Friday, June 22, 2007

Hak Asasi Manusia
Setelah Utusan Khusus Sekjen PBB Itu Pergi...

M Hernowo

Tanggal 13 Juni 2007, Utusan Khusus Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pembela Hak Asasi Manusia Hina Jilani mengakhiri kunjungan resminya di Indonesia. Meskipun hanya delapan hari, kehadirannya memunculkan banyak harapan bagi penegakan HAM, terutama di kalangan pembela HAM. Tetapi, seberapa tinggi harapan itu seharusnya digantungkan?

Hina yang berada di Indonesia sejak 5 Juni 2007 merupakan pelapor khusus PBB kedua yang datang di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Sebelumnya, pada 12-21 Desember 2006 datang pelapor khusus untuk Hak-hak Buruh Migran, Jorge Bustamante. Setelah Hina, pelapor khusus PBB mengenai penyiksaan, Manfred Nowak, rencananya juga datang ke Indonesia pada November tahun ini.

Direktur HAM dan Kemanusiaan Departemen Luar Negeri Wiwiek Setyawati Firman menuturkan, kedatangan pelapor khusus itu adalah bagian dari komitmen Indonesia sebagai anggota Dewan HAM PBB, khususnya dalam hal kesediaan untuk bekerja sama dan menaati berbagai prosedur di Dewan HAM PBB.

Pelaksanaan komitmen ini diperlukan untuk menjaga citra dan kredibilitas Indonesia di mata internasional. Apalagi, dari 192 negara anggota PBB, ada 182 negara yang Mei lalu kembali memilih Indonesia duduk di Dewan HAM PBB. Prestasi ini jauh di atas negara lain, seperti Italia yang dipilih 101 negara atau Belanda (dipilih 121 negara), serta hanya kalah dari India yang dipilih 185 negara.

Selama di Indonesia, Hina mengunjungi Jakarta, Papua, dan Nanggroe Aceh Darussalam. Dia juga menemui sejumlah pejabat, seperti Wakil Presiden M Jusuf Kalla, Jaksa Agung Hendarman Supandji, hingga beberapa pembela HAM. Ia juga mengadakan pertemuan tertutup dengan anggota Komite Solidaritas untuk Kasus Munir guna mendapatkan informasi tentang pengungkapan pembunuhan aktivis HAM itu.

Berbagai kunjungan dan pertemuan itu dilakukan Hina untuk melaksanakan mandatnya, yaitu mencari informasi tentang penegakan HAM, khususnya kondisi pembela HAM di Indonesia, membuat kesimpulan, dan menyusun rekomendasi.

Hina akan melaporkan hasil kunjungannya ini di Sidang Dewan HAM PBB. Tetapi, jika mendengar keterangannya di kantor perwakilan PBB di Jakarta, 12 Juni lalu, dapat dibayangkan apa isi laporannya.

Kepada wartawan, saat itu Hina menyatakan, ada perbaikan dalam promosi HAM di Indonesia. Ini terlihat dari banyaknya peraturan atau lembaga baru yang dibuat, misalnya Pengadilan HAM Ad Hoc, Komisi Nasional (Komnas) Perempuan, dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Namun, dia juga menemukan berbagai hambatan yang membuat berbagai peraturan dan organisasi itu belum berfungsi maksimal. Ia juga melihat rendahnya komitmen pemerintah untuk menghapuskan impunitas terhadap berbagai kasus pelanggaran HAM di masa lalu.

Terkait pembunuhan Munir, Hina menyatakan, selama kasus itu belum terungkap, pembela HAM di Indonesia tak akan pernah merasa aman. Kasus itu juga menjadi perhatian masyarakat internasional sehingga ia menyarankan Pemerintah Indonesia dapat memastikan hukum diberlakukan sebagaimana mestinya dalam kasus ini.

Kedatangan Hina, berikut dengan gambaran rekomendasi yang akan dia sampaikan, membawa banyak harapan baru bagi pembela HAM dan korban pelanggaran HAM. Suciwati, istri almarhum Munir, misalnya, berharap kunjungan Hina itu akan membuat pemerintah lebih serius menangani kasus pembunuhan suaminya.

Mantan Sekretaris Komnas HAM Asmara Nababan menuturkan, sejarah memperlihatkan, tekanan masyarakat internasional terbukti cukup efektif untuk menyelesaikan berbagai pelanggaran HAM di Tanah Air. Ini terlihat, misalnya, dalam kasus 12 November 1992 di Santa Cruz, Dili, Timor Timur. Untuk menghadapi kuatnya tekanan internasional dalam kejadian itu, saat itu pemerintah Orde Baru sampai membentuk tim penyelidik khusus.

"Peristiwa 1992 di Dili memang agak berbeda dengan kasus lain, seperti pembunuhan Munir. Namun, pemerintahan setidaknya akan malu jika sampai mengabaikan rekomendasi Hina. Sebab, sebagai anggota Dewan HAM PBB, pelaksanaan HAM di Indonesia akan disorot banyak negara dan lembaga internasional," tambah Asmara.

Bahkan, saking semangatnya, seorang korban pelanggaran HAM sempat berujar, citra Indonesia di dunia internasional akan terganggu jika rekomendasi Hina tidak ditanggapi.

Namun, Wiwiek menegaskan, laporan dan terutama rekomendasi Hina tidak punya kekuatan mengikat terhadap pemerintah. Hal serupa juga disampaikan Hina. "Indonesia adalah negara merdeka dan berdaulat penuh sehingga tergantung dari komitmen kita untuk melaksanakan atau tidak berbagai rekomendasi Hina," kata Wiwiek lagi.

Di samping Hina, dalam Sidang Dewan HAM PBB juga ada 40 pelapor khusus lain yang menyampaikan laporannya. Laporan Hina tidak hanya tentang Indonesia, tetapi juga tentang negara lain yang dikunjungi, seperti Thailand.

Amiruddin Al Rahab, Staf Khusus Bidang Politik dan HAM Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), menambahkan, saat ini dunia juga sedang disibukkan dengan pelanggaran HAM yang terjadi di Irak, Afganistan, dan Darfur (Sudan). Dewan HAM PBB yang dilahirkan melalui Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 60/251, tanggal 15 Maret 2006, juga masih dalam tahap pembangunan institusi.

Dalam konteks seperti ini, menurut Wiwiek, kehadiran Hina lebih bermanfaat jika dilihat dalam konteks nasional, yaitu sebagai kanalisasi berbagai masalah dan untuk pendorong dialog antara pemerintah dan aktivis HAM.

"Kehadiran Hina diharapkan dapat semakin meyakinkan pembela HAM di Indonesia untuk melihat pemerintah sebagai mitra dialog. Sebab, dengan mengundangnya, pemerintah berarti sudah punya itikad baik untuk memenuhi keinginan mereka akan kedatangan pelapor PBB," papar Wiwiek.

Kedatangan Hina juga dimaksudkan untuk memberi masukan, khususnya dalam hal perlindungan terhadap pembela HAM.

Harapan akan manfaat kehadiran Hina untuk saat ini agaknya memang harus ditempatkan secara wajar. Sebab, seperti dikatakan Hina, masyarakat internasional sampai sekarang masih cenderung mementingkan masalah politik dan ekonomi daripada persoalan HAM. Komitmen penegakan HAM di Indonesia juga masih belum memuaskan. Buktinya, Ketua Komnas HAM Perwakilan Papua Albert Rumbekwan justru diteror setelah bertemu Hina.

No comments: