Palestina
Perpecahan Itu Memilukan Hati
Budi Suwarna / kompas
Palestina akhirnya terpecah dua menyusul perang saudara antara Hamas dan Fatah pekan lalu. Hamas menguasai Gaza dan Fatah menguasai Tepi Barat. Sejumlah pihak di Indonesia yang selama ini mendorong Palestina untuk ber- satu dan merdeka hanya bisa prihatin sambil mengurut dada.
Saya sedih sekali menyaksikan peristiwa ini. Perpecahan ini tidak seharusnya terjadi," ujar Suryama M Sastra, Ketua Dewan Pimpinan Pusat Bidang Humas Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Jumat (22/6) malam.
Maklum jika Suryama sedih. Pasalnya, PKS selama ini cukup semangat menggalang dukungan dana untuk bangsa Palestina. Salah satunya dengan menggelar kampanye "One Man, One Dollar". Ini adalah program penggalangan dana di Indonesia untuk membantu rakyat Palestina. Namun, target utama program ini sebenarnya untuk menyadarkan rakyat Indonesia atas nasib bangsa Palestina.
Selama tahun 2006, PKS berhasil mengumpulkan dana sekitar Rp 1 miliar. Dana ini diserahkan sebagian melalui Mahmoud Zahar, ketika itu Menteri Luar Negeri Palestina, yang sedang berkunjung ke Indonesia. Pihaknya, lanjut Suryama, juga sempat berusaha menyalurkan dana bantuan langsung ke Gaza. Namun, mereka tertahan di perbatasan Mesir, Jordania, dan Lebanon. "Akhirnya, dana itu kami berikan kepada lembaga yang mengurusi bantuan untuk pengungsi Palestina," ujarnya.
Ferry Nur, Sekjen Komite Indonesia untuk Solidaritas Palestina (KISPA), juga merasa sedih dengan perpecahan yang terjadi di Palestina. KISPA adalah lembaga yang bergerak dalam penghimpunan dana untuk Palestina dan perlindungan kemurnian Masjid Al-Aqsa. Dana yang mereka himpun disalurkan melalui Al Qud Institution di Lebanon.
"Perpecahan ini seharusnya tidak terjadi. Perpecahan telah memakan banyak korban sesama bangsa Palestina, membuat infrastruktur, tempat ibadah, dan fasilitas pendidikan hancur," ujarnya.
Pernyataan senada disampaikan Smith Alhadar, pengamat dan penulis masalah Timur Tengah. Dia mengaku sedih ketika mendengar Palestina pecah menjadi dua. "Ini sebuah tragedi. Perjuangan yang telah berlangsung setengah abad berakhir dengan perpecahan di dalam. Saya kira perjuangan bangsa Palestina untuk bersatu dan merdeka menjadi semakin berat," ujarnya.
Perpecahan terbaru ini seakan menghapus semua upaya panjang yang dilakukan komunitas internasional untuk menyatukan Palestina. Tiga bulan lalu, banyak pihak tersenyum ketika Hamas dan Fatah membentuk pemerintahan persatuan di kota suci Mekkah.
Kesepakatan ini tercapai setelah melalui perundingan melelahkan dan melibatkan sejumlah negara Arab. Apa daya, pemerintahan itu sekarang tidak utuh lagi setelah Fatah membentuk pemerintahan darurat di Tepi Barat.
Pemerintah dan ulama Indonesia juga beberapa kali berupaya memediasi Hamas dan Fatah. Lewat lobi-lobi panjang, Hamas telah menyatakan bersedia datang ke Jakarta, begitu pula Fatah. Namun, upaya ini menjadi tidak jelas pascaperpecahan terbaru Palestina.
Banyak pemain
Bagaimana orang Indonesia melihat perpecahan di Palestina? Ferry Nur melihat, perpecahan di Palestina tidak berdiri sendiri. "Itu bagian dari skenario Zionis Israel yang selalu berupaya mengadu domba Hamas dan Fatah," katanya.
Smith Alhadar memberi analisis yang lebih luas. Menurut dia, perpecahan di Palestina disebabkan oleh konflik internal dan pengaruh luar. Kemenangan Hamas yang mengejutkan dalam pemilu parlemen tahun lalu memaksa Fatah melepaskan dominasi politiknya di Palestina yang telah berlangsung bertahun-tahun. "Ini memukul para elite Fatah," katanya.
Penyebab lainnya, lanjut Smith, terkait masalah ideologi Hamas. Fatah menganggap Hamas tidak realistis dengan ideologi Islamnya yang membuatnya tidak bersedia mengakui Israel dan perjanjian PLO-Israel sebelumnya.
Irman G Lanti, pengamat politik dari The Indonesian Institute, berpendapat perpecahan di Palestina tidak terlepas dari peran dunia internasional. Namun, dia tidak sepakat jika perpecahan ini semata dinilai sebagai rekayasa dunia internasional.
"Saya melihat ada hal-hal struktural yang menyebabkan perpecahan. Hamas melihat dirinya sebagai pemerintahan yang sah, sedangkan Fatah berpikir jika Hamas bersikap keras terus terhadap Barat, Palestina tidak akan bisa bergerak ke mana-mana," ujarnya.
Berbeda dengan tiga sumber di atas, Suryama melihat, sebenarnya tidak ada perpecahan di Palestina. "Yang terjadi adalah ada upaya memecah belah Palestina dari luar," katanya.
Suryama menambahkan, upaya terakhir yang dilakukan kekuatan luar ini adalah dengan memanfaatkan kubu Muhammad Dahlan, tokoh kuat Fatah di Jalur Gaza.
"Pasukan Dahlan dibiarkan menyiksa, membunuh, warga sipil di Gaza. Tindakan itu dihentikan oleh Hamas dengan serangan ke Gaza. Jadi, ini adalah upaya pembersihan batu kerikil di Palestina," tambahnya.
Hamas korban
Dua hari setelah Hamas menguasai Jalur Gaza, 15 Juni 2007, Presiden Mahmoud Abbas dari Fatah mengumumkan pemerintahan darurat di Tepi Barat. Untuk memperkuat posisinya, Abbas meminta dukungan Barat.
Hari itu juga Amerika Serikat, Israel, dan negara-negara Barat menyatakan dukungan kepada Abbas. Kemudian, mereka mencabut embargo ekonomi dan menyatakan Abbas sebagai pemerintahan yang sah.
Suryama melihat langkah yang diambil Abbas merupakan sebuah kesalahan besar. Dengan manuver itu, orang Palestina justru akan melihat Abbas sebagai mitra sejati AS dan Israel. "Ini mengisolasi Abbas dari bangsanya sendiri dan dunia Arab," katanya.
Sebaliknya, orang Palestina akan melihat Hamas sebagai korban yang disingkirkan oleh sebuah konspirasi. "Orang akan berpikir, bagaimana mungkin pemenang pemilu yang sah bisa disingkirkan begitu saja," tambah Suryama.
Ferry Nur mengatakan hal senada. Hamas yang kini diisolasi oleh Israel dan AS merupakan korban dari kemunafikan dan standar ganda AS dan sekutunya. "Kalau mau jujur, seharusnya AS menghormati Hamas yang memenangi pemilu Palestina yang dilakukan secara demokratis," ujarnya.
Smith menilai, Hamas adalah korban dari situasi tidak kondusif di tingkat regional dan internasional yang dikondisikan Israel. Israel, lanjut Smith, bagaimanapun akan mendukung Abbas yang lebih lunak dibandingkan dengan Hamas. "Jika bernegosiasi dengan Abbas, Israel akan mendapat konsesi jauh lebih banyak daripada dengan Hamas. Itu sebabnya, Hamas disingkirkan," katanya.
Irman punya pandangan lain. Menurut dia, tidak bisa begitu saja mengatakan Hamas di posisi yang benar dan Barat salah. "Memang di sini ada standar ganda yang diberlakukan Barat. Hamas memang korban, tapi pada saat yang sama Hamas juga berperan dalam perpecahan di Palestina. Seharusnya Hamas tidak bersikap kaku seperti sekarang. Hamas seharusnya lebih bisa bermain cantik," katanya.
Seruan
Apa pun yang terjadi di Palestina sekarang, keempat sumber tetap ingin melihat perpecahan di negara itu segera diatasi. Untuk itu, mereka ingin Pemerintah Indonesia ikut memainkan peranan aktif dalam mendamaikan semua pihak yang bertikai.
Irman berpendapat, pascaperpecahan di Palestina, Pemerintah Indonesia justru harus lebih mempertajam inisiatifnya untuk mendorong perdamaian di Palestina. Namun, pendekatan yang diambil harus diubah.
"Selama ini Indonesia hanya berupaya mendamaikan Hamas dan Fatah. Ke depan Indonesia harus berupaya membujuk negara-negara AS dan Barat agar benar-benar mengupayakan perdamaian sejati di Palestina," katanya.
Smith menambahkan, Pemerintah Indonesia tahun lalu mengungkapkan keinginannya menjadi mediator dan fasilitator perdamaian antara Hamas dan Palestina. "Saya melihat, saat itu, ide tersebut tidak relevan sebab pengaruh Indonesia kecil dibandingkan negara-negara Arab. Terbukti tiga bulan lalu, inisiatif serupa dilakukan Arab Saudi. Arab berhasil membuat konferensi yang memaksa Hamas dan Fatah membentuk pemerintahan persatuan," ujarnya.
"Tapi dengan situasi seperti sekarang, ide Indonesia justru jadi relevan. Karena itu, ide ini harus terus dijalankan. Indonesia juga cukup dihormati Fatah dan Hamas. Sebaliknya, negara-negara Arab, bagaimanapun, dipandang lebih berpihak kepada Fatah," tambah Smith.
Dia menambahkan, Indonesia memiliki pengalaman menangani konflik antara kaum nasional dan Islam. Sekarang ini, Indonesia juga dipimpin oleh pemerintahan nasionalis yang didukung partai Islam. "Ini bisa jadi model bagi Palestina. Mereka bisa melihat bahwa kerja sama antara komponen bangsa itu penting dan tanpa harus menonjolkan ideologi masing-masing," ujar Smith.
Suryama dan Ferry Nur menyerukan hal yang sama. "Pemerintah Indonesia harus memanfaatkan posisinya sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan dan Dewan HAM PBB untuk memperjuangkan nasib rakyat Palestina," ujar Suryama.
Ya, inilah sekelumit harapan rakyat Indonesia yang ingin melihat bangsa Palestina merdeka. Sebuah harapan dari bangsa yang dulu juga pernah menjadi korban penjajahan.
No comments:
Post a Comment