan, publik Palestina bisa bersikap rasional dan memiliki kekuatan yang cukup untuk melakukan perubahan.
Tekanan negara-negara donor agar pemilu dilaksanakan jujur dan transparan membuat proses pemilu berjalan lancar nyaris tanpa hambatan, meski hasilnya berbeda dari yang diharapkan. Tidak ada pertumpahan darah berarti selama pemilu. Tekanan donor yang melumpuhkan perekonomian Palestina, menjadi bukti kekuatan donor jika intervensi dilakukan dengan baik.
Yang harus dijaga kemudian adalah keseimbangan suara donor agar tidak lebih pro terhadap salah satu kekuatan. Peran dunia Arab, terutama Arab Saudi dan negara-negara Teluk, dengan kekuatan finansialnya dalam mengimbangi AS dan negara-negara Eropa patut diharapkan selain terus menjembatani Kesepakatan Mekkah seri selanjutnya.
Selama masih ada sekolah Hamas atau rumah sakit Fatah, niscaya kedamaian internal Palestina tidak tercipta, apalagi berdamai dengan Israel. Selama kekerasan dijadikan gaya hidup, tidak akan pernah ada yang namanya negara Palestina. Apakah Palestina hanya ditakdirkan menjadi bangsa tanpa negara? Semua bergantung kepada Hamas, Fatah, dan publik Palestina.
Broto Wardoyo Pengajar di Departemen HI, UI; Manajer Program Center for International Relations Studies (CIReS)
No comments:
Post a Comment