Saturday, June 2, 2007

Kesehatan
Harga Obat Mahal karena Diserahkan kepada Pasar

Jakarta, Kompas - Obat di Indonesia mahal karena pemerintah menyerahkan penentuan harga kepada pasar. Pemerintah hanya mengendalikan harga obat generik, bukan harga obat pada kelompok market leader, yaitu perusahaan multinasional yang menemukan obat.

Hal itu dikemukakan pemerhati kesehatan Kartono Mohamad yang juga mantan Ketua Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (1985-1988 dan 1991-1994) dalam dialog kajian strategis Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia, "Menyoal Kelangkaan dan Mahalnya Harga Obat", Rabu (30/5), di Jakarta.

Menurut Kartono, di Indonesia tidak ada kelangkaan obat. Ada sekitar 5.000 jenis dan merek obat untuk semua jenis penyakit yang diproduksi lebih dari 50 produsen. "Namun, tidak semua masyarakat mampu menjangkau harga obat," ujar Kartono.

Kebijakan pemerintah dinilai tidak mendorong tumbuhnya industri hulu, misalnya terkait bahan baku obat. Kartono memaparkan, semua bahan—dari zat aktif, bahan pembantu, sampai kemasan—masih diimpor. Karena itu, semua harga dipengaruhi nilai dollar. Jika kurs dollar AS naik, harga obat ikut naik.

Harga obat original bergantung pada perusahaan multinasional yang membiayai penelitiannya. Harga obat inilah yang menjadi market leader. Obat-obat tiruan dari perusahaan nasional cenderung mengikuti harga market leader karena menguntungkan. Produsen khawatir dianggap tidak bermutu jika memasang harga murah. Selain itu, ada biaya promosi obat etikal kepada dokter, yang pada akhirnya dibebankan kepada konsumen.

Pangsa pasar Indonesia, meski secara nominal besar, sebenarnya relatif kecil karena diperebutkan lebih dari 5.000 jenis dan merek obat. Selain itu, biaya distribusi ke seluruh Indonesia mahal karena faktor geografis. Di sisi lain, daya beli rakyat Indonesia rendah. Konsumsi obat per kapita per tahun terendah di ASEAN.

Menurut Direktur Pemasaran PT Kimia Farma, Sofiarman Tarmizi, konsumsi obat hanya 11,3 dollar AS per kapita dengan asumsi penduduk Indonesia 220 juta. Terkait harga obat, demikian Sofiarman, harga obat generik berlogo (OGB) alias tidak bermerek sebenarnya sangat murah, yaitu sekitar 5-30 persen dari harga obat original (paten). Adapun harga obat tiruan atau generik bermerek bisa 50-100 persen harga obat original.

"Karena murah, OGB sering diragukan mutunya. Padahal, produksinya mengikuti standar atau cara produksi obat yang baik," kata Sofiarman.

Terjadinya kelangkaan OGB beberapa waktu lalu, menurut Sofiarman, karena harga jual yang ditetapkan pemerintah terlalu rendah sehingga tidak menutup biaya produksi. Apalagi telah terjadi kenaikan harga bahan baku. Misalnya, bahan baku amoksisilin yang pada April 2006 senilai 26 dollar AS per kg, kini mencapai 62 dollar AS per kg.

Untuk menetapkan harga obat yang realistis, lanjut Sofiarman, perlu dilakukan survei on the spot di pasar negara lain dan pembatasan harga obat generik bermerek maksimal 60 persen dari harga obat original. Untuk memperbesar pasar OGB, perlu ditetapkan harga yang menarik serta insentif untuk semua pelaku (industri, distributor, apotek, rumah sakit, atau dokter).

Pembicara lain adalah Haryanto Dhanutirto, Ketua Umum Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia yang juga guru besar farmasi Institut Teknologi Bandung, serta Hakim Sorimuda Pohan dari Komisi IX DPR. (atk)

No comments: