krisis teluk
Paus, Bush, dan Nasib Rakyat Irak
trias kuncahyono
Bagaimana perasaan seorang tamu ketika dikritik pedas oleh tuan rumah? Itu yang dialami Presiden AS George Walker Bush. Ia dikritik pedas oleh Paus Benediktus XVI ketika mengunjungi Vatikan pada Sabtu lalu.
Dalam pertemuan sekitar 35 menit, Paus asal Jerman itu secara terang-terangan mengatakan, "Tidak ada yang positif di Irak."
Pernyataan Paus itu diulang lagi ketika hari Minggu saat menyampaikan pesan Urbi et Orbi pada Kota dan Dunia.
Sebenarnya bukan kali ini saja kebijakan Bush atas Irak dikritik Paus. Pendahulu Paus Benediktus XVI, yakni Paus Yohanes Paulus II, pernah pula mengkritik Bush.
Pada Mei 2004, Paus Yohanes Paulus II seakan mempertegas demonstrasi besar-besaran menentang invasi AS ke Iran yang digelar di jalan-jalan kota Roma. Ia secara terang-terangan mengkritik "tindakan tercela" tentara AS di Irak.
Dengan suara yang sudah bergetar, karena lemahnya fisik yang digerogoti berbagai penyakit, Paus menunjuk, perlakuan tentara AS di Irak adalah di luar rasa kemanusiaan. Ia mengatakan, penyiksaan yang dilakukan tentara AS terhadap tentara dan orang-orang sipil telah mengabaikan komitmen untuk menghargai nilai-nilai kemanusiaan.
Kritik Paus Benediktus XVI yang disampaikan kepada Bush Sabtu lalu sebenarnya merupakan penegasan sikap Vatikan terhadap perang Irak. Vatikan adalah satu dari begitu banyak negara, termasuk Indonesia, yang secara terang-terangan menentang invasi militer AS dan sekutunya terhadap Irak untuk menyingkirkan Presiden Saddam Hussein.
Paus Yohanes Paulus II saat pidato di depan korps diplomatik pada 13 Januari 2003 pernah mengatakan, "Tanpa diserang pun rakyat Irak telah menderita akibat embargo internasional selama 12 tahun."
Vatikan secara terang-terangan menentang sikap dan tindakan unilateral, seperti yang dilakukan AS dengan menyerang Irak, apa pun alasannya. Upaya penyelesaian suatu masalah dengan cara-cara yang intoleran, diskriminatif, dan mendorong munculnya konflik tidak akan bisa memberikan hasil.
Oleh karena itu, Paus Yohanes Paulus II mendorong diciptakannya budaya damai global. Hal itu dimaksudkan demi terhindarnya perang dan terciptanya tata dunia yang lebih damai.
Perdamaian, kata Paus Yohanes Paulus II, ketika mendesak agar AS tidak menyerang Irak, bukan saja merupakan harapan dan cita-cita seluruh umat manusia, tetapi sekaligus merupakan perjuangan dan kesaksian. Perdamaian harus ditegakkan sebab perdamaian adalah anugerah Allah yang dipercayakan kepada umat manusia.
Bagi mereka yang mendukung invasi AS ke Irak perlu dipertanyakan, adakah di dalam hati mereka "nurani kemanusiaan", di mana ratusan ibu, wanita, anak-anak, dan warga sipil tewas, rumah-rumah ibadah berbagai agama hancur, pusat-pusat peradaban berantakan, dengan alasan menghabisi rezim Saddam? (Trias Kuncahyono, Bulan Sabit di Atas Baghdad, Penerbit Kompas, 2005).
Hilangnya kemanusiaan
Serangan pasukan gabungan pimpinan AS ke Irak, empat tahun lalu, bukan saja menjadi sebuah perang yang tidak adil, tetapi juga telah menorehkan kengerian global, bagi rakyat yang tidak bersalah.
Perang itu juga telah melecehkan hati nurani manusia. Ketika perang tengah berkobar, ada sejumlah aspek yang ditelantarkan bahkan dilupakan, yakni aspek moral, budaya, dan peradaban manusia.
Perang memang telah meninggalkan banyak persoalan dan masalah terutama bagi rakyat Irak. Negeri mereka hancur berantakan baik secara politik maupun ekonomi. Berapa banyak orang Irak tewas menjadi korban perang. Berapa banyak pula orang Irak yang terpaksa meninggalkan negerinya untuk mencari tempat yang aman. Irak bagi mereka, walau adalah tanah tumpah darahnya, telah menjadi tempat yang tidak memberikan kedamaian bahkan kepada anak-anak bangsanya.
Setiap hari bom berledakan. Setiap hari orang mati sia-sia. Setiap hari terjadi saling bunuh antarsesama anak bangsa.
AS memberikan andil, sumbangan besar, atas terciptanya kondisi Irak seperti sekarang ini. AS telah memaksakan kehendaknya, untuk menyingkirkan Saddam Hussein dengan alasan yang tak masuk akal. Bahkan, belakangan terbukti bahwa alasan yang dikemukakan AS bukan hanya tidak masuk akal, melainkan tidak terbukti. Irak tidak memiliki senjata pemusnah massal. Saddam tidak memiliki kaitan atau mendukung Al Qaeda seperti tuduhan Bush.
Runtuhnya Saddam membuat Irak seperti sapu lidi tanpa suh, tali pengikat. Walaupun dahulu Saddam bisa mempertahankan keutuhan Irak dengan menerapkan pemerintahan tangan besi dan otoritarian, ia relatif bisa menyatukan semua kelompok sektarian dan golongan etnis.
Sekadar sebagai sebuah contoh, Saddam mengangkat Tariq Aziz yang seorang Katolik Khaldea sebagai Menteri Luar Negeri dan juga Deputi Perdana Menteri. Namun Saddam bertindak tidak adil terhadap kelompok Syiah, yang kelompok mayoritas, tetapi dipinggirkan.
Kini Irak benar-benar sebuah negeri yang nyaris tercerai-berai. Perselisihan, permusuhan, dan konflik berbau etnis dan sektarian begitu kuat. Benturan antara Syiah dan Sunni menjadi sebuah kenyataan. Bahkan, di antara kelompok Sunni sendiri terpecah belah. Sementara kelompok Kurdi tetap memainkan kartunya di utara untuk mempertahankan eksistensinya.
Dalam kondisi seperti itu, sementara AS semakin tidak berdaya memulihkan keamanan dan terjebak dalam perdebatan apakah akan segera menarik diri atau tetap bertahan, kembali rakyat yang tak berdosa menjadi korban.
Suara moral
Dalam kondisi seperti itu, Paus Benediktus XVI kembali meneriakkan seruan moral. Ia kembali mengimbau agar perang di Irak segera diakhiri; agar toleransi ditegakkan; agar yang mayoritas menghormati yang menoritas; dan ujungnya agar perdamaian segera ditegakkan.
Paus lewat kritikannya kepada Bush mengingatkan bahwa nilai-nilai kemanusiaan beserta pembelaannya adalah bersifat universal. Karena itu, tanpa ragu-ragu, meski Vatikan hanyalah negara kecil yang tidak memiliki tentara yang siap perang dan mesin perang, secara tegas mengkritik keras AS. Bagi Vatikan, perbedaan agama tidak boleh menjadi hambatan untuk membela sesama manusia yang tertindas, yang tidak dihargai kemanusiaannya, dan terancam hidupnya.
Paus Benediktus XVI lewat kritikannya ingin mengingatkan kepada Bush bahwa tidak satu pun negara juga pemimpin negara di bumi ini mengklaim bahwa dirinya paling benar. Absolutisme hanya akan menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan.
Manusia dan bangsa diciptakan Tuhan berbeda-beda bahasa, budaya, agama, ras, dan sebagainya untuk saling mengenal, saling mendengar, saling memahami, dan bekerja sama, bukan untuk saling mencaci, menuduh, dan apalagi menghancurkan.
Kritikan Paus memberikan penegasan, dunia masih dipenuhi sikap-sikap mementingkan diri sendiri. AS merasa dirinya sebagai "polisi dunia" sehingga merasa berhak menyerang negara lain dengan alasan yang dicari-cari dan menulikan telinganya dari seruan-seruan dunia.
Apakah Presiden George W Bush mendengarkan kritikan Paus Benediktus XVI? Itu soal lain. Namun di sini, Vatikan, Paus telah memainkan perannya untuk mengingatkan bila ada yang melangkah ke jalan yang salah dan mengajak kembali ke jalan yang benar: menghormati nilai-nilai kemanusiaan, menghormati sesama manusia.
Apakah kritikan Paus akan seperti teriakan di tengah padang gurun, dibawa angin, terkubur bukit-bukit pasir? Bila demikian, rakyat Irak-lah korbannya....
No comments:
Post a Comment