Saturday, June 9, 2007


Eropa Beberkan Penjara CIA
Italia Adili 26 Agen Intelijen AS
karena Bertindak Sembarangan

Paris, Jumat - Para penyelidik dari Dewan Eropa atau Parlemen Uni Eropa, Jumat (8/6), mengeluarkan laporan berisikan bukti keberadaan penjara-penjara rahasia CIA di UE. Polandia dan Romania adalah dua negara yang paling bersekutu dengan AS soal penjara yang ilegal berdasarkan hukum internasional itu.
"Washington memberi tawaran menggiurkan jika Romania bekerja sama soal penjara rahasia, termasuk dukungan Washington bagi Romania untuk menjadi anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), yang disebut sebagai hadiah terbesar," demikian antara lain isi laporan tersebut.
Pada 2 April 2004, Romania menjadi anggota NATO, dengan ucapan khusus dari Presiden AS George W Bush yang menyambut masuknya Romania ke NATO.
Banyak negara di Uni Eropa (UE) yang membantu penyelenggaraan penjara rahasia Badan Pusat Intelijen Amerika Serikat (CIA). Laporan ini muncul pada saat Kelompok Delapan Negara (G-8) masih dalam rangka pertemuan puncak di Jerman, Jumat. Presiden AS George W Bush diberitakan sakit perut dan tidak bisa mengikuti sesi pertemuan pagi hari.
Pada hari yang sama, Italia menyidangkan 26 agen CIA di Milan. Tuduhannya, agen-agen intelijen AS itu melakukan perbuatan melawan hukum.
Bukti keberadaan penjara rahasia CIA itu dibeberkan Dick Marty dari Komite Urusan Hukum dan Hak Asasi Manusia Parlemen Eropa yang bermarkas di Strasbourg, Perancis. Marty, yang juga seorang Senator Swiss dari partai politik di Swiss bernama Aliansi Liberal dan Demokrat untuk Eropa (ALDE), kini juga bertugas di markas Parlemen UE.
Laporan itu adalah hasil penyelidikan saksama setelah isu penjara rahasia muncul pada tahun 2003. Disebutkan, ada bukti keberadaan penjara rahasia CIA di Polandia dan Romania. Di penjara yang ada di dua negara ini petugas AS menginterogasi tersangka teroris. "Penjara-penjara rahasia benar-benar eksis di Eropa periode 2003-2005," ujar Marty.
Ditambahkan, keberadaan penjara-penjara rahasia itu juga diketahui para pejabat pemerintahan setempat. Penjara rahasia tersebut juga dilengkapi dengan hak untuk "membunuh, menangkap, dan menahan para tersangka teroris."
Hal itu menimbulkan kemarahan UE. Juru bicara UE Friso Roscam meminta para anggota UE untuk mengatasi persoalan penjara rahasia itu.
Menurut laporan itu, Presiden Polandia saat itu Aleksander Kwasniewski, Kepala Biro Keamanan Nasional Marek Siwiec, Menteri Pertahanan Jerzy Szmajdzinski, dan Kepala Intelijen Militer Marek Dukaczewski tahu soal semua itu. Marty menyimpulkan semua para petinggi Polandia tersebut bertanggung jawab soal keberadaan penjara rahasia tersebut.
Kwasniewski dan Szmajdzinski membantah isi laporan itu.
Senator Romania Norica Nicolai juga membantah temuan tersebut.
Sebagian tidak kooperatif
Laporan itu mendapatkan informasi dari berbagai sumber, termasuk para tersangka teroris. "Sebagian pemerintahan di UE menghalangi penelitian dan terus berbuat demikian dengan alasan demi rahasia negara. Kritik harus diarahkan kepada Jerman dan Italia," kata Marty.
Di Polandia, ditemukan "situs hitam" di mana delapan tahanan paling berharga diinterogasi, termasuk Khalid Sheikh Mohammed, tersangka otak serangan 11 September 2001. Di sana juga pernah ditahan Abu Zubaydah, salah satu pelaksana operasional Al Qaeda.
Soal Romania, disebutkan bahwa negara ini malah membangun sebuah lokasi, yang kemudian menjadi tempat penampungan lanjutan untuk tahanan paling "berharga" (high-value detainees/HVD).
Laporan itu melanjutkan, "Penjara rahasia itu juga dipimpin langsung oleh CIA. Staf lokal tak mendapatkan akses terhadap tawanan, hanya berperan sebagai pendukung logistik."
Setara penghilangan orang
Dari Milan diberitakan, sebanyak 26 agen CIA diadili secara in absensia di Milan, Italia, Jumat (8/6). Mereka dituduh menjalankan kebijakan kontroversial Washington yang membolehkan penculikan dan penyiksaan terhadap tersangka terorisme di bumi Uni Eropa.
Pengadilan ini dibuka beberapa jam sebelum Presiden George W Bush tiba di Italia untuk sebuah kunjungan resmi. Bush dijadwalkan akan bertemu dengan Paus Benediktus XVI dan Perdana Menteri Italia Romano Prodi.
Sebagaimana diketahui, taktik perang terhadap terorisme, berupa penculikan dan penyiksaan atas tersangka teroris, dijalankan Pemerintah AS pascaserangan 11 September 2001.
Pada September 2006, Presiden Bush mengakui bahwa CIA mengoperasikan penjara-penjara rahasia di berbagai negara. Namun, dia membela program tersebut. Menurut dia, melalui interogasi terhadap para tersangka terorisme yang ditahan di penjara rahasia CIA, AS memperoleh informasi intelijen untuk menangkal serangan teroris.
Penyelidik Perserikatan Bangsa-Bangsa yang menangani penyiksaan, Manfred Nowak, ketika itu, mengatakan, penggunaan penjara rahasia melanggar aturan antipenyiksaan di bawah hukum internasional. Penahanan seseorang di penjara rahasia, menurut Nowak, sama dengan menghilangkan seseorang.
Pertama kali
Pengadilan kriminal terhadap pelaksana program kontroversial Washington ini merupakan yang pertama kali dilakukan. Pengadilan juga menyeret tujuh warga Italia yang diduga ikut membantu operasi para agen CIA itu. Salah satunya adalah mantan Kepala Intelijen Militer Italia (SISMI) Jenderal Nicolo Pollari. Akibat kasus itu, Pollari terlempar dari jabatannya.
Dalam dakwaannya, penuntut umum mengatakan, para agen telah menculik seorang warga Mesir, Hassan Mustafa Osama Nahr atau dikenal sebagai Abu Omar, ketika ia berada di Milan pada 17 Februari 2003.
Abu Omar kemudian dibawa ke pangkalan militer AS di Aviano, Italia. Selanjutnya, ia diterbangkan secara rahasia ke sebuah penjara di luar kota Cairo, Mesir, melalui Jerman. Selama empat tahun mendekam di penjara tersebut, Abu Omar mengaku disetrum, dipukuli, dan dilecehkan.
Abu Omar mengatakan, ia dituduh merekrut pejuang untuk kelompok-kelompok garis keras. Namun, ia tidak pernah dituntut secara hukum. Kasus ini sempat mengganggu hubungan antara Roma dan Washington dalam beberapa tahun ini.
Penuntut umum Armando Spataro mengatakan, kasus ini penting karena akan mengajarkan kepada semua pihak untuk memerangi terorisme dengan tetap menghormati hukum dan demokrasi Barat.
"Kita ingin menghukum pelaku teroris, tetapi itu dilakukan di dalam ruang sidang pengadilan," kata Spataro. Dengan cara seperti ini, ia yakin para teroris tidak memiliki alasan untuk merekrut anggota baru. (BBC/AFP/AP/REUTERS/mon/BSW)

No comments: