Monday, June 25, 2007

WTO Hadapi Jalan Buntu
Tajuk Kompas 25/06/07

Pertemuan Organisasi Perdagangan Dunia atau WTO kembali menemui jalan buntu. Perbedaan kepentingan negara maju dan berkembang sulit dipertemukan.

Perdagangan bebas yang diharapkan bisa memperlancar arus barang dan meningkatkan efisiensi agar bisa menguntungkan konsumen hanya baik di atas kertas. Pada akhirnya ketika berbenturan dengan kepentingan nasional, setiap negara mendahulukan kepentingannya.

Itu berlaku umum, baik untuk negara maju maupun negara berkembang. Dalam pertemuan di Postdam kita bisa melihat bagaimana Amerika Serikat dan Uni Eropa bersikukuh untuk mempertahankan subsidi pertanian kepada para petani mereka. China dan India yang mewakili kepentingan negara berkembang menolak mengurangi bea masuk untuk produk manufaktur sepanjang negara-negara maju tidak mau membuka akses bagi masuknya produk pertanian mereka.

Karena itu, sering kita mendengar, yang lebih penting ditata dalam perdagangan dunia bukan liberalisasi perdagangan, tetapi perdagangan yang lebih adil.

Pertarungan kepentingan di panggung dunia ini pantas menjadi perhatian kita di Indonesia. Terutama kita yang sering kali naif, seakan-akan liberalisasi perdagangan yang diperjuangkan sejak Putaran Uruguay merupakan sesuatu yang ideal dan mudah diaplikasikan.

Akibatnya, kita sering melangkah lebih maju dengan membuka pasar kita bagi produk negara lain, termasuk yang paling esensial bagi kehidupan sebuah bangsa, yakni produk pangan dan pertanian. Tidak usah heran bila kita hanya menjadi pasar bagi produk bangsa-bangsa lain.

Memang sering kali yang dimajukan adalah kepentingan konsumen. Dengan pasar yang lebih terbuka, konsumen bisa mendapatkan produk berkualitas dengan harga yang lebih murah. Namun, kita lupa, ketika itu tidak berangkat dari sebuah sistem perdagangan yang adil, kita harus membayar mahal dengan terpuruknya produk dalam negeri dan akibat lanjutannya adalah meningkatnya penganggur.

Sekarang kita sedang menghadapi kenyataan itu. Para petani kita tidak berdaya menghadapi serbuan produk dari luar, yang terbukti bukan datang karena efisiensi yang lebih baik, tetapi karena subsidi gila-gilaan yang diberikan negara-negara maju kepada petani mereka.

Tersendatnya pembahasan sistem perdagangan bebas dunia merupakan kesempatan bagi kita menata kembali kehidupan di dalam negeri. Saatnya bagi kita mengetahui siapa sebenarnya kita ini dan apa yang menjadi kekuatan utama dari bangsa ini. Hanya dengan itulah kita akan bisa menyelesaikan persoalan kemiskinan dan pengangguran yang mengimpit kehidupan kita semua.

No comments: