Saturday, June 30, 2007

Terkuaknya Fenomena Isu "Ianfu"

Steven Mere

Komite Luar Negeri Dewan Perwakilan Rakyat Amerika Serikat, Selasa (26/6), menyetujui resolusi yang mengimbau Jepang untuk resmi meminta maaf karena memaksa ribuan perempuan menjadi budak seks selama Perang Dunia II.

Oleh stigma sejarah, korban diberi label "budak seks" (ianfu, asli Jepang). Resolusi itu membuka harapan baru bagi korban di China, Korea, Indonesia, dan tempat lain. Jerit kemanusiaan yang mohon pengakuan dan pemulihan keluhuran martabat sebagai manusia dan perempuan, yang sekian lama diredam, ada harapan mulai didengar.

Gema lestari

Setiap jeritan kemanusiaan punya gema lestari karena keluhuran kemanusiaan itu sendiri punya esensi lestari. Bahkan, meski seseorang telah mati, jeritan kemanusiaannya akan terus mencari ruang untuk menggemakan esensi diri.

Jeritan kemanusiaan wanita ianfu, yang menurut perkiraan historis berjumlah sekitar 200.000 orang, membuktikan kebenaran ini. Dominasi kuasa indoktrinasi Jepang untuk menyembunyikan jejak historis, sekaligus rasa malu kaum ianfu, tak mampu membendung jeritan hati para penuntut pemulihan martabat kemanusiaan.

Didukung para aktivis kemanusiaan, sekitar akhir tahun 1980-an, jerit kemanusiaan ianfu pertama kali memecah ruang sejarah, saat Kim Hak-sun asal Korea Selatan bersedia memublikasikan kesaksian pahit sebagai korban budak seks Jepang. Keberanian Kim Hak-sun membangkitkan solidaritas korban ianfu lainnya untuk menggelarkan aksi nyata pada 6 Desember 1991 di Pengadilan Distrik Tokyo, menuntut kompensasi, pengakuan, dan minta maaf dari Pemerintah Jepang (George Hicks, The Comfort Women, 1995).

Ini semua tidak lepas dari usaha Senda Kako (jurnalis Jepang) yang membangun jaringan informasi menghubungkan para korban di Tokyo, Kyoto, Osaka, dan Korea Selatan. Juga didukung Asahi Shimbun, sebuah koran besar di Jepang yang selama tahun 1991 rajin menurunkan serial kesaksian dan informasi tentang pengalaman pahit kaum ianfu.

Alur buram sejarah berisi jerit kemanusiaan ianfu kian memancarkan sinar terang saat tahun 1992, sejarawan Jepang, Yoshimi Yoshiaki, menemukan dokumen yang membenarkan keterlibatan petinggi militer dalam praktik perbudakan seks ini.

Temuan historis tahun 1993 itu melahirkan gerakan kelompok intelektual yang mengimbau Pemerintah Jepang mengakhiri tabu tentang perbudakan seks dan merevisi buku sejarah, yang sama sekali tak menyentuh fakta perbudakan seks atas kaum ianfu.

Tanggal 4 Agustus 1993, Yohei Kono, Sekretaris Jenderal LDP, pengganti Kato, mengakui praktik kekerasan seksual yang terorganisasi atas kaum ianfu sebagai fakta sejarah tak terbantahkan dan melibatkan petinggi militer Jepang (Ministry of Foreign Affairs of Japan Web Site).

Pengakuan Kono melahirkan terciptanya Asian Women’s Fund tahun 1995, yang mulai memberi kompensasi bagi sekitar 285 bekas korban ianfu dari Korea Selatan, Filipina, dan Taiwan. Setiap orang disantuni dua miliar yen (The Asahi Shimbun, 25/1/1995).

Pro-kontra

Meski sudah terlihat adanya reaksi positif dari sebagian elite pemerintah, intelektual, dan masyarakat Jepang, sebagian lain masih kukuh mengingkari kebenaran fakta sejarah buram itu.

Perdana Menteri Jepang Sinzo Abe sendiri, sejak sebelum menjabat Perdana Menteri, sudah meminta agar pengakuan Yohei Kono tahun 1993 yang membeberkan keterlibatan militer Jepang dalam praktik seksual ini direvisi lagi.

Tanggal 1 Maret 2007, Perdana Menteri Abe membuat pernyataan terbuka, mengingkari lokus kebenaran perbudakan seks secara terorganisasi oleh militer Jepang atas kaum ianfu.

Pengingkaran Abe ini kembali menyulut bara kontroversi dan protes dari dalam dan luar negeri, khususnya negara-negara tempat bekas ianfu berasal. Sebagian pengamat melihat pengingkaran Abe sebagai bentuk kekerasan historis baru atas para bekas ianfu khususnya dan wanita bermartabat umumnya. Alexis Dudden (Japan Focus, 5/3/27), misalnya, menyebut penyangkalan Abe sebagai Abe’s violent Denial.

Ratifikasi Resolusi 121 oleh Senat AS yang mengimbau Jepang resmi minta maaf kepada korban menjadi teguran nyata atas kekerasan historis yang kembali menyata dalam sikap dan pernyataan Abe atas kaum ianfu.

Suara para ianfu telah dikuatkan Senat AS, jerit mereka pun lebih keras dan diharapkan mengusik nurani penguasa Jepang dan manusia umumnya.

Menangkap pesan

Atas kejadian ini, muncul beberapa hal. Pertama, universalitas imperatif moral masalah HAM. Meski melekat pada setiap pribadi, HAM bukan kekayaan pribadi (private property), tetapi kekayaan bersama (common property) keluarga manusia.

Karena itu, saat martabat HAM bekas ianfu ditindas dan dirusak, tugas mengemban imperatif moral atas korban perbudakan seks seharusnya tidak hanya dilakukan Senat AS dan pemerintah, tetapi oleh semua manusia di mana pun berada.

Kedua, keniscayaan ikatan kolektif-solidaritatif. Dibutuhkan setengah abad, sampai jeritan menangisi kepingan reruntuhan martabat diri oleh bekas wanita ianfu dijadikan isu HAM. Jeritan lestari tangisan kemanusiaan mereka baru terdengar dan kebenaran fakta historisnya bisa terbedah karena termediasi oleh usaha kolektif-solidaritatif berbagai pihak, mulai dari relawan kemanusiaan, jurnalis, media, intelektual, pelaku kekerasan seksual sendiri, politisi, elite pemerintah, dan masyarakat. Ikatan kolektif solidaritatif ini pula yang perlu dihidupkan di tengah ketaktuntasan urusan berbagai masalah HAM di negeri ini.

Ketiga, istilah Inggris menyebut bekas wanita ianfu sebagai comfort women. Wanita diidentikkan dengan obyek kenikmatan (comfort) bagi pria prajurit perang saat itu. Tetapi, ketika wanita dijadikan obyek kesenangan, yang ada bukan lagi kenikmatan (comfort), tetapi brutalitas. Karena itu, muatan sejarah yang perlu dipersoalkan di sini bukan comfort women (wanita penghibur), tetapi derita perempuan (suffering women), yang harus ditautkan dengan brutalitas pria prajurit perang.

Derita perempuan korban harus ditempatkan sebagai fokus keprihatinan, dan brutalitas pria prajurit perang dijadikan sasaran yang harus dicela. Lain kata, titik pandang sejarah harus ditempatkan dalam lokus realitas para korban, dalam hal ini derita para wanita ianfu. Hanya dengan itu, sejarah akan menjadi alur nyata, sungguh-sungguh ada dalam ruang waktu.

Mengutip Caroline Berndt, "To see what happened to one woman is a way of making history concrete" (Memahami apa yang terjadi dalam diri seorang wanita adalah cara menjadikan sejarah itu konkret).

Dari titik pandang dan ikatan kolektif solidaritatif yang sama ini, jeritan kemanusiaan para korban HAM, yang sebagian besar menimpa kaum wanita hingga hari ini, perlu ditanggapi.

Steven Mere Misionaris Indonesia yang berkarya di Nagoya, Diperbantukan di Department of Asian Studies Nanzan University, Nagoya, Jepang

No comments: