Sunday, June 24, 2007


Memanipulasi Palestina

Oleh :Irman Abdurrahman

Staf Islamic Cultural Center Jakarta

Selamat datang di Timur Tengah, wilayah yang berkisah tentang banyak hal dan penting bagi perkembangan agama di seluruh dunia. Di sana, ribuan tahun lalu, tiga agama besar dunia lahir dan peradaban moral ditinggikan. Namun, di sana pula kebohongan dan kezaliman, dari yang berbentuk sangat sederhana hingga yang berformat paling kompleks sekalipun, ditebar hingga kini.

Tanah Kanaan, Palestina, menyajikan contoh yang paling lengkap serta aktual. Di sana, publik dunia dibuai dengan ilusi adanya Palestina dan Israel. Ilusi itu seolah-olah menggambarkan bahwa pendudukan, penindasan, dan kolonisasi Israel, seperti yang disuarakan rakyat Palestina itu tidak ada. Yang kini terjadi adalah ‘konflik sipil’ antarsesama orang Palestina yang melibatkan kelompok Hamas dengan Fatah.

Kalaupun ‘orang-orang bijak’ di Barat memboikot bantuan finansial dan Israel dengan tidak mencairkan pajak, itu hanya karena menurut pandangan mereka rakyat Palestina telah salah memilih Hamas sebagai pemimpin mereka. Mereka ingin mendorong rakyat Palestina untuk memilih figur-figur ‘independen’, seperti Salam Fayyad, sang ‘perdana menteri’ baru. Dengan pilihan itu, mereka pun menjamin semua kekisruhan di negara tersebut tidak akan terjadi. Mari kita urai jalinan benang dusta yang secara canggih dirajut sehingga tampak bak sebuah ‘kebenaran’.

Solusi dua-negara
Pada pertengahan 1970-an, mayoritas negara anggota PBB mengakui eksistensi bangsa Palestina. Pada 1993, PLO, di mana Fatah adalah faksi terbesar di dalamnya, mengakui kedaulatan Israel di luar Tepi Barat dan Jalur Gaza, dua wilayah yang hanya 22 persen dari tanah historis Palestina. Dan, inilah solusi 'dua-negara' yang didengung-dengungkan itu.

Namun, adakah Israel mengakui kedaulatan Palestina dan adakah otoritas nasional Palestina diakui wewenangnya di dua wilayah yang tinggal sekerat itu? Jawabannya, kolonisasi terus berlangsung. Tepi Barat difragmentasi menjadi ribuan teritori yang beralih fungsi menjadi komune-komune Yahudi. Tembok pemisah yang sedang dibangun pun inci demi inci masuk ke dalam wilayah Palestina.

Sementara itu, otoritas nasional Palestina tidak lebih dari sekadar pemerintahan kota praja, yang hanya memiliki wewenang dalam urusan-urusan administrasi di Gaza dan sebagian distrik di Tepi Barat. Para pejabat Palestina pun tidak dapat bergerak bebas di teritori mereka sendiri tanpa izin dari pasukan keamanan Israel. Belum lagi berbagai penculikan dan penahanan para pejabat eksekutif dan legislatif Palestina. Adakah ini yang dinamakan negara berdaulat?

Moderat vs ekstremis?
Media-media Barat punya persepsi sendiri mengenai konflik Fatah dengan Hamas. Koresponden BBC, Paul Reynolds, menyebutnya sebagai 'pertarungan yang lebih luas antara moderasi (Fatah) dan ekstremisme (Hamas) di dunia Arab dan Islam'. Tiba-tiba saja, dunia lupa sejarah kelam Fatah yang berlumuran darah, bukan saja warga Yahudi, tetapi juga saudara sebangsa mereka sendiri, rakyat Palestina yang jadi korban.

Tiba-tiba saja dunia abai mengenai tokoh Fatah seperti Mohammad Dahlan, yang Maret 2007 lalu diangkat Mahmoud Abbas sebagai Kepala Dewan Keamanan Nasional. Human Right Wacth menyebut Dahlan berada di balik aksi-aksi kekerasan berupa penangkapan tanpa proses peradilan, penyiksaan, dan pembunuhan para aktivis, jurnalis, dan tokoh-tokoh penentang Fatah (Human Right under The Palestinian Authority, 1997).

Itukah yang dimaksud dengan moderat? Adakah moderasi bermakna tokoh seperti Dahlan, yang secara reguler bertemu pejabat-pejabat tinggi Israel dan menerima pasokan senjata dari AS melalui Israel untuk mempersenjatai milisinya demi memerangi bangsanya sendiri? Adakah seorang yang moderat berarti tokoh seperti Salam Fayyad, yang mengabdi selama 8 tahun di Bank Dunia dan 6 tahun di IMF serta berteman baik dengan Condoleezza Rice?

Dan, adakah pula moderasi itu juga merujuk kepada figur seperti Mahmoud Abbas, yang menulis buku 600 halaman tentang Kesepakatan Oslo tanpa menuliskan secuil kata pun tentang 'pendudukan' Israel?
Jika itu yang dimaksud Barat dan Israel sebagai moderat, tampaknya rakyat Palestina lebih menyukai para ‘ekstremis’ ketimbang para 'moderat' itu. Rakyat Palestina memilih Hamas bukan karena mereka menginginkan sebuah negara Islam. Mereka memilih Hamas karena lelah dengan Fatah yang korup dan lemah di hadapan Israel. Mereka memilih Hamas karena fitrah setiap bangsa terjajah di mana pun untuk tidak mendukung para kolaborator imperialis.

Kudeta siapa?
Jika sebuah pemerintahan terpilih diboikot, diculik menteri-menterinya, dan rivalnya dipersenjatai kekuatan-kekuatan asing, lalu akan kita sebut apa ketika ia membela diri? Barat sekali lagi punya jawabannya yang ‘khas’: Hamas telah melakukan kudeta dengan ‘menguasai’ Gaza. Mungkin benar bahwa Hamas bertindak di luar koridor hukum, tetapi apakah lantas tindakan Abbas membentuk ‘pemerintahan darurat’ dapat dibenarkan?

Menurut Konstitusi Palestina, tindakan Abbas menunjuk perdana menteri baru, dan juga membentuk ‘pemerintahan darurat’, adalah ilegal. Pasal 45 dari konstitusi itu menyatakan bahwa presiden tidak berhak menunjuk seorang perdana menteri yang tidak merepresentasikan partai pemenang pemilu (Hamas). Pasal 67 dan 79 menyatakan bahwa perdana menteri dan kabinet yang baru hanya dapat diambil sumpahnya oleh Dewan Legislatif sedangkan Fayyad beserta kabinetnya disumpah oleh Abbas.

Jika demikian, akan kita sebut apa kabinet Fayyad itu, sementara konstitusi Palestina tidak memberi wewenang kepada presiden untuk menyatakan ‘kedaruratan’ tanpa penetapan Dewan Legislatif? Dan, atas dasar apa nantinya negara-negara lain berhubungan dengan ‘pemerintahan darurat’ ini? Sebuah problem besar ketika di saat yang bersamaan Ismail Haniyah tetap mengklaim haknya sebagai perdana menteri yang sah. Sejatinya, ini bukanlah konflik sipil tetapi perlawanan bangsa terjajah menghadapi segelintir elite Fatah yang menggadaikan kedaulatan ke tangan kekuatan-kekuatan neoimperialis.

Laporan pribadi terakhir mantan utusan PBB untuk Timur Tengah (End of Mission Report), Alvaro de Soto, secara eksplisit menyebutkan bahwa penyebab kekacauan di Palestina adalah ‘kegagalan’ AS mendorong Israel ke arah diplomasi. Bagi de Soto, prasyarat-prasyarat yang diajukan Israel, yang kemudian diamini AS, mustahil dipenuhi Palestina, dan ini menyebabkan jalan menuju negosiasi menjadi buntu. De Soto juga mengecam AS dan Uni Eropa yang menerapkan boikot finansial tanpa memikirkan lebih jauh nasib rakyat Palestina.

Sikap dan pendekatan negatif Israel terhadap Palestina, bahkan saat Fatah yang pragmatis itu berkuasa, semestinya menjelaskan kepada semua pihak bahwa solusi “dua-negara” itu hanyalah delusi yang diciptakan rezim Zionis untuk sekadar mengulur-ulur waktu (buying time) agar program ilegal kolonisasi dapat terus berlangsung demi mewujudkan nubuat-nubuat fasistik mereka.

Ikhtisar - Dunia Barat dengan segala kekuatannya telah menciptakan ilusi agar kekisruhan yang terjadi di Palestina itu tidak terlihat disebabkan oleh penjajahan Israel.
- Upaya ini bisa berhasil dengan adanya sikap akomodatif dari kelompok Fatah untuk menjalankan agenda-agenda Barat di wilayah tersebut. - Hamas yang lebih gigih memperjuangkan kemerdekaan Palestina pun menjadi lebih sulit untuk melancarkan perjuangannya.
-Berbagai agenda itu tidak lain bertujuan untuk melanggengkan kolonialisasi yang dijalankan rezim Zionis di wilayah Palestina.

No comments: