Tuesday, June 19, 2007

Jalan Buntu Konsolidasi Palestina?

  • Oleh T Yulianto

PERTIKAIAN bersenjata antara kelompok Hamas dan sayap militer Fatah, semakin menambah suram masa depan pembebasan Palestina dari zionisme Israel. Konflik "bersaudara" yang berakhir dengan terbaginya teritori de facto Palestina menjadi 2 kubu, yakni Jalur Gaza dikuasai Hamas dan Tepi Barat didominasi Fatah akan memunculkan dendam politik berkepanjangan. Dendam politik sering bermuara kepada kekerasan yang menimbulkan korban sipil tak berdaya.

Konflik dua faksi politik di Palestina antara Hamas yang berhaluan Ichwanul Muslimin dan Fatah yang nasionalis-sekuler, menguntungkan posisi Israel sebagai rezim kolonialis yang telah menduduki tanah Palestina puluhan tahun. Memudahkan Israel menjalankan politik devide et impera , selain terus melakukan politik-ekonomi Isolasi terhadap bangsa palestina.

Konflik Hamas dan Fatah sebenarnya disebabkan oleh tiga faktor mendasar, dipicu dari kekalahan Fatah dalam Pemilu 2002. Pertama, keengganan Fatah mendukung Hamas yang memenangkan pemilu secara demokratis. Fatah melakukan politik di bawah tanah, menggalang dukungan dari negara Barat untuk mengembargo bantuan finansial dari negara Barat.

Fatah sering memprovokasi PNS dan staf birokrasi termasuk pasukan keamanan Palestina yang terlambat menerima gaji untuk demonstrasi karena embargo bantuan finansial dari negara barat. Dua, perang urat syaraf yang berlangsung kontinyu memunculkan stereotipe dan sinisme politik antara dua kelompok.

Kelompok Fatah bagi Hamas, adalah eks pemegang kekuasaan politik Palestina yang penuh korupsi. Sedangkan Hamas bagi Fatah adalah kelompok militan yang memiliki ideologi ekspor dari luar Palestina yang dianggap sebagai saingan Fatah.

Ketiga, konflik Palestina secara objektif merupakan skenario pembusukan kemandirian politik Palestina yang dilakukan Israel untuk mempertahankan legitimasi politik di Palestina. Untuk menunjukkan bahwa Palestina tidak becus mengurus pemerintahan mereka, sehingga tidak pantas diberikan kemerdekaan penuh.

Dampak pertikaian politik antara Hamas dan Fatah, adalah tercabik-cabiknya rekonsolidasi Palestina dalam membangun legitimasi politik internasional untuk memperoleh kemerdekaan penuh Selain tentunya akan menguntungkan Israel dan AS, membangun strategi politik untuk membentuk pemerintahan "boneka" Palestina yang bisa didekte. Bagi rakyat Palestina konflik akan membuat mereka menderita.

Negara Mediator

Untuk menyelesaikan konflik Palestina memang tidak bisa diharapkan uluran tangan dari negara Arab Sunni yang condong membiarkan Palestina puluhan tahun dijajah oleh Zionis Israel. Justru peran negara mediator seperti Indonesia, Malaysia, dsb yang diperlukan untuk menjembatani perdamaian antara Hamas-Fatah.

Ditawarkan agenda yang bukan pemilu ulang, atau semacam membentuk pemerintahan koalisi (persatuan) yang bersifat semu; melainkan tentang "kontrak kerja" perdamaian dan kontrak pemulihan legitimasi pemerintahan Palestina. Materi awalnya adalah tentang "pembagian peran dan otoritas" politik yang dijalankan oleh Hamas dan Fatah dalam rentang waktu jangka pendek.

Pembagian peran dan otoritas tersebut mengedepankan keadilan bagi Hamas sebagai pemenang pemilu dan bagi Fatah sebagai incumbent yang kalah dalam pemilu Palestina. Taruhlan pembagian peran, Hamas mewakili suara politik palestina dalam relasi internasional didunia Islam. Fatah sebagai "juru bicara" Palestina dalam menghadapi intensi politik negara-negara barat.

Dalam proporsi kabinet pemerintahan Hamas diberikan wewenang untuk mendominasi kaveling politik khusus yang tidak terkait dengan problem ekonomi dan birokrasi. Sedangkan Fatah, memperoleh Kaveling politik untuk mengurus keruwetan ekonomi dan birokrasi tata pemerintahan yang selama ini minus anggaran karena embargo finansial dari negara barat.

Ada skenario politik yang merupakan kecelakaan sejarah, apabila proses mediasi Palestina menemui jalan buntu. Bahwa Hamas akan melakukan agresi politik ke tepi barat untuk menduduki wilayah Palestina yang diklaim faksi Fatah. Jika Hamas bisa mencaplok Tepi barat, maka integrasi politik akan terjadi di Palestina.Risiko politiknya adalah terjadinya instabilitas politik di Palestina karena Fatah akan terus melakukan perlawanan dari luar.

Sementara Israel tentu saja akan menyokong faksi politik yang "ramah" bagi syahwat politik mereka. Akibatnya konflik Palestina meluas menjadi konflik wilayah, yang tentu saja membuat "tersenyum puas" Israel dan AS. Satu harapan adalah segeralah duduk di meja perundingan bagi Hamas dan Fatah. Konfllik hanya memunculkan spiral kekerasan di waktu-waktu ke depan. (11)

--- T. Yulianto, direktur Eksekutif LSPMB,alumnus FISIP Undip

No comments: