Oleh :Mohammad Riza Widyarsa
Anggota The Indonesian Society for Middle East Studies (ISMES)
Sejak tanggal 19 Mei 2007, pasukan pemerintah Lebanon menggempur milisi Fatah Al Islam di sekitar kota Tripoli, Lebanon Utara. Selama dua hari pertempuran pasukan Lebanon telah kehilangan 23 anggotanya, lusinan warga sipil diperkirakan tewas dan belasan milisi Fatah Al Islam diperkirakan juga tewas. Konflik bersenjata ini diperkirakan dapat membuat keamanan di Lebanon kembali tidak stabil. Banyak pengamat Timur Tengah memperkirakan, jika konflik ini meluas, bukan tidak mungkin Lebanon kembali terjerumus dalam perang saudara. Siapakah milisi Fatah Al Islam? Tidak banyak informasi mengenai kelompok milisi ini.
Jaringan televisi Aljazirah mengatakan bahwa, Fatah Al Islam mengklaim diri sebagai kelompok perlawanan Palestina. Anggota milisi ini mendirikan basis mereka di Tripoli dan kamp-kamp Palestina di sekitar kota tersebut. Meskipun demikian, Aljazirah mengatakan bahwa anggota Fatah Al Islam bukanlah warga Palestina. Mereka adalah mantan anggota kelompok perlawanan di Irak yang berperang melawan pasukan Amerika Serikat dan pemerintah Irak, sejak George W Bush menginvasi Irak. Para anggota Fatah Al Islam terdiri dari warga Yordania, Arab Saudi, Suriah, dan dari negara-negara Arab lainnya. Namun tidak ada di antara mereka yang berasal dari Palestina. Identitas Shakir Al Abssi, pemimpin Fatah Al Islam juga masih misterius. Informasi yang ada hanya menyatakan bahwa Al Abssi menjadi buronan pemerintah Yordania atas kasus pembunuhan yang pernah dilakukannya.
Hal yang menarik adalah, meskipun Fatah Al Islam mengklaim sebagai kelompok pejuang Palestina, tidak ada fraksi Palestina di Lebanon yang mendukung kelompok ini. Bahkan pada 21 Mei, Hamas telah menawarkan diri untuk menjadi mediator antara Fatah Al Islam dan pemerintah Lebanon agar pertempuran dapat dihentikan. Namun usulan Hamas ini ditolak mentah-mentah oleh Al Abssi dengan alasan yang tidak jelas. Tetapi dengan adanya Fatah Al Islam di kamp-kamp Palestina di sekitar Tripoli, menunjukkan bahwa paling tidak ada elemen dari warga Palestina di Lebanon yang mendukung kelompok tersebut.
Kemisteriusan Fatah Al Islam ditambah dengan adanya pernyataan dari pemerintah Lebanon bahwa kelompok ini akan menyerang beberapa kota di Lebanon, menjadi alasan bagi tentara Lebanon untuk menumpas kelompok tersebut. Alasan lainnya masih simpang siur. Di satu pihak pemerintah Lebanon mengatakan bahwa Fatah Al Islam dibentuk oleh Suriah untuk membuat Lebanon tidak stabil. Sementara pemerintah Lebanon juga mengkaitkan Fatah Al Islam sebagai kelompok yang berafiliasi dengan Alqaidah. Tentu ini adalah dua hal yang berbeda. Pemerintah Suriah tidak mungkin bekerja sama dengan Alqaidah. Bahkan pada tahun 2006, beberapa ledakan bom yang terjadi di Damaskus dikaitkan dengan kelompk Alqaidah. Pemerintah Suriah selalu konsisten dalam menekan kelompok politik Islam di negara tersebut sejak pemerintahan Hafiz Al Assad.
Harus diakhiri
Siapapun sebenarnya milisi Fatah Al Islam itu, hal terpenting yang harus dilakukan adalah pertempuran ini harus dihentikan. Azzam Tammimi seorang pengamat Timur Tengah di Inggris memberikan usulan yang baik. Negosiasi harus dilakukan untuk menghentikan pertumpahan darah dan sebuah jalan keluar harus direncanakan sebelum negosiasi ini dilakukan. Tammimi menambahkan bahwa, jika perlu milisi Fatah Al Islam harus meletakkan semua senjata dan diperbolehkan meninggalkan Lebanon. Tentu hal ini tidak akan mudah. Pemerintah Libanon harus mencari negara mana yang bersedia menampung para anggota Fatah Al Islam.
Namun demikian negosiasi harus dilakukan untuk menghentikan pertempuran. Para tokoh Palestina di Lebanon dapat menjadi mediator antara pemerintah Lebanon dan Fatah Al Islam. Jika Fatah Al Islam memang benar-benar berjuang untuk Palestina, maka mau tidak mau kelompok ini harus menerima para tokoh Palestina sebagai mediator. Jika Fatah Al Islam menolak para tokoh Palestina seperti saat mereka menolak Hamas, klaim mereka sebagai kelompok perlawanan Palestina patut dipertanyakan.
Penghentian pertempuran harus segera dilakukan, mengingat Lebanon adalah negara yang tidak stabil. Adanya kamp-kamp Palestina di sekitar kota Tripoli bukanlah suatu kebetulan. Tripoli dikenal sebagai salah satu basis warga Sunni di Lebanon. Pada perang saudara di tahun 1958 dan 1975, kota ini menjadi medan pertempuran. Seperti halnya kota-kota lain di Lebanon, di Tripoli terdapat para tokoh masyarakat yang disebut dengan zuama’. Para zuama’ di Tripoli yang terkenal adalah keluarga Muqqadam dan keluarga Karami. Seperti warga Sunni di Lebanon pada umumnya, kedua keluarga ini dikenal sebagai pendukung perjuangan Palestina. Oleh sebab itu banyak kamp Palestina yang berada di kota-kota warga Sunni, termasuk Tripoli.
Seperti yang telah diberitakan di media massa, pertempuran antara Fatah Al Islam dengan tentara Lebanon telah memakan korban warga Palestina yang berada di kamp-kamp pengungsian. Jika ada pihak-pihak yang berhasil mengeksploitasi korban jiwa warga Palestina, maka tidak mungkin perang saudara akan timbul kembali. Para zuama’ di Tripoli sendiri dikenal sebagai pihak oposisi yang tangguh. Meskipun Perdana Menteri Fuad Siniora adalah warga Sunni dan para zuama’ Tripoli adalah partner koalisi partai Siniora di parlemen, perpecahan sangat mungkin terjadi. Apalagi para zuama’ dikenal mempunyai ambisi pribadi. Bukanlah suatu hal yang mustahil apabila keluarga Muqqadam dan Karami dapat berbalik menjadi lawan pemerintah jika eskalasi pertempuran semakin meningkat.
Skenario ini sedapat mungkin harus dihindari, sebab jika melihat sejarah perang saudara di Lebanon, kedua keluarga ini terbukti mempunyai pengaruh kuat di kota Tripoli. Karena itu, keberadaan kedua keluarga ini harus sangat diperhitungkan oleh semua pihak yang menghendaki perdamaian terus terbina di Lebanon.
No comments:
Post a Comment