Wednesday, June 13, 2007

Israel, Suriah, dan Dataran Tinggi Golan

Trias Kuncahyono

Harian The Jerusalem Post edisi Jumat, 8 Juni 2007, memberitakan Perdana Menteri Israel Ehud Olmert memberikan isyarat akan menyerahkan kembali Dataran Tinggi Golan kepada Suriah. Tindakan itu dilakukan demi terciptanya perdamaian di antara kedua negara.

Koran Yediot juga memberitakan bahwa Olmert sudah menitipkan pesan kepada diplomat Jerman dan Turki agar disampaikan kepada Presiden Suriah Basar Assad. Dalam pesan itu, Olmert mengatakan bahwa Israel berkeinginan untuk mengadakan perundingan damai secara langsung dan akan menyerahkan Dataran Tinggi Golan.

Berita tersebut telah menimbulkan berbagai reaksi di Israel. Mereka yang menentang rencana Olmert itu mengatakan bahwa tindakan Perdana Menteri akan membahayakan keamanan Israel.

Sebuah jajak pendapat yang dilakukan oleh Ma’ariv-TNS menunjukkan, hanya 10 persen warga Israel yang mendukung penarikan tentara Israel dari Dataran Tinggi Golan, 40 persen menginginkan penarikan per bagian, dan 44 persen menentang penarikan tersebut.

Apakah benar Israel akan mengembalikan Dataran Tinggi Golan yang direbut pada perang 1967 itu? Bukankah, dataran tinggi itu sangat berarti dan bernilai strategis bagi Israel (juga bagi Suriah)?

Dataran Tinggi Golan

Dataran Tinggi Golan atau dalam bahasa Hibrani disebut Ramat Ha-Golan atau Ha-Golan atau dalam bahasa Arab disebut Jawlan adalah sebuah dataran tinggi di Suriah barat-daya yang memiliki nilai strategis. Dari Gunung Hermon (puncak tertinggi di dataran itu dengan ketinggian 2.224 meter dari permukaan laut) misalnya, Israel kini dengan mata telanjang dapat memantau 30 kilometer sampai 70 kilometer kawasan Suriah.

Sebaliknya, dari Golan sebuah dataran tinggi yang luasnya 1.158 kilometer persegi itu juga, sepanjang 50 kilometer wilayah Israel juga bisa dipantau dengan mudah. Bila Suriah menembakkan rudal, akan dengan mudah menghajar kota-kota di Israel. Apalagi, kalau mereka menguasai Dataran Tinggi Golan.

Dengan kondisi seperti sekarang ini, Pasukan Pertahanan Israel (Israel Defense Forces/IDF) dalam kondisi imbang secara taktik dan strategis dengan tentara Suriah. Di sebelah selatan, Sungai Yarmuk dan Roqad menjadi rintangan alamiah dan tak dapat dilewati oleh kendaraan perang lapis baja, dan benar-benar sulit dilewati pasukan infanteri.

Di sektor timur terbentang garis pertahanan yang terbentuk oleh rangkaian bukit yang memanjang mulai dari Tel Saki dekat Ramat Magshimim hingga Gunung Hermon di utara. Posisi IDF di bukit ini—Tel Fars, punggung bukit Bashanit, Gunung Shipon, Gunung Avital Bental dan Hermonit, Gunung Odem dan Gungung Hermon—membuat mereka mudah mendeteksi setiap usaha militer Suriah dan dapat menanggapi gerakan militer Suriah itu dengan cepat dan mudah.

Tanpa Dataran Tinggi Golan itu, seluruh wilayah utara (Israel utara) akan dengan mudah diserang oleh Suriah. Bila demikian, posisi militer Israel akan benar-benar sangat inferior menghadapi serangan negara tetangga.

Hal itu pernah terjadi pada saat perang 1948. Ketika itu Suriah menggempur seluruh daerah Galilea (Degania, Mishmar Hayarden, Hulata, dan Kfar Szold), dan diulang kembali oleh Suriah pada Perang Enam Hari 1967.

Pada perang Juni 1967, pasukan Israel berhasil menguasai 1.250 kilometer persegi luas wilayah Dataran Tinggi Golan. Suriah berusaha merebut kembali pada tahun 1973, tetapi gagal. Perang diakhiri dengan kesepakatan gencatan senjata tahun 1974, pasukan Suriah berhasil menguasai kembali dari tangan Israel sekitar 100 kilometer persegi.

Akan tetapi, tempat-tempat strategis semacam puncak Sheik dan Abu En Nada masih tetap di tangan pasukan Israel. Tetap bercokolnya pasukan Israel di atas dua puncak tersebut, tidak hanya bisa mengontrol sebagian besar wilayah Suriah dan Lebanon selatan, tetapi posisi pasukan Israel kini praktis hanya berjarak 60 kilometer dari kota Damascus.

Kedudukan strategis itu membuat Israel ataupun Suriah berunding dengan sangat teliti. Sebuah penyelesaian model perundingan perdamaian Mesir-Israel tahun 1979 memang telah coba diterapkan. Bagi Israel ataupun Suriah, perdamaian tampaknya masih diyakini sebagai pengelolaan dan pengendalian persiapan perang, si vis pacem, para bellum (jika ingin damai, bersiaplah perang).

Saling percaya

Perundingan antara Israe-Suriah, sebenarnya, sudah berulang kali dilakukan. Harian Haaretz memberitakan, kedua belah pihak telah melakukan serangkaian perundingan rahasia di Eropa antara September 2004 dan Juli 2006. Hasil perundingan itu, yang tidak dituangkan dalam dokumen di atas kertas, menyinggung soal keberadaan Hezbollah di Lebanon serta Kepala Biro Hamas di Damascus, Khaled Meshal.

Ada yang berkeyakinan bahwa tercapainya perdamaian dengan Suriah akan memutuskan hubungan Damascus dengan Teheran, antara penguasa Damascus dan Hezbollah di Lebanon Selatan, dan antara Damascus dan Hamas. Bila itu terjadi, akan sangat menguntungkan Israel.

Kondisi tersebut baru akan tercipta bila Israel menarik diri dari Dataran Tinggi Golan ke garis saat 4 Juni 1967. Artinya, Israel harus keluar dari Golan dan menyerahkan kembali ke Suriah.

Kiranya hal itu sulit tercapai. Israel selalu berhitung, siapa pun yang menguasai Dataran Tinggi Golan berarti menguasai sepertiga sumber air Israel. Sumber air Israel diambil dari Danau Galilea yang memperoleh pasokan dari Sungai Yordan yang berhulu di sekitar Gunung Hermon, Suriah.

Dari sini persoalannya bertambah rumit. Kendala perundingan bilateral Suriah-Israel itu hanya satu, yaitu bahwa tingkat saling percaya antarkedua negeri itu belum setaraf dengan tingkat kepercayaan antara Israel dan Mesir yang membuahkan kembalinya Semenanjung Sinai ke Mesir.

Belum selesainya masalah Dataran Tinggi Golan akan terus memberikan sumbangan bagi bertahannya ketegangan di kawasan Timur Tengah. Dataran Tinggi Golan adalah salah satu masalah kunci penyelesaian masalah di kawasan itu, selain masalah Jerusalem, permukikam Yahudi, dan wilayah Tepi Barat.

No comments: